Jumat, 18 Januari 2013

Historical Approach to the ‘Umar Progressive ThoughT


Oleh: Achmad Sayyid, S.Pd.I
   A.    Latar belakang Masalah
Salah satu ciri utama pemikiran Khalifah yang kedua, Umar Ibn Khattab adalah bahwa ia menganggap dirinya berhak atas otoritas yang luas sebagai penguasa. Dia memberikan hak yang khusus pada dirinya sendiri, bukan hanya pada urusan-urusan politik dan pemerintahan, akan tetapi juga dalam masalah perwakilan ketuhanan dan menetapkan hukum.[1]
Pemikiran progressif Umar yang sangat popular adalah kebijakan yang diambilnya yang terkesan sangat berani pada saat memutuskan masalah para pencuri pada masa paceklik. Umar dianggap berani tidak menerapkan had mencuri (Had al-Sariqoh)
terhadap para pencuri di masa itu. Hal ini dianggap oleh kalangan Islam liberal sebagai energy positif untuk lebih menumbuh-suburkan ciri khas pemikiran keislamannya.[2]
Pro-kontra terhadap pemikiran progressif Umar tidak hanya terjadi pada masa itu, di mana mayoritas pemikiran para sahabat lebih cenderung kanan, ahlu al-hadits, akan tetapi hal itu berlanjut pada masa sekarang. Munawir Sjadzali, dalam makalahnya berjudul Reaktualisasi Ajaran Islam menulis tentang Umar bin Khathab: Selama menjabat beliau telah mengambil banyak kebijaksanaan dalam bidang hukum yang tidak sepenuhnya sesuai dengan bunyi ayat-ayat Alquran.[3]
Brangkat dari paparan di atas, terdapat suatu teori yang menyatakan bahwa tidak ada satupun pemikiran yang benar-benar lepas dari latar belakang pemikirnya. Hal ini mendorong Penulis untuk mengungkap kilas balik latar belakang kehidupan pribadi sosok Umar Ibn Khattab. Tulisan ini akan dimulai dengan suguhan kpribadian umar pada masa jahiliyah, kemudian masa umar masuk Islam, masa-masa mendampingi Nabi, hingga pada masa beliau menjadi Khalifah yang kedua.
Adapun metode yang penulis gunakan adalah study pustaka literatur-litaratur sejarah tentang Umar Ibn Khattab. Sumber literatur sejarah yang akan Penulis kutib terbagi menjadi dua, yang pertama adalah sumber utama (primary resource)  diantaranya adalah Tarikh al-Thobary, Tharikh al-Muluk wa al-Umam, Tarikh Ibn Mas’ud, Tarikh Khulafa’, Umar Ibn Khattab, Karya Muhammad Husain Haikal. Sedangkan yang kedua adalah sumber sekunder/secondary resource, diantara yaitu Sejarah Khalifah, The Great Leader of Umar Bin al-Khattab, Para Pewaris Muhammad, dan buku-buku sejarah lainnya.

   B.     Paparan Data
1.      Silsilah ‘Umar Ibn Khattab
Umar Ibn Khattab lahir pada  tahun 13 paca tahun Gajah.[4] Ayahnya bernama al-Khattab Ibn Nufail Ibn Abd Uzza Ibn Abdullah Ibn Qurt Ibn Razah Ibn ‘Ady Ibn Ka’ab.[5] Sedangkan Ibunya bernama  Khatmah Binti Hasyim Ibn Mughiroh Ibn ‘Umar al-Makhzumi. Rasulullah memberikannya julukan Abu Hafs setelah beliau memeluk Islam.[6] Perawakannya tinggi besar dan tegap dengan otot-otot yang menonjol dari kaki dan tangannya, jenggot yang lebat dan berwajah tampan, serta warna kulitnya putih kemerah-merahan.[7] Postur tubuhnya tinggi besar seolah-olah ia sedang mengendarai kendaraan karena saking tingginya, tubuhnya kuat dan tidak lemah. Ia suka menyemir rambut dan jenggotnya dengan bahan pewarna al-hinna. Ia memiliki cambang yang panjang dan lebat. Kalau berjalan, jalannya cepat, kalau bicara, omongannya didengar, dan kalau memukul, pukulannya sangat menyakitkan.[8]
Umar tinggal di kapung yang terletak di Safa dan bergabung dengan kabilah Banu Sahm yang berada di sebelahnya. Nenek moyang Umar merasa dipacu oleh persaingan antara dua kelompok tersebut, yang kendati jumlah orangnya lebih kecil dengan kedudukan yang lemah dibandingkan dengan kabilah-kabilah besar lainnya. Dalam ilmu dan kearifan mereka lebih tinggi. Ilmu dan kearifan ini menempatkan mereka lebih  terkemuka   dalam   tugas-tugas   sebagai   penengah dan dalam mengambil  keputusan      jika    timbul    perselisihan . Mereka   yang   menjadi   juru   bicara   mewakili   Kuraisy   dalam   menghadapi kabilah-kabilah lain  manakala   timbul   perbedaan   pendapat,   yang   biasanya   berakhir   dengan perundingan Kepemimpin mereka disukai dalam menghadapi   perselisihan; mereka fasih berbicara, pandai bertutur kata. Kearifan itu kemudian melahirkan orang yang   bernama  Zaid bin Amr, salah seorang   yang   menjauhi   penyembahan berhala dan menolak makanan  dari  hasil   kurban  untuk   berhala   itu.   Di   samping   dia   ada   pula orang   yang   bernama   Umar   bin   Khattab,   yang   merasa   bangga  karena   ia menjadi   anggota  kabilah   itu.[9]
Ayahnya Khattab, sebenarnya adalah orang yang cerdas, sangat dihormati di kalangan masyarakatnya, pemberani. Dengan tangkas dan tabah ia memimpin Bani Ady dalam beberapa pertempuran.[10] Selain itu, Khattab dikenal sebagai pria yang kasar dank eras. Hal itu tampak misalnya ketika ia menganiaya keponakannya sendiri, Zaid Ibn Amr Ibn Nufail, ayah Sa’id Ibn Zaid, salah satu sepuluh orang yang diberi kabar gembira (al-‘asyrah al-mubasysyarina bi al-jannah). Zaid termasuk orang yang menolak dengan keras untuk menyembah berhala. Ia mengngkari perilaku kaumnya yang melakukan adat dan perbuatan jahiliyah. Ia sering mengatakan, “wahai kaum Quraisy, demi zat yang aku berada dalam kekuasaan-Nya, tidak ada seorangpun diantara kalian yang tetap berada dalam agama Ibrahim, kecuali Aku” ayah Sa’id ini meninggal lima tahun setelah kenabian. Khattab dikenal sering menyiksa setiap orang dari kaumnya yang masuk islam. Sifat kasar dan keras inilah yang kemudian diwarisi anaknya, Umar ibn Khattab.[11]
2.      Umar di Masa Jahiliyah
Masa kecil dan remaja
Semasa anak-anak Umar dibesarkan seperti layaknya anak-anak Quraisy. Yang kemudian membedakannya dengan   yang   lain,   ia   sempat belajar   baca-tulis,   hal   yang   jarang   sekali   terjadi  di  kalangan   mereka. Dari   semua   suku    Kuraisy   ketika   Nabi   diutus   hanya   tujuh   belas   orang yang   pandai   baca-tulis.   Sekarang   kita   mengatakan      bahwa   dia   termasuk istimewa di   antara teman-teman   sebayanya.  Orang-orang  Arab   masa   itu tidak   mengangga  pandai  baca-tulis    itu  suatu  keistimewaan, bahkan mereka   malah      menghindarinya   dan menghindarkan  anak-anaknya   dari  belajar.
Sesudah  Umar   beranjak     remaja   ia   bekerja   sebagai    gembala   unta ayahnya  di   Dajnan  atau   di   tempat   lain   di   pinggiran   kota Mekah.   Sudah kita  sebutkan ia bercerita tentang   ayahnya  serta tindakannya  yang  keras kepadanya saat ia menggembalakan  untanya. Penulis al-'Iqdul Farid menyebutkan   bahwa   pada   suatu   hari   Umar   berkata   kepada   an-Nabigah al-Ja'di: Perdengarkanlah nyanyianmu kepadaku tentang dia. Lalu diperdengarkannya sebuah kata dari dia. "Engkau yang mengatakan itu?"   tanyanya"Ya."  "Sering   benar   kau   menyanyikan   itu   di   belakang Khattab." Menggembalakan unt  sudah  merupakan  kebiasaan dikalangan   anak-anak   Kuraisy   betapapun   tingkat  kedudukan   mereka.
Beranjak  dari  masa   remaja ke masa  pemuda sosok   tubuh  Umar tampak berkembang   lebih   cepat   dibandingkan   teman-teman   sebayanya, lebih tinggi    dan   lebih    besar.   Ketika    Auf    bin  Malik     melihat orang banyak  berdiri   sama   tinggi,    hanya    ada   seorang     yang   tingginya   jauh melebihi   yang   lain   sehingga sangat   mencolok.  Bilamana  ia  menanyakan siapa orang itu,  dijawab :  Dia Umar bin   Khattab.
Wajahnya putih agak kemerahan, tangannya kidal  dengan kaki yang   lebar sehingga jalannya   cepat   sekali.   Sejak  mudanya   ia   memang  sudah   mahir   dalam   berbagai   olahraga :   olahraga  gulat   dan   menunggang kuda.   Ketika  ia sudah   masuk  Islam  ada  seorang   gembala ditanya  orang : Kau tahu   si kidal  itu   sudah   masuk Islam?  Gembala itu   menjawab :  Yang beradu     gulat   di   Pasar   Ukaz? Setelah dijawab  bahwa   dia,   gembala   itu  memekik: Oh, mungkin  ia  membawa  kebaikan   buat   mereka,  mungkin juga bencana.[12]
Pada masa jahiliyah, Umar ibn Khattab tidak hanya melakoni pekerjaannya sebagai pengembala. Sejak muda, ia sudah terampil dalam berbagai bidang olahraga. Ia terampil dalam bermain gulat dan pandai menunggang kuda. Disamping itu ia juga terampil dalam mencipta dan mendendangkan syair.[13] Ia juga menaruh perhatian terhadap masalah sejarah dan urusan-urusan kaum kuraisy. Ia sangat gemar mengunjungi pasar-pasar besar, seperti ‘Ukaz, pasar Majannah, dan pasar Dzu al-Majaz. Kunjungan ke pasar-pasar ini ia gunakan untuk berdagang dan mempelajari sejarah bangsa Arab serta untuk mengetahui pelbagai peristiwa yang sedang terjadi, kontes pembanggan keturunan, dan persengketaan diantara suku.[14] Di pasar-pasar tersebut terkadang juga diselenggarakan unjuk kebolehan untuk mencipta dan memperdandangkan syair di antara para penyair terkemuka. Hal ini menjadikan sejarah bangsa Arab menjadi dinamis, tidak statis. Terkadang, pertunjukan-pertunjukan di pasar-pasar tersebut menyulut perang antar-suku. Pasar ‘Ukaz sendiri telah menyulut api perang sebanyak empat kali. Perang-perang antar suku ini dinamalan perang al-fajjar.[15]

