Oleh: Ach. Sayyi, S.Pd.I
A. PENDAHULUAN
Pemikiran-pemikiran Filsafat masuk dalam peradaban Islam,
baik filsafat Rasional maupun irrasional, yang terwujud dalam bentuk Filsafat
Helenisme. Sebelum datangnya Islam, filsafat ini tidak dikenal oleh bangsa Arab
dan hanya minoritas dari mereka yang mengenalnya. Mereka baru mengenal filsafat
ini setelah terjadinya ekspansi terhadap beberapa wilayah pusat. Yaitu pada
saat Islam telah berhasil memperluas pengaruhnya dalam peradaban Timur, dan
dengan sendirinya melakukan pergumulan serius dengan budaya-budaya local.
Pemikiran-pemikiran filsafat Yunani yang masuk dalam
kancah pemikiran Islam lewat terjamahan, diakui oleh banyak kalangan telah
mendorong perkembangan filsafat Islam menjadi makin pesat. Namun demikian
seperti yang dikatakan Oliver Leman,[1] adalah salah satu kesalahan besar jika menganggap
bahwa filsafat Islam bermula dari penerjamahanteks-teks Yunani tersebut, atau
hanya nukilan dari filsafat, Aristoteles (384-322 SM) seperti dituduhkan Renan,
atau dari Neo-Platonisme seperti dituduhkan Duhem.[2]
Pertama, bahwa belajar atau berguru tidak berarti meniru atau membebek semata. Mesti
dipahami bahwa kebudayaan Islam menembus berbagai macam gelombang dimana ia
bergumul dan berintraksi. Intraksi dan pergumulan ini melahirkan
pemikiran-pemikiran baru.
Suatu ide dapat dibahas oleh
banyak orang dan akan tampil dalam berbagai macam fenomena. Sesorang berhak
mengambil sebagian gagasan orang laintetapi semua itu tidak menghalanginya
untuk menampilkan teori atau falsafahnya sendiri. Aristoteles misalnya, jelas merupakan
murid Plato (427-348 SM), tetapi ia mempunyai pandangan sendiri yang tidak
tidak dikatakan gurunya. Hal seperti itulah yang juga terjadi pada para Filosof
muslim. Al-Farabi (870-950 M) dan Ibn Sina (980-1037 M), misalnya walau sebagai
murid Aristoteles, tetapi ia mempunyai pandangan sendiri yang tidak sama dengan
Gurunya.
Dengan demikian, bisa
dikatakan, bahwa (1) apa yang dimaksud transmisi filsafat Yunani ke Arab
merupakan suatu proses komleks dimana ia sering dipengaruhi oleh
interpretasi-interpretasi yang diberikan melalui suatu trades skolistik
sebelumnya, dan kadangkala dalam istilah-istilah yang sudah digunakan secara
teknis dalam disiplin baru yang berkaitan dengan bahasa Arab atau Islam. Konsekuensinya,
tugas rekonstruksi sumber yunani untuk filsafat tidak mungkin selalu diharapkan
berbentuk suatu terjamahan yang jelas kedalam sesuatu yang di anggap asli
Yunani, tetapi harus mempertimbangkan aktivitas yang terjadi diluar teks, dan
karena itu harus direkonstruksi secara terlepas dari teks. (2)
perluasan-perluasan, pengembangan dan penggarapan kembali ide-ide Yunani dari
Al-Kindi (801-878 M) sampai Ibnu Rusydy (1126-1198 M), bahkan Suhrawardi
(1153-1191) dan sesudahnya tidak mungkin sepenuhnya diapresisasikan tampa
merujuk pada situasi-situasi cultural yang mengkondisikan arah dan karakter
karya-karya tersebut. (3) karena itu pula, persentasi karya-karya muslim secara
terpisah dari factor-faktor cultural akan menjadi suatu deskripsi yang tidak
lengkap, deskripsi yang tidak bisa menjelaskan sendiri transformasi besar yang
sering terjadi ketika batas-batas kultural sudah terlewati.[3]
Sedemikian sehingga tidak bis dibantah bahwa karya-karya filsafat Islam disusun
berdasarkan Nilai-nilai pokok agamanya dan kondisi social yang melingkupinya.
Artinya filsafat Islam adalah sesuatu yang berdiri sendiri, mempunyai arah,
gaya, dan persoalan sendiri, tidak sekedar peralihan dari Yunani.
Kedua, kenyataan yang ada menunjukkan
bahwa pemikiran rasional telah dahulu mapan dalam Masyrakat muslim sebelum
kedatangan filsafat yunani lewat terjamahan. Meski karya-karya Yunani mulai
diterjamahkan pada masa kekuasaan Bani Umayyah, tetapi buku-buku filsafatnya
yang kemudian melahirkan filosof pertama muslim, yakni al-Kindi (801-873 M)
baru mulai digarap secara serius pada masa dinasti Abbasyiyah, khususnya pada
masa al-Makmun (811-833 M), oleh orang-orang seperti Yahya al-Balmaki (w.857
M), Yuhana ibn Musyawaih dan Hunain ibn Ishaq.[4] Pada masa-masa ini, system berfikir rasional
telah berkembang pesat dalam masyrakat intelektual Arab-Islam, yakni dalam fiqh
(yurisprudensi) dan Kalam (teologi). Dalam teologi,
doktrin muktazilah yang rasional, yang dibangun oleh Washil ibnu Atha’ (699-748
M) telah mendominasi pemikiran masyrakat, bahkan menjadi doktrin resmi Negara
dan berkembang dalam berbagai cabang, dengan tokohnya masing-masing. Seperti
Amr Ibnu Ubaid (w. 760 M), Jahiz Amr ibnu Bahr (w. 808 M), Abu Hudzail ibn
Al-Allaf (752-849 M), Sayyar An-Nadzam (801-835 M), Mu’ammar ibn Abbad (w. 835
M), dan Bisyr ibn Al-Mu’tamir.[5]
Begitu pula dalam bidang Fiqh.
Penggunaan nalar rasional dalam penggalian hokum (Istimbath) dengan
istilah-istilah seperti istihsan, Istishlah, Qiyas dan lainnya
telah lazim digunakan.
Tokoh-tokohnya yang paling
mashur di dunia muslim sepanjang peradaban Islam adalah Abu Hanifah (699-767
M), Iman Maliki (716-796 M), Imam Syafi’I (767-820 M), dan Imam Ibnu Hambal
(780-855 M) yang hidup sebelum kedatangan Filsafat Yunani.
Setelah masuknya pemikiran dan
filsafat Yunani lewat program penterjamahan. Dalam proyek ini, hamper semua
buku pasca Socrates (470-399 M) yang berlaku disekolah-sekolah helenisme
diterjamahkan, khususnya karya-karya Arestoteles kecuali politics, dan
karya-karya Neo-Platonis, seperti Pelatinos (205-270 M) dan Porphyry (232-304
M). namun demikian para filosof Islam rupanya lebih tertarik pad aide-ide
neopltonisme disbanding Aristoteles, setidaknya ajaran neo-platonisme lebih popular
dan berkembang dalam pemikiran Islam disbanding gagasan Aristoteles yang
tampaknya hanya dikaji aspek logika formalnya. Ini tampak jelas pada jaran emanasi
Al-Farabi, meski dia dijuluki sebagai tokoh paripatetik, dan juga emanasi
Ibn Sina atau ajaran-ajaran Sufisme sesudahnya. Menurut Noerchalis Majid,[6]
kenyataan itu terjadi mungkin karena konsep ketuhanan Neo-Platonisme terkesan
Tauhid. Mislnya tentang penegasan tentang trensendensi asal pertam (al-Ashl
al-Awwal) atau Tuhan.