Pendidikan dan Konsep Pemikirannya
Inilah yang membuatnya lebih percaya diri dan lebih punya rasa harga diri. Orang yang berharta selalu perlu menjaga hubungan baik dengan semua orang untuk melindungi dan memperbesar kekayaanya. Orang     yang    dalam    usaha    perdagangan,  keberhasilannya  bergantung pada    kelihaian    serta  menguasai      segala   seluk  beluknya Tetapi orang  yang   haus   ilmu   dan   ingin   menambah      pengetahuannya, harta kekayaan tak  banyak mendapat  perhatian,  sebab orang   yang sudah keranjingan  harta cenderung tidak  memperhatikan  ilmu   dan   lebih  banyak  menggantungkan  diri  pada  masalah-masalah  dunia   dan   tunduk  pada yang lebi  menguasainya.  Tetapi  orang  yang  memandang  dunia  dan   harta  itu rendah   dan   memburu   ilmu   dan   pengetahuan   lebih   membanggakan   diri, sampai-sampai   ia mau   menjauhi   orang,   maka ia tidak   akan   tertarik pada segala   yang     ada   di  tangan    mereka   karena   ia   sudah    lebih   tinggi   dari semua  mereka.  Tingkat ini  yang belum dicapai  Umar  di  masa  mudanya. Rasa   bangga dan percaya diri yang luar biasa  itu,  itulah  yang  benar- benar   dihayatinya
Usaha  Umar dalam memburu pengetahuan  membuatnya  sejak mudanya  ia   memikirkan nasib masyarakatnya dan  usaha  apa  yang akan dapat   memperbaiki keadaan mereka.   Ini juga  kemudian   yang   membuatnya bangga,  bersikeras  dan  menjadi   fanatik   dengan   pendapatnya   sendiri tentang   tujuan yang  ingin  dicapainya itu. Ia  tidak  mau dibantah atau berdebat. Karena sikap  keras dan   ketegarannya itu  sehingga dengan fanatiknya ia berlaku  begitu sewenang-wenang.   Ia akan mempertahankan  pendapatnya dengan tangan  besi   dan  dengan   ketajaman   lidahnya. Tetapi  yang demikian ini bukan tidak mungkin akan  mengubah  pendapat   orang   lain   yang   dihadapinya  untuk menjadi  bukti   kuat   dalam pembelaannya  dan   untuk  mematahkan   alasan   lawan.[16]
Sifat fanatik tersebut mungkin saja muncul karna sifat beliau yang keras dan kasar. Apa yang dikatakan umm Kulsum binti Abu Bakar tentang   watak-nya yang keras  dan   kasar,  dan   apa yang dikatakan   Umm Aban   bahwa  ia  selalu    bermuka masam dan   hidupnya  yang   serba    keras,  merupakan sebagian   dari   wataknya   yang   sejak   masa   mudanya,  dan   kemudian   tetap begitu    dalam   perjalanan hidup selanjutnya. Sesudah menjadi khalifah, maka dalam doa   pertamanya  ia  berkata:  "Allahumma  ya  Allah, aku  sungguh      tegar,   maka  lunakkanlah hatiku. Ya Allah,   aku   ini  lemah, berilah   aku   kekuatan. Ya  Allah   aku  sungguh kikir   jadikanlah aku orang pemurah."   Sejak  mudanya ia  sudah mewarisi  sikap   keras   dan   kasar   itu dari   ayahnya,   kemudian   didukung   pula   oleh   tubuhnya   yang   tetap   kekar dan   kuat.[17]  Catatan sejarah yang lain menulis bahwa Umar pernah melamar Istri Yazid bin Abi Sufyan, tetapi lamaran itu ditolak karena ia yakin bahwa Umar itu mudah marah ketika keluar dan memasuki rumah. Bahkan Aisyah yang memiliki hubungan dekar dengan khalifah, menghalangi dia menikahi saudara perempuannya karena alasan yang sama.[18]

Kedudukan Umar di tengah-tengah kaumnya.
Umar ibn Khattab punya kelebihan dalam kekuatan dan keberanian. Semua orang Quraisy mengenalnya dengan sifat itu, karena itulah, untuk suatu urusan, Umar ibn Khattab selalu ditunjuk sebagai duta mereka. Jika misalnya terjadi konflik internal atau perang yang melibatkan kaum Quraisy dengan pihak lain, mereka pasti menunjuk Umar sebagai juru bicara dan wakil mereka.[19]
Ibn al-Atsir mengatakan, Umar tergolong pembesar Quraisy. Di zaman Jahiliyah bila ada urusan yang menuntut didelegasikannya seorang utusan pada pihak lain, mereka akan memilih Umar ibn Khattab. Kaum Quraisy, jika terlibat konflik bersenjata, baik internal atau yang melibatkan orang lain, akan mengutus Umar sebagai juru runding. Bila ada seseorang yang menyerang, atau orang lain yang membanggakan diri di depan kaum Quraisy, mereka akan menjadikan Umar sebagai lawan orang itu untuk menandinginya.[20] Hal ini wajar terjadi karena selain Umar memiliki kekuatan dan keberanian, ia juga pandai mengolah kata-kata dan fasih berbicara.

3.      Umar Masuk Islam
Terdapat beberapa sumber sejarah yang mengulas masalah Islamnya Umar bin Khattab. Dengan tujuan untuk lebih mendapatkan data yang seobjektif mungkin, Penulis sumber yang didasarkan kepada Umar sendiri.
Sumber yang paling terkenal adalah sumber yang didasarkan kepada Umar sendiri tatkala ia berkata "Saya   memangjauh   dari   Islam.   Saya   pecandu   minuman   keras   di   zaman   jahiliah,   saya sangat    menyukainya  dan   saya menjadi peminum. Kami mempunyai tempat sendiri  tempat   kami    berkumpul   dengan  pemuka-pemuka  Kuraisy.  Suatu   malam   saya  keluar   akan   menemui   teman-teman duduk itu. Tetapi   tak   seorang pun  yang ada di   tempat   itu.  Dalam hati saya berkata : Sebaiknya saya mendatangi si  polan, pedagang khamar     itu. Dia di Mekah berdagang   khamar;   kalau-kalau di tempat  itu   ada   khamar,   saya ingin   minum.  Saya  pun   pergi   ke   sana.  Tetapi   tak   ada orang.  Dalam  hati  saya berkata  lagi :  Sebaiknya saya ke  Ka'bah,  berkeliling tujuh   kali   atau tujuh   puluh   kali.   Maka  saya  pergi   ke  Masjid akan   bertawaf di   Ka'bah . Tetapi  ternyata di sana ada Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa sallam  sedang   salat.   Ketika   itu jika   ia   salat   menghadap   ke   Syam,  dan  Ka'bah berada   di   antara  dia   dengan   Syam,  tempat   salatnya  di   antara  dua   sudut hajar    aswad  dengan     sudut  Yamani.  Ketika  kulihat  kataku:  Sungguh,saya  sangat  mengharap   malam ini dapat   menguping Muhammad sampai saya dapat mendengar  apa   yang   dikatakannya.   Saya   khawatir   dia   akan terkejut    kalau   saya   dekati .  Mak  saya  datang dari  arah   Hijr.   Saya masuk   ke   balik   kain Ka'bah; saya berjalan  perlaha hingga  saya  berdiri di   depannya   berhadap-hadapan;   antara   saya   dengan   dia   hanya   dibatasi kain   Ka'bah, sementara  Rasulullah  Sallallahu 'alaihi wa sallam   sedang salat dengan  membaca  Qur'an. Setelah saya   dengar   Qur'an   itu   dibacanya,   hati   saya   rasa   tersentuh .   Saya   menangis;   Islam   sudah   masuk   ke dalam   hati   saya.   Sementara  saya   masih   tegak   berdiri   menunggu sampai Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa sallam  selesai  salat.  Kemudian ia pergi   pulang   menuju  rumahnya. Saya   ikuti   dia,   hingga   sudah   dekat   ke rumahnya   saya   dapat   menyusulnya.   Mendengar   suara gerak-gerik  saya ia   sudah   mengenal   saya dan   dikiranya  saya  menyusul   hendak   menyakitinya.  Ia menghardikku seraya katanya:  Ibn  Khattab, apa maksud  kedatangan   Anda? !   Saya   menjawab :   Kedatangan  saya   hendak   beriman    kepada Allah   dan   kepada  Rasul-Nya  serta  kepada  segala yang datang  dari   Allah. Setelah   menyatakan   alhamdulillah   ia berkata:  Umar,  Allah   telah   memberi petunjuk   kepada  Anda.   Kemudian   ia   mengusap   dada   saya dan   mendoakan saya agar  tetap  tabah .  Setelah   itu  saya   pun  pergi   meninggalkan Rasulullah   sebagai   orang yang sudah   beriman   kepada agamanya."[21]
Di antara riwayat yang mengisahkan proses keislaman Umar adalah riwayat Tirmidzi dari Hadits Abdullah bin Umar r.a bahwa Rasulullah s.a.w bersabda, “Ya Allah, mulyakanlah Islam dengan dari salah seorang dari dua orang yang engkau cintai: Abu Jahal atau Umar ibn Khattab” Abdullah ibn Umar menyatakan,“dan orang yang paling dicintai Allah adalah Umar” (HR. Tirmidzi).[22]
Seperti yang Penulis katakan di awal bahwa memang banyak sumber yang menyatakan tentang Islamnya Umar, maka sumber-sumber yang dicantumkan diatas adalah sumber yang penulis anggap otentik karena mengambil langsung pada pemain atau pelaku sejarah sendiri. Adapaun terkait tentang Islamnya Umar, penulis melihat adanya kekuatan yang mendorong Umar untuk membuka akal pikirannya aga dapat melihat,  mendengarkan, dan menerima kebenaran ajaran Islam. Kekuatan tersebut bisa disebut sebagai Hidayah.  Husain Haikal berpendapat bahwa Islamnya Umar adalah karena dasar pembuktian setelah dibuktikannya adanya pengaruh agama Islam yang begitu kuat dalam jiwa orang-orang beriman dari kehidupan pribadi sampai pada kehidupan masyarakat bersama serta organisasinya.Ia menganut agama  Allah dengan   semangat yang   sama  seperti   ketika dulu   ia  memeranginya.  Ingin  sekali    ia  agar   masyarakat Muslimin menjadi sebuah organisasi yang dapat     mempertahankannya  seperti Kuraisy dulu.[23]