Dengan adanya Muqaddimah diatas,
dapat kita tarik benang merahnya untuk dikaji secara mendalam dengan pendekatan
historis atau sejarah tentang Helenisme (Pertemuan antara budaya
atau pemikiran-pemikiran Yunani Romawi dengan Arab-Islam), dengan tema: Helenisme
dan Perkembangan Filsafat Islam “Kajian Histori Lahirnya Filsafat Islam”.
B. PEMBAHASAN
1.
Pengertian Hellenisme
Helenis atau
Helenisasi, istilah ini berasal dari kata Yunani Helen (Istilah yang dipakai
oleh orang Yunani untuk menyebutkan etnik mereka). Helenis juga adalah istilah
yang digunakan untuk mendeskripsikan perubahan kultural di mana sesuatu yang
bersifat bukan Yunani menjadi Yunani (peradaban Helenistik, pemikiran
Helenistik inilah yang menjadi perhatian kalangan pemikir filsafat Arab Islam).[7]
Prosesnya ada yang bersifat sukarela, serta ada dengan penggunaan kekuatan.
Iskandar/Aleksander Agung menyebarkan wawasan peradaban Yunani, termasuk pula
di dalamnya bahasa. Hasilnya adalah, beberapa unsur yang berasal dari Yunani
digabung dalam bentuk yang bervariasi dengan unsur lain dari peradaban daerah
yang dikuasai, yang dikenal dengan Helenisme.[8]
Filsafat
helenisme berasal dari filsafat hellens (nama orang) termasuk kaum zabaniyah,
yang mencari kebenaran melalui akal. Filsafat Hellenisme menurut pengertian
etika adalah “Manusia hendaknya mengikuti saja suratan takdir dan penentuan
alam baginya.[9]
Dengan
demikian, ia akan mencapai harmoni dengan alam yang akan membawanya kepada
kebahagiaan (eudaimonia). Jadi, hukum alam harus ditaati terlepas dari
perasaan senang atau tidak, menguntungkan atau merugikan, mengenakkan atau
menjengkelkan. Soalnya bagi Zenon, kebahagiaan terletak dalam tekad keras
menjalankan kewajiban demi hukum alam yang objektif, bukan demi perasaan atau
selera subjektif orang perorang.
Sebelum
lahirnya filsafat islam baik didunia timur maupun dunia barat telah terdapat
bermacam-macam alam pikiran, diantaranya yang terkanal ialah pikiran mesir
kuno, pikiran sumeria, babilonia, dan assurya, pikiran iran, pikiran india,
pikiran cina dan pikiran yunani. Boleh jadi, pikiran-pikiran iran dan india
sedikit banyak telah memberikan sumbangan pada pembentukan filsafat islam,
tetapi yang tampak jelas sekali hubungannya, bahkan menjadi sumber(bukan sumber
utama) bagi filsafat islam ialah filsafat yunani.[10]
Filsafat yunani
yang sampai kepada dunia islam tidaklah seperti yang ditinggalkan oleh
orang-orang yunani sendiri, baik melalui orang-orang Masehi Nestoria dan
Jakobites maupun melalui golongan-golongan lainnya. Akan tetapi filsafat sampai
kapada mereka melalui pemikiran Hellenisme Romawi yang mempunyai cirri khas
tertentu yang m,empengaruhi filsafat itu sendiri. Oleh karena itu tidak semua
pikiran-pikiran filsafat yang sampai pada dunia Islam berasal dari Yunai, baik
dalam teks-teks aslinya maupun dalam ulasan-ulasannya, melainkan hasil dari dua
fase yang berturut-turut, yaitu “Fase Hellenisme” dan “Fase Hellenisme Romawi”.