4.      Mendampingi Nabi
Kesetiaan Umar pada Rasulullah s.a.w sejak masuk Islam, ibarat kesetiaan kepala pada tubuh, malam dan siang, bayangan dan pemilik bayangan. Umar tak pernah berpisah dengan Rasulullah, baik ketika beliau melakukan perjalanan maupun tidak. Bahkan bagi Umar, waktu terindah adalah saat bertemu dengan kekasihnya, Muhammad s.a.w berada di sisi Rasulullah adalah harapan dan kesenangan tersendiri bagi Umar. Tak ayal peristiwa yang dialami Rasulullah, semuanya disaksikan oleh Umar ibn Khattab.[24]
Bukti kecintaan Umar kepada Rasulullah terlihat pada suatu riwayat yang menyatakan “Kami sedang bersama Nabi Muhammad s.a.w Beliau ketika itu sedang memegang tangan Umar ibn Khattab. Umar lalu mengatakan, ‘wahai Rasulullah, kau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali diriku’ Nabi menjawab, ‘Tidak, demi Dzat yang aku berada dalam genggaman-Nya, sampai aku lebih kau cintai daripada dirimu sendiri’ Umar lalu berkata, ‘sekarang demi Allah, Kau lebih aku cintai daripada diriku sendiri’ Nabi berkata, ‘Sekarang, wahai Umar’.”[25]
Cinta dan kesetiaan dan pengorbanan Umar ibn Khattab terhadapa Rasulullah s.a.w tidak dapat diragukan lagi. Penulis-dalam konteks tulisan ini- tidak perlu mengulas panjang lebar tentang masalah itu. Akan tetapi yang menjadi titik tekan adalah bagaimana proses interaksi Umar dengan Rasulullah dalam masalah ilmu, sehingga dengan ini, diharapkan akan ditemukan korelasi antara pemikiran progresif Umar dengan latar belakang kehidupannya, baik sejak kecil, remaja, dan dewasa (pada masa Jahiliyah), ataupun ketika mendampingi dakwah Rasulullah melalui segara bentuk interaksi transfer of knowledge.
Keilmuan Umar
Umar Ibn Khattab tergolong ulama terkemuka dan hakim yang adil. Ia menjadi rujukan para sahabat sepeninggal Rasulullah s.a.w. Tak heran, karena sahabat ini belajar langsung di madrasah Rasulullah s.a.w Ia memperoleh “hidangan” ilmu secara langsung dari Rasulullah s.a.w. Rasulullah sendiri mengakui dan bersaksi atas hal itu.
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Hadits Abdullah ibn Umar, “Aku mendengar Rasulullah s.a.w bersabda, ‘saat tidur aku bermimpi, aku diberi semangkuk susu. Lalu aku minum sampai aku melihat susu itu keluar di antara jari-jariku. Aku berikan sisanya kepada Umaar ibn Khattab’. ” mendengar cerita itu, para sahabat bertanya, “bagaimana engkau menakwilkan mimpi itu, wahai Rasulullah?” beliau menjawab, “ilmu” (HR.Bukhori Muslim)[26]
Imam Nawawi menjelaskan, susu ditafsirkan dengan ilmu karena keduanya sama-sama memberikan manfaat dan mendatangkan kebaikan. Susu adala makanan bagi bayi yang bisa membuat mereka sehat, dan badan menjadi kuat. Sedang ilmu merupakan sebab kebahagiaan dunia dan akhirat.[27]
Mimpi Rasulullah s.a.w memang benar adanya, tafsir mimpi yang beliau lakukan juga benar. Bahkan penjelasan Imam Nawawi juga sangat tepat sekali. Hal ini karena Umar adalah sahabat yang paling menonjol dalam hal keilmuan daripada sahabat yang lain. Pada masa nabi, terdapat beberapa peristiwa yang menunjukkan kecerdasan Umar dalam memutuskan sesuatu, dan hal itu mayoritas dibenarkan oleh wahyu yang turun setelahnya.
Salah satu peristiwa yang terjadi adalah masalah perang badar dan tawanan perang.[28] Muslimin menawan tujuh puluh orang Kuraisy,  kebanyakan   pemimpin-pemimpin dan   orang-orang   berpengaruh di kalangan mereka. Umar   bin    Khattab   termasuk   orang   yang   paling   keras   ingin  membunuh  para   tawanan      itu.   Tetapi   para   tawanan    itu  masih    ingin   hidup   dengan jalan penebusan.  Mereka  mengutus  orang    kepada  Abu  Bakr agar  membicarakan dengan Rasulullah  untuk bermurah  hati   kepada mereka dan    mereka   bersedia   membayar   tebusan. Abu Bakr berjanji akan  berusaha.  Tetapi   karena  mereka khawatir Umar akan mempersulit keadaan,  mereka juga   mengutus  orang  kepada  Umar dengan   pesan   seperti   kepada Abu Bakr. Tetapi Umar menatap mereka penuh curiga. Abu Bakr datang  menemui Rasulullah dengan permintaa agar bermurah hati kepada  para   tawanan    perang   itu   atau   menerima   tebusan dari  mereka, yang berarti  dengan   demikian  akan   memperkuat Muslimin.  Tetapi Umar tetap   keras   dan   tegar.  "Rasulullah, " katanya. "Mereka musuh-musuh Allah.  Dulu   mereka mendustakan, memerangi dan mengusir Rasulullah. Penggal sajalah leher   mereka.   Mereka   inilah   biang   orang-orang   kafir, pemuka-pemuka   orang  sesat. Allah sudah menghina kaum musyrik   itu dengan   Islam." [29]
  Dalam hal  ini Rasulullah bermusyawarah dengan Muslimin dan berakhir     dengan menerima   tebusan dan   Nabi   membebaskan   mereka.Tetapi  tak   lama sesudah   itu   datang  wahyu   dengan   firman   Allah   ini :
      "Tidak sepatutnya  seorang  nabi  akan mempunyai tawanan- tawanan  perang, sebelum  ia selesai berjuang di dunia. Kamu menghendaki harta benda dunia; Allah menghendaki akhirat. Allah Mahakuasa, Mahabijaksana." (Qur'an, 8:67).[30]
Begitulah Umar,  memberikan   pendapatnya  sekitar   peristiwa   Badr,  seolah  sudah  melihat    peristiwa    itu  sebelum    terjadi,   seperti   halnya dengan  soal   azan   untuk   salat.   Dengan   demikian   Nabi   dan   kaum   Muslimin   sangat   menghargai   pendapatnya,   kedudukannya   makin  tinggi  di samping  Nabi  dan   di  kalangan   kaum Muslimin   umumnya.
Wahyu turun memperkuat   pendapat   Umar   mengenai   para   tawanan perang.[31]  Ini juga yang  membuat Umar makin   dekat di   hati Nabi.  Ia  telah menjadi   pendampingnya  seperti juga Abu   Bakr:   Hafsah   putri   Umar   istri Khunais   bin    Huzafah,  adalah salah  seorang   yang   mula-mula   dalam   Islam.   Tetapi    Hafsah   ditinggalkan wafat oleh  Khunais beberapa  bulan sebelum Perang Badr.  Kemudian  Rasulullah  menikah dengan  Hafsah, seperti  dengan   Aisyah   putri   Abu   Bakr   sebelum itu. Pertalian  semenda ini   makin   mempererat   hubungan   Nabi   dengan   Umar, sehingga  dengan demikian  lebih  memudahkan Umar sering datang  menemui  Nabi, seperti juga Abu Bakar.
Karena semakin dekatnya Umar dengan Rasulullah, Umar yang memiliki pemikiran cedas, ulet, dan kritis, selalu mengikuti perjalanan tasyri’ al-Islamy yang dilakukan oleh Rasulullah dengan kontrol wahyu. Pemikiran progresif beliau semakin terasah pada masa Khalifah Abu Bakar al-Siddiq.

5.      Umar di Masa Khalifah Abu Bakar
Setelah Rasulullah mengahadap Allah s.w.t, terjadi peristiwa yang sangat genting pada masa itu, dimana jasad Rasul belum dikebumikan, kaum muslimin berada dalam masalah besar. Mereka berdiskusi sangat a lot sekali hingga benih-benih perpecahan mulai tampak, kalau saja bukan Umar yang membai’at Abu bakar agar menjadi pengganti Nabi untuk memimpin kaum muslimin, serta mengakhiri perselisihan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar, niscaya perselisihan di bukit bani Tsaqifah tersebut akan berujung pada perpecahan di antara umat Islam waktu itu.
Setelah terpilihnya Abu Bakr sebagai Khalifah, seluruh urusan umat Islam berasa pada tampuk kepemimpinannya. Umar adalah sahabat dan penasihat terdekat. Hal ini yang menbuat Umar menjadi nominator terkuat meneruskan kekhalifahan Abu Bakr. Maka ketika Abu Bakr wafat, kaum muslimin sepakat membai’at Umar sebagai Khalifah baru.[32]
Karena posisinya yang sangat dekat dengan Kholifat Abu Bakar, maka dalam kebijakan-kebijakan, baik politik maupun keagamaan, Umar selalu memberikan kontribusi pemikiran-pemikiran progresifnya. Salah satu pemikiran ijtihadnya adalah masalah kodifikasi al-Quran. Sebebutkan dalam beberapa riwayat bahwa ketika terjadi ekspedisi Yamamah, dan banyak dari penghafal al-Quran yang ikut dalam peperangan mati syahid, Umar ibn Khattab dating dating menemui Abu Bakr yang sedang berada di Masjid. Umar berkata kepada Abu Bakr “Pembunuhan yang terjadi dalam perang yamamah sudah makin memuncak” katanya kemudian kepada Abu Bakr, “saya hawatir di tempat-tempat lain akan bertambah banyak penghafal al-Quran yang akan terbunuh, sehingga al-Quran akan banyak yang hilang. Saya mengusulkan agar al-Quran dihimpun” usul yang dirasakan Abu Bakar sangat tiba-tiba itu dijawab dengan pertanyaan, “bagaimana saya akan melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam”[33] maka terjadilah dialog panjang antara kedua tokoh itu yang kemudian membuat Abu Bakr puas dengan pendapat Abu Bakar.[34] Ketika kesepakatan untuk menghimpun al-Quran itu disampaikan kepada Zaid ibn Tsabit[35] untuk melakukan penghimpunan al-Quran. Respon yang sama dilakukan oleh Zaid ibn Tsabit, beliau berkata, “bagaimana anda berdua melakukan itu, yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah s.a.w.” maka kata Abu Bakar”itu sungguh bagus” kemudian Zaid menyudahi pembicaraan itu dengan mengatakan, “Kemudian Allah membukakan hasti saya seperti terhadap Abu Bakar dan Umar”. Zaid meninggalkan termpat itu dan selanjutnya bekerja melacak dan menghimpun al-Quran dari lempengan-lempengan, dari tulang-tulang, kepingan-kepingan pohon kurma dan dari hapalan sahabat Nabi.[36]
Pemikiran-pemikiran progressif yang lahir dari kecerdasan, keuletan, dan ketelitian Umar semakin berkembang pada masa kekhalifahan Abu Bakar. Tercatat ada sedikitnya ada empat kasus yang beliau ijtihadi pada masa khalifah Abu bakar ini, termasuk kasus penghimpunan al-Quran.
Kemudian ketika sakit Abu Bakar semakin parah, ia mengumpulkan beberapa oarng dari pemuka sahabat. Abu bakar memerintahkan untuk memilih pemimpin mereka, agar kejadian di bukit bani Tsaqibah tidak terulang lagi. Para sahabatpun menyelenggarakan musyawarah. Setiap orang menolak  dirinya dicalonkan dan malah mencalonkan sahabat lain yang dianggap layak menjadi khalifah. Karena musyawarah tersebut tidak membuahkan hasil, maka mereka mengembalikan  persoalan tersebut kepada Abu Bakar. Abu Bakar, Setelah melakukan musyawarah, meminta pendapat Abdurrahman ibn Auf tentang Umar ibn Khattab, kemudian Utsman ibn Affan. Mereka berdua sama-sama menjawab bahwa Abu Bakar lebih tahu tentang Umar daripada keduanya. Kemudian terpilihlah Umar ibn Khattab sebagai Khalifah pengganti Abu Bakar.[37]

6.      Menjabat Khalifah Kedua
Menjabat Khalifah kedua sebagai pengganti Abu Bakar adalah suatu kehormatan tersendiri bagi Umar ibn Khattab. Akan tetapi, kalau dilihat dari track record sebelumnya, baik Khattab maupun Umar sendiri, sosok Umar sebenarnya memiliki darah-darah kepemimpinan yang amat kental. Khattab, ayah Umar, adalah seorang pemimpin suku Bani Adi,[38] sedangkan Umar sendiri, karena keberanian dan kecerdasannya, selalu ditunjuk untuk menjadi duta kaumnya ketika ada konflik baik internal ataupun melibatkan suku-suku yang lain.[39] Maka keputusan Abu Bakar menunjuk Umar untuk meneruskan tugas kekhalifahan adalah suatu keputusan yang tepat.
Gaya kepemimpinan Umar berbeda dengan khalifah Abu Bakar. Rasul Ja’farian melakukan analisa yang hasilnya dia menemukan karakteristik kepemimpinan Umar. Umar Ibn Khattab menganggap dirinya berhak atas otoritas yang luas sebagai penguasa. Dia memberikan hak yang khusus pada dirinya sendiri, bukan hanya pada urusan-urusan politik dan pemerintahan, akan tetapi juga dalam masalah perwakilan ketuhanan dan menetapkan hukum.
Karena kecintaannya kepada Ilmu, maka beliau sangat mendukung aktifitas-aktifitas ilmiyah. Salah satu statemen beliau adalah “Ilmu itu meski tidak memberikan manfaat kepadamu, ia tidak akan membahayakanmu”. Statemen yang lain adalah “meninggalnya seribu ahli Ibadah lebih ringan dari pada meninggalnya seorang ahli ilmu yang benar-benar memahami halal dan haram”. Statemen yang lain adalah “belajarlah ilmu dan ajarkan pada orang, belajarlah keteduhan dan ketenangan, bersikap rendah dirilah pada orang yang mengajarkan ilmu padamu dan pada orang yang kau ajari, jangan sombong terhadap ulama’ nicaya ilmumu tidak mengajari kebodohanmu”.[40] Statemen Umar tersebut menunjukkan bahwa beliau sangat mengapresiasi ilmu, para pencari ilmu, dan yang mengajarkan ilmu. Beliau sangat mendorong segala macam aktifitas ilmiyah pada masa kepemimpinan nya untuk menciptakan suasana ilmiyah di kota Madinah. Selain anjuran untuk bergelut dalam dunia ilmiyah, Umar juga memberikan warning kepada para sahabat untuk hati-hati dengan penyakit sombong, mereka harus selalu menciptakan suasana saling “respek” meski terjadi perselisihan pendapat, tidak boleh ada fanatisme pendapat.
Kecintaan Umar terhadap ilmu menjadikan beliau sangat responsif menghadapi setiap peristiwa yang terjadi. Sesuai analisa yang dilukan oleh  Rasul Ja’farian, Umar memiliki otoritas yang sangat luas untuk memberikan fatwa dari hasil pemikirannya sendiri dalam menyikapi setiap persoalan yang terjadi, baik politik maupun agama. Hal ini, sebetulnya adalah masa puncak di mana Umar sangat leluasa untuk mengasah dan mengembangkan intelektualnya yang dibangun mulai masa kecil. Akan tetapi, hal yang perlu untuk digaris bawahi adalah bahwa Umar  sangat hati-hati dalam memutuskan suatu perkara. Kebersamaan dan kedekatannya dengan Nabi serta kedekatannya dengan Khalifah Abu Bakar membuatnya memiliki pengalam yang lebih daripada sahabat yang lain. Umar telah banyak makan asam garam baik ketika mendampingi Nabi maupun Khalifah Abu Bakar. Dari kebersamaannya dengan Nabi dan Abu Bakar, Umar berusaha mengambil substansi dari apa yang pernah dilakukan baik oleh Nabi maupun oleh Abu Bakar. Substansi tersebut beliau gunakan sebagai alat untuk menetapkan hokum suatu peristiwa dengan konteks dan tempat yang berbeda.
Salah satu produk pemikiran (ijtihad) Umar yang masih mengalami pro-kontra sampai saat ini adalah kebijakan beliau untuk tidak menerapkan hukuman potong tangan (had al-sariqoh) pada para pencuri. Umar melihat adanya daruroh pada permasalahan tersebut. Peristiwa pencurian tersebut terjadi pada musim paceklik, dimana sangat sulit bagi orang Madinah untuk mencari pekerjan. Ditambah lagi hilangnya rasa kepedulian sesame di kalangan kaum muslimin. Orang kaya waktu itu, tidak mau tau terhadap apa yang dialami saudara seagama mereka. Akibatnya adalah marak terjadi pencuriand dan perampokan. Setelah memahami dengan cermat kasus tersebut, Umar tidak menerapkan perintah al-Quran untuk memotong tangan para pencuri tersebut. Hal ini dilakukan karena Umar berfikir jika potong tangan diterapkan, maka orang-orang akan semakin susah untuk menjalani kehidupan mereka hanya satu tangan ketika melakukan pekerjaan.
Pemikiran-pemikiran (ijtihad-ijtihasd) semakin berkembang dan sampai pada puncaknya di masa ini. Selain menjadi seorang pemimpin Negara, beliau adalah faqih karena kecerdasan dan keluasan ilmunya yang mulai diasah dari sejak kecil, remaja, waktu mendampingi Nabi, hinggan menjadi penasehat Khalifah Abu Bakar.

7.      Ijtihad-Ijtihad Umar

Pembahasan tentang Ijtihad Umar, Penulis mengklasifikasinya mendajadi dua bagian. Pertama, ijtihad yang sesuai dengan al-Quran, dalam arti bahwa al-Quran turun memperkuat pendapat beliau. Kedua, ijtihad yang secara tekstual bertentangan dengan redaksi al-Quran  dan tidak pernah dilakukan atau dipraktekkan pada masa Nabi Muhammad s.a.w.
Adapun terkait dengan bagian yang pertama adalah bahwa Umar bin Khattab ra mempunyai pemikiran yang sangat hebat. Beberapa pendapatnya merupakan sebab turunnya al-Quran. Di antaranya adalah[41]:
a.       Kisah tawanan Perang Badar (Ayat 28 Surah Al-Anfal)
وَاعْلَمُوا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
"Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar."
b.     Menjadikan Maqam Ibrahim sebagai tempat shalat (Ayat 125 Surah Al-Baqarah)
وَإِذْ جَعَلْنَا الْبَيْتَ مَثَابَةً لِلنَّاسِ وَأَمْنًا وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى وَعَهِدْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ
Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. dan Jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim  tempat shalat. dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud.”
c.       Ayat Hijab (Ayat 53 Surah Al-Ahzab)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتَ النَّبِيِّ إِلَّا أَنْ يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَى طَعَامٍ غَيْرَ نَاظِرِينَ إِنَاهُ وَلَكِنْ إِذَا دُعِيتُمْ فَادْخُلُوا فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِرُوا وَلَا مُسْتَأْنِسِينَ لِحَدِيثٍ إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ يُؤْذِي النَّبِيَّ فَيَسْتَحْيِي مِنْكُمْ وَاللَّهُ لَا يَسْتَحْيِي مِنَ الْحَقِّ وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ وَمَا كَانَ لَكُمْ أَنْ تُؤْذُوا رَسُولَ اللَّهِ وَلَا أَنْ تَنْكِحُوا أَزْوَاجَهُ مِنْ بَعْدِهِ أَبَدًا إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمًا
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah- rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk Makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya) [2], tetapi jika kamu diundang Maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri- isteri Nabi), Maka mintalah dari belakang tabir. cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini isteri- isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah Amat besar (dosanya) di sisi Allah."
d.      Ayat tentang asal-usul kejadian manusia (Ayat 12 Surah Al-Mukminun)
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ سُلَالَةٍ مِنْ طِينٍ
"Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah."
e.       Ayat tentang arak (Ayat 219 Surah Al-Baqarah dan Ayat 43 Surah An-Nisa’)
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ
"Mereka bertanya kepadamu tentang khamar  dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah:"yang lebih dari keperluan.” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir,"
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam Keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema’af lagi Maha Pengampun."
f.       Ayat Larangan Menshalati Jenazah Orang Munafiq (Ayat 84 Surah At-Taubah)
وَلَا تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا وَلَا تَقُمْ عَلَى قَبْرِهِ إِنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَاتُوا وَهُمْ فَاسِقُونَ
"Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam Keadaan fasik."
g.      Kisah orang Munafiq (Ayat 6 Surah Al-Munafiqun)
سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَسْتَغْفَرْتَ لَهُمْ أَمْ لَمْ تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ لَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
“Sama saja bagi mereka, kamu mintakan ampunan atau tidak kamu mintakan ampunan bagi mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik."
h.      Ayat tentang penghalalan jima’ di malam bulan Ramadhan (Ayat 187 Surah Al-Baqarah)
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
"Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma’af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf [6] dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa."
Adapun bagian yang kedua, terkait dengan ijtihad beliau yang secara ekplisit bertentangan dengan teks al-Quran, atau terkesan berusaha keluar dari teks al-Quran adalah sebagai berikut[42].
a.       Masalah jam’u al-Quran
b.      Melarang pemberian kepada muallaf
c.       Menolak melaksanakan had al-sariqoh karna keadaan darurat
d.      Masalah talak dengan sekali uacapan