Oleh karena itu, dalam pikiran filsafat terdapat dua corak yang berbeda atau
dua corak yang bercampur, sesuai dengan perbedaan alam pikiran pada dua masa
yang membicarakannya.[11]
Fase Hellenisme ialah ketika
pemikiran filsafat hanya dimiliki oleh orang-orang Yunani, yaitu sejak abad
ke-6 atau ke-5 SM sampai akhir abad ke-4 SM. Adapun Fase Hellenisme Romawi
(Greko Romawi) ialah fase yang datang sesudah fase Hellenisme, dan meliputi
semua pemikiran filsafat yang ada pada masa kerajaan romawi, yang ikut serta
membicaraan peningggalan Yunani, antara lain pemikiran Romawi di Barat dan
pemikiran di Timur yang ada di Mesir dan Siria. Fase ini dimulai dari akhir
abad ke-4 SM sampai pertengahan abad ke-7 M di Iskandariah, atau sampai abad
ke-8 M di Siria dan Irak, yaitu aliran Urfa, Ar-Ruha, Nissibis, dan Antiochia,
atau sampai pada masa penerjemahan di dunia Arab-Islam.[12]
2.
Pertemuan Pemikiran Yunani dan
Arab-Islam (Helenisme)
Proses helenisme (pertemuan
antara budaya Yunani-Roma dengan Arab-Islam), terjadi dalam dua gelombang. Pertama,
pertemuan dalam bentuk pemikiran, yakni pemikiran filsafat Yunani dan
berpengaruh pada pemikiran Arab-Islam yang dimulai lewat proses
penterjamahan-penterjamahan, terjadi selama 2 abad; antara tahun 750-950 M. kedua,
pertemuan dalam bentuk kontak senjata, yakni dalam perang Salib yang
disusul serbuan tentara Hulagu ke Baghdad yang menutup sejarah panjang dinasti
Bani Abbas, terjadi antara tahun 1095-1258 M.[13]
Dalam helenisme gelombang
pertama, banyak sesuatu yang baru diperoleh dan mengubah pemikiran Arab-Islam.
Akan tetapi, hal itu bukan berarti bahwa pemikiran rasional Arab-Islam
bersumber pada filsafat Yunani. Menurut bebrapa penulis, seperti Oliver Leaman,
dan Qadir,[14]
pemikiran rasional Arab-Islam (Filsafat) tidak bersumber atau diimport
dari filsafat Yunani tetap benar-benar berdasar pada ajaran-ajaran pokok Islam
sendiri, al-Qur’an dan al-Sunnah. Meski demikian, diakui bahwa rasionalisme
tersebut kemudian menjadi lebih berkembang pesat setelah bertemu dengan
logika-logika Yunani lewat penterjamahan-penterjamahan yang dilakukan.
a.
Bayani Arab-Islam vs
Yunani-Roma
Ada perbedana mendasar antara
pola piker Arab-Islam dengan pola pikir Yunani. Dalam tradisi Arab, apa yang
dimaksud berfikir (aql) adalah lebih merupakan tindakan atau penjelasan
bagaimana seseorang harus berbuat, yang dalam epistemologi Islam disebut “Bayani”.
Kamus istilah Arab sendiri mengartikan akal sebagai suluk dan akhlak, yakni
jalan dan prilaku. Sementara itu dalam tradisi Yunani, akal lebih merupakan
pemikiran yang berkaitan dengan upaya mencari sebab dari sesuatu yang dalam
epistemologi Islam dikenal “Burhani”. [15]
Perbedaan pola pikir di atas
disebabkan adanya perbedaan pijakan yang digunakan. Dalam pola pikir
Arab-Islam, pijakan utama adalah kata atau bahasa, sementara pola pikir Yunani berpijak
pada makna dan logika. Dalam perdebatan yang terkenal antara Abu Sa’id
al-syirafi (893-979 M) yang ahli bahasa dan penganut metode bayani dengan Abu
Bisyr Matta (870-940) yang ahli logika Yunani dan penganut burhani,[16]
terlihat jelas perbedaan tersbut.
Dengan adanya perbedaan yang
tajam antara pola pikir Yunani dengan Arab-Islam sepert di atas, maka bisa kita
pastikan bahwa masuknya pemikiran Yunani kedalam alam pikiran Arab-Islam
menimbulkan reaksi yang cukup keras.
b.