   C.    Analisis
Seperti telah diuraikan dalam latarbelakang masalah, Penulis ingin mengulas kilas balik kehidupan pribadi seorang Umar bin Khattab. Hal ini dilakukan karena pada masa Nabi maupun Khulafaur Rasyidin, jarang ditemukan sahabat yang memiliki pemikiran cerdas seperti halnya sahabat Umat. Oleh karena itu, berangkat dari sebuah teori yang menyatakan bahwa tidak ada satupun pemikiran yang benar-benar lepas dari latarbelakang pemikirnya.
Pada bagian analisis ini, Penulis berusaha untuk memaparkan korelasi antara kehidupan Umar bin Khattab sebelum ia masuk Islam dengan hasil produk pemikiran-pemikiran progresifnya.
Khattab, ayah Umar, meski berkepribadian kasar, tapi beliau adalah orang yang cerdas, tidak jarang beliau memecahkan persoalan yang dialami sukunya waktu itu. Selain itu, beliau adalah orang dipercayai untuk memimpin sukunya. Dua hal positif yang dimiliki oleh Khattab ini yang kemudian diwariskan kepada anaknya, Umar bin Khattab.
Pada masa kecilnya, Umar ibn Khattab memang dibesarkan seperti layaknya anak-anak Quraisy. Akan tetapi yang istimewa darinya yang kemudian membedakannya dengan   yang   lain adalah bahwa ia   sempat belajar   baca-tulis,   hal   yang   jarang   sekali   terjadi  di  kalangan mereka. Dari   semua   suku    Kuraisy   ketika Nabi diutus   hanya   tujuh   belas   orang yang   pandai   baca-tulis.   Sekarang   kita mengatakan bahwa  dia   termasuk istimewa di   antara teman-teman   sebayanya.  Orang-orang Arab masa itu tidak mengangga  pandai  baca-tulis itu suatu  keistimewaan, bahkan mereka   malah      menghindarinya   dan menghindarkan  anak-anaknya   dari  belajar.
Itulah awal dimana Umar kecil mendapatkan kesempatan istimewa untuk memulai langkahnya masuk dalam dunia intelektual. Suatu generalisasi yang hampir tidak terbantahkan bahwa baca tulis adalah kompetensi yang harus dimiliki seseorang untuk masuk dalam dunia intelektual. Umar, pada masa kecilnya adalah orang yang yang memiliki kompetensi langka yang pada masa itu hamper mayoritas orang Arab tidak suka atau bahkan melarang anaknya untuk belajar baca-tulis. Oleh karena itu, Umar adalah orang yang istimewa di kalangannya waktu itu, karena dialah satu-satunya orang yang belajar baca-tulis dan kemudian memiliki kompetensi dalam hal itu.
Pada masa mudanya, Umar memilki beberapa keahlian, diantaranya dalah adu gulat, memacu kuda, menyukasi sastra, baik mencipta dan mendendangkan syair, dan yang paling penting lagi adalah ia sangat menyukai ilmu pengetahuan. Nampaknya kompetensi baca-tulis yang ia miliki mulai memberikan stimulus positif kepadanya dengan mendorongnya untuk menyukasi sastra dan ilmu pengetahuan.
Adapun terkait dengan kesukaannya dalam masalah sastra. Dia selalu datang ke pasar-pasar di Makkah-di antaranya adalah pasar Ukaz- untuk menonton para penyair yang mendendangkan syairnya. Tidak hanya menonton, terkadang ia juga mencipta dan mendendangkan syairnya.
Sedangkan dalam ilmu pengetahuan, beliau termasuk orang yang memiliki paradigma berbeda dengan orang-orang pada masanya. Beliau memang, seorang pedagang-karena mayoritas mata pencaharian di sana adalah berdagang, bertani, dan ternak- beliau memang menjelajahi berbagai Negara untuk berdagang, seperti ke syam atau bahkan ke syiria. Akan tetapi nampaknya Umar memiliki misi lain dari hanya sekedar mencari laba dalam perdagangan. Misi tersebut adalah ilmu pengetahuan dan sejarah. Umar sangat mencintai ilmu pengetahuan, kecintaannya kepada pengetahuan membuat misi untuk meraih laba dalam perdagangannya tersebut menjadi dinomerdua-kan, bahkan ada riwayat yang menyatakan bahwa Umar selalu mendapatkan rugi dalam berdagang, hal itu terjdai karena ia lebih memburu ilmu pengetahuan dan sejarah daripada fokus sama pekerjaanya sebagai pedagang.
Hal lain yang tidak kalah penting untuk disoroti adalah bahwa karena kecintaannya pada ilmu pengetahuan dan sejarah, beliau mulai memikirkan nasib masyarakatnya dan  usaha  apa  yang akan dapat   memperbaiki keadaan mereka. Hal ini benar-benar kejadian langka di masa itu.
Akhirnya, pondasi intelektualisme Umar ibn Khattab mulai dibangun dengan kecintaannya pada sastra, sejarah, dan ilmu pengetahuan. Pondasi intelektualisme tersebut semakin kokoh dan bahkan berkembang dengan begitu cepat karena disokong oleh kecerdasan dan keuletannya dalam merespon setiap peristiwa yang terjadi.
Setelah Umar ibn Khattab memeluk Islam, pondasi intelektualisme yang kokoh tersebut kemudian diteruskan menjadi sebuah bangunan yang sangat megah. Kehadiran sosok Nabi Muhammad yang penuh dengan muatan ilmu pengetahuan dan hikmah dapat memberikan muatan ilmu kepada Umar yang sangat haus akan ilmu pengetahuan. Intelektualisme Umar ibn Khattab Ibarat tanaman di musim hujan yang kemudian dipupuk hingga tumbuh subur.[43]
Intelektualisme Umar semakin berkembang pada masa Abu Bakar menjabat sebagai Khalifah. Faktor kedekatannya dengan sang Kholifah membuat pemikiran-pemikiran beliau semakin terasah dan mendapat tempat. Hal ini terbukti beliau sangat responsif menyikapi berbagai macam persolan yang terjadi di masa itu. Salah satunya adalah persoalan penghimpuan al-Quran. Umar berpendapat untuk menghimpun al-Quran karena banyak dari penghapal al-Quran yang wafat.[44]
Intelektualisme progresif Umar sampai pada puncaknya ketika beliau menjabat sebagai Khalifah yang kedua, sebagai penerus Khalifah Abu Bakar. Umar ibn Khattab memiliki tipe kepemimpinan yang berbeda dengan pendahulunya, Abu Bakar. Hal tersebut terletak pada karakteristik pemikirannya yang kemudian menjadi tipe dan gaya kepemimpinannya. Salah satu ciri utama pemikiran Umar Ibn Khattab adalah bahwa ia menganggap dirinya berhak atas otoritas yang luas sebagai penguasa. Dia memberikan hak yang khusus pada dirinya sendiri, bukan hanya pada urusan-urusan politik dan pemerintahan, akan tetapi juga dalam masalah perwakilan ketuhanan dan menetapkan hukum.[45] Hal ini disebabkan oleh kepribadiannya yang kasar dan fanatik terhadap dirinya sendiri. Maka dengan otoritas yang ia miliki, yang tidak hanya dalam masalah politik saja, akan tetapi menyentuk pada ranah keagamaan, maka intelektualisme progresif beliau mencapai pada puncaknya. Hal ini terbukti dengan banyak sekali fatwa-fatwa beliau terkait persoalan-persoalan yang terngah dihadapi, baik menyangkut masalah politik, maupun keagamaan.[46]

   D.    Penutup
Sebuah teori yang menyatakan bahwa tidak ada satupun pemikiran yang benar-benar lepas dari latar-belakang pemikirnya sekarang semakin kokoh dan tidak terbantahkan. Tulisan ini membuktikan kebenarkan teori tersebut. Pemikiran progrssif umar ternyata tidak serta merta muncul tanpa didasari oleh latarbelakang kehipunnya. Proses yang begitu panjang dilalui umar untuk sampai pada posisi agung tersebut. Umar memulainya dengan belajar baca-tulis, dimana anak seusianya tidak melakukan hal itu, atau bahkan ayah-ayah mereka menjauhkan mereka dari hal tersebut. Lalu kemudian, kompetensi baca-tulis yang ia miliki memberikan stimulus positif kepadanya, sehingga ia mulai menyukai dan bahkan mencintai sastra, sejarah, dan ilmu pengetahuan.  Kecintaannya kepada ilmu pengetahuan membuatnya mulai berfikir untuk melakukan perubahan-perubahan berarti bagi kaumnya agar lebih baik. Kecintaannya kepada ilmu pengetahuan membuatnya lupa akan misi utama dalam berdagang, yaitu laba, ia lebih mementingkan ilmu dan sejarah, sehingga seringkali ia merugi dalam perdagangannya.
Setelah memeluk Islam, kehadiran Nabi yang penuh dengan Ilmu dan hikmah dapat memuaskan Umar yang sedang lapar akan ilmu pengetahuan. Lalu kemudian intelektualismenya semakin berkembang pada masa abu kepemimpinan Abu Bakar. Lalu pada akhirnya, intelektualisme beliau benar-benar sampai pada puncaknya ketika beliau menjabat sebagai Khalifah yang kedua.

         Daftar Pustaka

Rasul Jafariyan, 2006, The History of Caliphs, terj. Anna Farida DKK, Sejarah Khilafah, Jakarta, Al-Huda
Munawir Sjazali. 1993. Islam, Realitas Baru, dan Orientasi Masa Depan Bangsa, Jakarta: UI Press
                       Al-Suyuthi, 1351 H, Tarikhu al-Khulafa’, Mesir
Muhammad Husain Haikal, cet. Ketujuh 2007, Umar bin Khattab, Jakarta, Mitra Kerjaya Indonesia,
Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir al-Thobary, 2001, Tarikh al-Thobary, Tharikh al-Muluk wa al-Umam, Beiru Lebanon, Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
Ibrahim al-Quraibi, 2009, asy-Syifa fi Tarikh al-Khulafa’, terj. Faris Khoirul Anam, Jakarta, Qisthi Pess
Muhammad Ash-Shalaby, 2008, The Great Leader of Umar Bin Khattab, Jakarta, Pustaka al-Kautsar
Ali Hasan Ibrahim, Al-Tarikh al-Islam al-‘Am
Muhammad Ahmad Abu an-Nashr, Umar bin Khathab
Rasul Ja’fariyan, 2006, The History of Caliphs, terj. Anna Farida DKK, Sejarah Khilafah, Jakarta, Al-Huda
Ibnu Sa’ad, ath-Thabaqot al-Kubra, jilid 4
Nawawi, Syarh an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, Jilid 5
Muhammad Abdul Fattah ‘Ulyan, 2002, Tarikh al-Khulafa al-Rasyidin, Dirasat wa Buhuts, Kairo, Maktabah al-Mutanabby
Muhammad Ibn Ahmad Ibn Utsman al-Dzahaby, 1988, Al-Khulafa al-Rasyidun, min Tarikh al-Islam, Beirut, Lebanon, Dar al-Kutub al-Ilmiyah
Jalaluddin Abdurrahman al-Suyuthi, tt, Tarikhu al-Khulafa, Kairo, Dar al-Fikr al-Islamy
Hepi Andi Bastoni, 2008, Sejarah Para Kholifat, Jakarta, Pustaka al-Kautsar
Umar-bin-khattab on http//.www.supportmadrasahkita.blogspot.com/2010/05/.html. diakses pada tgl. 27 Desember 2012 jam 15.11