Filsafat Yunani menurut Pemikiran Arab-Islam
Peradaban dan peemikiran
Yunani, termasuk filsafat menurut catatan para sejarawan,[17]
telah mulai dikenaldan dipelajari oleh kaum sarjana di kota Antioch, Harran,
Edessa dan Qinnesrin (wilayah Syiria utara), juga di Nisibis dan Ras’aina sejak
abad ke IV M. kegiatan akademik tetap berjalan baik dan tidak terganggu oleh
penaklukan tentara muslim kewilaya tersebut yang terjadi pada masa kekhalifahan
Umar ibn Khatthob (634-644 M). setidaknya in ibis dibuktikan dengan masih
semaraknya kajian-kajian teologi di biara Qinissirin di Syiria dan munculnya
tokoh-tokoh yang menghasilkan karya-karya filsafat, seperti Severas sebokht (W.
667 M) yang mengomentari hermeneutica dan Rhetorica Aristoteles,
juga Jacob (w. 708 M) yang menulis Enchiridion dan menterjamahkan Categories
karya Aristoteles kedalam bahasa Arab.
Buku-buku dan ilmu-ilmu Yunani
yang lain yang diterjamahkan kedalam bahasa Arab dalam prode ini, yakni pada
kekhalifahan Bani Umayyah (661-750 M), khususnya pada masa kekhalifahan Abd
al-Malik (685-750 M) adalah terutama yang berkaitan dengan persoalan administrasi,
laporan-laporan dan dokumentasi-dokumentasi pemerintahan, demi mengimbangi dan
melepaskan diri dari pengaruh mudel administrasi Bizantium-Persia.
Pemikiran filsafat Yunani
benar-benar mulai bertemu dan dikenal dalam pemikiran Arab-Islam setelah masa
pemerintahan Bani Abbas, khususnya sejak program penterjamahan buku-buku filsafat yang gencar dilakukan pada masa
kekuasaan al-Makmun (811-833 M); suatu program yang di anggap sebagai tonggak
sejarah pertemuan pemikiran rasional Yunani dengan pemikiran keagaan
Arab-Islam, pertemuan epistemology burhani Yunani dengan epistemology bayani
Arab.[18]
Program penterjamahan dan
kebutuhan akan penggunaan metode filsafat ini sendiri, didasarkan atas tuntutan
kebutuhan yang ada, bahwa saat itu muncul banyak doktrin yang kurang lebih
hiterodok yang datang dari Iran, India, Persia atau daerah lain dari pinggiran
Islam, seperti Mazidiah, Manikian, Materialisme, atau bahkan dari pusat Islam
sendiri sebagai akibat dari pencarian bebas yang berubah bentuk menjadi
pemikiran bebas seperti penulakan terhadap wahyu dan lainnya yang dikatagorikan
dalam istilah Zindiq.[19]
Untuk menjawab serangan doktrin-doktrin ini, para sarjana muslim merasa
perlu untuk mencari system berpikir rasional dan argument-argumen yang masuk
akal, karena metode sebelumnya, bayani sudah tidak memadai lagi untuk menjawab
persoalan-persoalan baru yang sangat beragam yang tidak dikenal sebelumnya.
Filsafat bukan sekedar bentuk analisis secara murni tetapi telah menjadi bagian
dari setidaknya ada pengaruh agama.[20]
3.
Pengaruh Hellenisme Terhadap
Pemikiran Filsafat Islam
Filsafat masuk dalam peradaban
Islam, baik filsafat rasional maupun irrasional, terwujud dalam bentuk filsafat
Hellenisme. Sebelum datangnya islam, Filsafat ini tidak dikenal oleh bangsa
Arab dan hanya minoritas dari mereka saja yang mengenalnya. Mereka baru
mengenal filsafat ini setelah terjadinya ekspansi terhadap beberapa wilayah
pusat. Yaitu pada saat Islam telah berhasil memperluas pengaruhnya dalam
peradaban timur, dan dengan sendirinyamelakukan pergumulan serius dengan
budaya-budaya local, budaya-budaya yang dimaksud adalah Kristen, Yahudi,
Zeroaster, Manichaeismem, dan Mazdaisme, yang di saat datangnya Islam sedang
melakukan pergumulan positif dengan Budaya Yunani.[21]
Dengan demikian, disaat islam
melakukan perluasan wilayah, filsafat hellenisme telah berkembang pesat di
negara-negara yang telah ditaklukkannya. Mesyir, Irak, Palestina, Syiria, dan
Negara-negara timur lainnya adalah sentral penyebaran filsafat Hellenisme.
Dimana pada awalnya perkembangan tersebut merupakan imbas dari ekspansi Alexander
Aprodesais terhadap Negara-negara asia dan afrika. Ekspansi itu menimbulkan
persinggungan serius antara filsafat Yunani dengan aliran-aliran kepercayaan
yang ada dalam Negara-negara jajahan. Sehingga tidak mengherankan, jika
Alexandria, Harran dan Janisabur pada akhirnya menjadi pusat pendidikan
filsafat pada masa sebeum islam dan setelahnya.[22]
Pergumulan antara kebudayaan
yunani dengan spritualitas kebudayaan timur, akhirnya mampu melahirkan
mainstream pemikiran filsafat tertentu. Muncullah Neoplatonisme, Neopytagorisme
dan Hermetisisme, sebagai buah persinggungan antar kebudayaan tersebut. Di mana
kemunculan aliran-aliran filsafat irrasional tersebut menandakan adanya
keserasian antara kebudayaan yunani dengan spritualitas kebudayaan timur.
Kebudayaan timur tentunya bukan filasat rasional Aristoteles. Filsafat ini bisa
dikatakan tidak dikenal oleh para akademisi masa itu. Sebab, ilmu logika tidak
difungsikan secara utuh. Ilmu logika hanya difungsikan untuk membela pemiikiran
tertentu. Itu semua terlihat dari tujuan para pendeta kristen ketika
menggunakan ilmu logika. Mereka menggunakan ilmu logika hanya untuk
menjustifikasi kebenaran agama Kristen guna menghadapi pendangkalan lawan. Ilmu
logika yang lahir dalam peradapan atheis, oleh para pendeta telah disterilkan
terlebih dahulu sebelum difungsikan. Ilmu logika tidak lagi diterapkan
sebagaimana mestinya. Ilmu logika telah kehilangan orientasi awalnya. Ia tidak
lagi mampu menciptakan kreasi keilmuan baru. Ia hanya berpotensi mempertahankan
pemikiran tertentu. Pemahaman terhadap pemikiran aristoteles semacam inilah
yang berkembang pada masa hellenisme.[23]
Filsafat hellenisme pada
akhirnya akhirnya masuk dalam pemikiran Islam. Pada awalnya filsafat
tersebutdifungsikan untuk mengimbangi laju perkembangan perdaban Islam yang
begitu cepat. Kebutuhan akan kenaikan hasil produksi, pembangunan, perluasan
wilayah Negara dan kesehatan para khalifah, telah mendorong umat Islam untuk
berkenalan dengan filsafat secara cepat. Sedangkan filsafat natural sendiri
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari filsafat irrasional.[24]
Filsafat irrasional sangat kaya capaian-capaian natural, seperti kimia,
kedokteran, astronomi dan lain sebagainya. Ironisnya filsafat irrasional bahkan
sangat dekat dengan agama. Ia tidak memisahkan antara ilmu dengan agama. Ilmu
kimia yang identik dengan sihir dan astronomi yang identik dengan peramalan,
merupakan bagian tak terpisahkan dari ritual-ritual keagamaan. Kemampuan
merubah perak menjadi emas dan kemampuan untuk mengetahui kejadian-kejadian
masa depan, mempunyai keterpautan sangat erat dengan pensucian jiwa yang ada
dalam aliran irrasional.