[1] Rasul Jafariyan, 2006, The History of Caliphs, terj. Anna Farida DKK, Sejarah Khilafah, Jakarta, Al-Huda, hal.99
[2]  Statement Peneliti Freedom Institute, Ahmad Sahal, dalam artikelnya berjudul Umar bin Khattab dan Islam Liberal menyebut Islam Liberal mendapat energi dari Umar bin Khathab.
[3] Munawir Sjazali. 1993. Islam, Realitas Baru, dan Orientasi Masa Depan Bangsa, Jakarta: UI Press
[4] Al-Suyuthi, 1351 H, Tarikhu al-Khulafa’, Mesir, hal. 74
[5] Muhammad Husain Haikal, cet. Ketujuh 2007, Umar bin Khattab, Jakarta, Mitra Kerjaya Indonesia, hal. 8
[6] Muhammad Abdul Fattah ‘Ulyan, 2002, Tarikh al-Khulafa al-Rasyidin, Dirasat wa Buhuts, Kairo, Maktabah al-Mutanabby, hal.109
[7] Riwayat al-Harits dari Muhammad Ibn sa’ad dari Muhammad Ibn Umar. Lihat Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir al-Thobary, 2001, Tarikh al-Thobary, Tharikh al-Muluk wa al-Umam, Beiru Lebanon, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, hal. 562. Adapun terkait masalah kulit Umar, Penulis menyimpulkan ada dua pendapat yang kontradiktif tentang wakna kulitnya, satu pihak mengatakan  sawo matang, sedangkan di pihak yang lain mengatakan kulitnya putih kemerah-merahan. Setelah menulis melakukan tinjauan pustakan, ternyata ada sejarawan yang menafsiri kedua perbedaan tersebut. Beliau berpendapat bahwa kulit Umar memang putih kemerah-merahan, namun di kemudian hari, tepatnya pada masa paceklik, warna kulitnya menjadi sawo  matang. Hal ini disebabkan karena Umar banyak makan minyak dan tidak mau makan daging. Umar melakukannya karena sebab melihat kondisi umat di masa itu tengah mengalami kesusahan. Maka dengan pertimbangan itu, Umar tak mau  minum susu dan makan daging agar tidak ada bedanya antara dirinya dengan rakyat yang tengah didera kesusahan. (lihat: Ibrahim al-Quraibi, 2009, asy-Syifa fi Tarikh al-Khulafa’, terj. Faris Khoirul Anam, Jakarta, Qisthi Pess, hal.338)
[8] Muhammad Ash-Shalaby, 2008, The Great Leader of Umar Bin Khattab, Jakarta, Pustaka al-Kautsar. Hal. 15-16
[9] Muhammad Husain Haikal, Op.Cit, hal. 8
[10] Muhammad Husain Haikal, Op.Cit, hal. 10
[11] Ibrahim al-Quraibi, 2009, asy-Syifa fi Tarikh al-Khulafa’, terj. Faris Khoirul Anam, Jakarta, Qisthi Pess, hal.316
[12] Muhammad Husain Haikal, Op.Cit, hal.12
[13] Ali Hasan Ibrahim, Al-Tarikh al-Islam al-‘Am, hal 226.
[14] Ash-Shalaby, 2008, The Great Leader of Umar Bin Khattab, hal. 20
[15] Muhammad Ahmad Abu an-Nashr, Umar bin Khathab, hal. 17
[16] Muhammad Husain Haikal, Op.Cit, hal. 15-16
[18] Rasul Ja’fariyan, 2006, The History of Caliphs, terj. Anna Farida DKK, Sejarah Khilafah, Jakarta, Al-Huda, hal.77
[19] Ibrahim al-Quraibi, 2009, asy-Syifa fi Tarikh al-Khulafa’, Loc.Cit. hal. 316
[20] Ibrahim al-Quraibi, 2009, asy-Syifa fi Tarikh al-Khulafa’, Loc.Cit. hal. 316
[21] Muhammad Husain Haikal, Op.Cit, hal.25-26
[22] Ibnu Sa’ad, ath-Thabaqot al-Kubra, jilid 4, hal. 267-270
[23] Muhammad Husain Haikal, Op.Cit, hal. 32
[24] Ibrahim al-Quraibi, 2009, asy-Syifa fi Tarikh al-Khulafa’, terj. Faris Khoirul Anam, Jakarta, Qisthi Pess, hal. 326
[25] Hadits Riwayat Bukhori dari Abdullah Ibn Hisyam, lihat; Ibrahim al-Quraibi, 2009, asy-Syifa fi Tarikh al-Khulafa’, terj. Faris Khoirul Anam, Jakarta, Qisthi Pess, hal. 326-327
[26] Ibrahim al-Quraibi, 2009, asy-Syifa fi Tarikh al-Khulafa’, terj. Faris Khoirul Anam, Jakarta, Qisthi Pess, hal. 333
[27] An-Nawawi, Syarh an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, Jilid 5, hlm. 525
[28] Masalah tersebut anya salah satu kasus yang pernah mejadi hasil produk ijtihad Umar, pembahasan lebih lengkap tentang ijtihad Umar akan dibahas pada bahasan tersendiri.
[29] Muhammad Abdul Fattah ‘Ulyan, 2002, Tarikh al-Khulafa al-Rasyidin, Dirasat wa Buhuts, Kairo, Maktabah al-Mutanabby, hal.122
[30] Muhammad Husain Haikal, Op.Cit, hal.47-48
[31] Sempat mucul generalisasi yang terkesan berlebihan terkait masalah ini. Generalisasi tersebut muncul dari statemen Ali r.a dan Adbullah ibn Umar r.a. adapun statemen Ali adalah riwayat dari Ibn ‘Asakir dari Ali r.a., beliau berkata “Inna fi al-Qurani la ra’yan min ra’yi Umar’” terjemahan bebasnya mungkin adalah “sesungguhnya dalam al-Quran terdapat pendapat dari salah satu pendapat Umar” sedangkan statemen Abdullah Ibn Umar adalah atsar marfuk kepada Ibn Umar, beliau berkata “apa yang dikatakan manusia tentang sesuatu, kemudian untuk berkomentar (member fatwa hokum tentang masalah itu) pasti ayat al-Quran turun sebagaimana yang ditetapkan Umar”. Lihat : Jalaluddin Abdurrahman al-Suyuthi, tt, Tarikhu al-Khulafa, Kairo, Dar al-Fikr al-Islamy, hal.133. dalam masalah Penulis sependapat dengan Ibrahim al-Quraiby. Beliau berpendapat bahwa ketika Umar memiliki pendapat tentang suatu kasus, wahyu Allah turun sesuai pendapatnya. Menurut Imam Nawawi –yang dikutip oleh beliau- adalah bahwa Umar pernah berkata , “Pendapatku sesuai dengan firman Allah pada tiga hal. Pertama, aku mengatakan ‘wahai Rasulullah, andai anda menjadikan maqam Ibrahim sebagai tempat sholat’ lalu turun ayat, ‘dan jadikanlah Maqam Ibrahim sebagai tempat shalat’.  Kedua, aku mengatakan, ‘wahai Rasulullah, orang yang masuk menemui istri Anda ada yang baik, dan ada pula yang jahat. Andai anda memerintahkan istri anda agar mereka memakai hijab’. Lalu setelah itu, ayat tentang hijab turun, ketiga,   suatu ketika istri-istri Rasul saling cemburu satu sama lain. Kemudian aku  mengatakan, ‘jika kalian ditakdirkan bercerai dengan Rasulullah, semoga beliau mendapatkan ganti istri-istri yang  lebih baik daripada kalian’. Ayat yang sesuai dengan pendapat itu lalu turun ”. lihat: Ibrahim al-Quraibi, 2009, asy-Syifa fi Tarikh al-Khulafa’, terj. Faris Khoirul Anam, Jakarta, Qisthi Pess, hal.338-339
[32] Hepi Andi Bastoni, 2008, Sejarah Para Kholifat, Jakarta, Pustaka al-Kautsar, hal. 13
[33] Redaksi Arabnya adalah  كيف افعل مالم يفعله رسول الله
[34] Muhammad Husain Haikal, Op.Cit, hal. 740
[35] Sekretaris Rasulullah yang menjadi salah satu sahabat yang bertugas untuk menulis Kalam Allah.
[36] Muhammad Husain Haikal, Op.Cit, hal. 741
[37] Muhammad Ash-Shalaby, 2008, The Great Leader of Umar Bin Khattab, Jakarta, Pustaka al-Kautsar. Hal.115-117
[38] Muhammad Husain Haikal, Op.Cit, hal. 10
[39] Ibrahim al-Quraibi, 2009, asy-Syifa fi Tarikh al-Khulafa’, terj. Faris Khoirul Anam, Jakarta, Qisthi Pess, hal. 316
[40] [40] Muhammad Ash-Shalaby, 2008, The Great Leader of Umar Bin Khattab, Jakarta, Pustaka al-Kautsar. Hal. 262-263
[41] http//.www.supportmadrasahkita.blogspot.com/2010/05/umar-bin-khattab.html. diakses pada tgl. 27 Desember 2012 jam 15.11
[42] Lihat: Muhammad Husain Haikal, Op.Cit, hal740-768
[43] Hal ini dibuktikan dengan banyaknya ide-ide(ijtihad) Umar yang mendapatkan legitimasi wahyu (dibenarkan oleh wahyu), salah satunya adalah 1) persoalan tawanan perang badar, Abu Bakar berpendapat untuk tidak membunuh tawanan perang, sedangkan Umar bersikukuh untuk membunuh mereka, karena mereka adalah musuh-musuh Allah. Kemudian turun wahyu yang membenarkan pendapat Umar. 2)persoalan istri-istri Nabi yang tidak menutup aurat di dalam rumah mereka, kemudian Umar mengusulkan kepada Nabi untuk menyuruh mereka untuk menuntup aurat. Kemudian turun wahyu tentang wajibnya menutup aurat. Dan ijtihad-ijtihad beliau yang lain.
[44] Persoalan lain adalah masalah pemberian terhadap muallaf. Pada masa Rasulullah, beliau menyuruh memberikan sesuatu kepada orang-orang yang baru masuk Islam. Akan tetapi pada masa Abu Bakar, Umar berpendapat untuk menghentikan pemberian itu. Beliau berpendapat bahwa Islam sudah tumbuh menjadi komunitas yang kuat, jadi tidak lagi butuh orang-orang yang masuk Islam tidak secara total (orang-orang yang mengharap pemberian Karena termasuk muallaf). Nabi melakukan itu, karena beliau melihat waktu itu Islam memang butuh untuk memperkokoh eksistensi Islam. Jadi barang siapa yang ingin masuk Islam karena unsur “pemberian” itu, maka hendaklah mengurungkan niatnya.
[45] Rasul Jafariyan, 2006, The History of Caliphs, terj. Anna Farida DKK, Sejarah Khilafah, Jakarta, Al-Huda, hal. 99
[46] Salah satu fatwa beliau yang cukup popular adalah kebijakan beliau tentang para pencuri di musim paceklik yang melanda Madinah waktu itu. Umar mengambil kebijakan dengan tidak menerapkan had mencuri (Had al-sariqoh). Umar dianggap berani tidak menerapkan had mencuri (Had al-Sariqoh) terhadap para pencuri di masa itu. Hal ini dianggap oleh kalangan Islam liberal sebagai energy positif untuk lebih menumbuh-suburkan ciri khas pemikiran keislamannya.

0 komentar:

Posting Komentar