Dengan demikian kebutuhan akan
ilmu-ilmu humaniora dalam membangun pradaban, mengakibatkan filsafat irrasional
mengakar begitu kuat dalam peradaban Islam. Filsafat irrasional adalah
mainstream filsafat pertama yang telah melakukan persinggungan dengan peradaban
Arab Islam.
Filsafat irrasional secara
otomatis sangat mempengaruhi perkembangan pemikiran filsafat Islam. Pemikiran
Syi’ah dan Sufisme merupakan bukti keterpengaruhan perdaban Islam oleh filsafat
irrasional. Keduanya sangat terpengaruh oleh mainstream irrasional dari
pemikiran Hermetisisme. Sedang Hermetisisme sendiri adalah aliran filsafat yang
dinisbahkan pada Hermes. Ia sangat dikenal dalam peradaban Islam. Oleh sebagian
akademisi Muslim ia di anggap sebagai Nabi Idris, seorang Nabi yang namanya
termaktub dalam al-Qur’an.[25]
Salah satu karekteristik
aliran filsafat ini adalah perhatiannya yang sangat besar terhadap pembahasan
tentang keteraturan alam semesta, hal-hal yang berhubungan dengan natural, dan
segala sesuatu yang ada dibalik natural itu sendiri. Dalam aliran filsafat ini,
Hermes di anggap sebagai mediator yang mampu menghubungkan antara alam langit
dan alam bumi.[26]
Ia dianggap sebagai bapak filsafat dan pengetahuan. Ia adalah suber pengatahuan
Humaniora, seperti kimia, kedokteran, peramalan dan sekaligus sihir. Hermes
dianggap setara dengan Isa. Ia tidak mati melainkan diangkat ke langit. Ia
adalah sumber pemikiran Irfani (spiritual) dalam Islam.
Dengan demikian Hermes dapat
dikatakan bertasawuf. Ia menganggap tujuan akhir dari kehidupan adalahmencapai
Tuhan yang Maha Trasenden dan bersanding dengan-Nya. Dalam pencapaian itu,
pemikiran Hermes terpecah menjadi dua teori, tampa saling berbenturan. Teori
pertama, menganggap penyatuhan dengan Tuhan bertitik tolak dari jiwa manusia
yang keluar dari jasadnya untuk menyatu dengan Tuhan, yang dalam tasawuf Islam
diistilahkan dengan Fana’ atau wahdatul wujud dan wihda
al-syuhud. Teori kedua menganggap bahwa Tuhanlah yang menitis dalam jiwa
manusia, yang dalam pemikiran tasawuf Islam lebih akrab disebut inkarnasi (hulul).
Jiwa yanf telah dihinggapi oleh Tuhan akan mengalami kelahiran kembali. Ia akan
tampak baru tidak seperti keadaan sebelumnya.[27]
4.
Landasan dan Pokok Ajaran dalam
Filsafat Islam
Melalui uangkapan yang mengatakan
bahwa setiap murid yang belajar kepada gurunya tidak semua ilmu yang diberikan
guru harus di ambil, akan tetapi adakalanya perlu analisis terlebih dahulu dan
perlu pendalaman. Demikian juga Filsafat Islam walaupun para filosof Islam ada
yang berawal dari mempelajari Filsafat Yunani akan tetapi bukanlah filsafat
yang dibangun dari tradisi filsafat Yunani yang bercorak rasionalistik, tetapi
dibangun dari tradisi sunnah Nabi dalam berpikir yang rasional transedental,
yang merujuk dari sunnah Nabi dalam berpikir yang akan menjadi tuntunan dan
suritauladan bagi kegiatan berpikir umat Islam.[28]
Dalam hal ini, ada beberapa model
kajian resmi yang nyatanya mempunyai relevansi filosofis. Antara lain, (1)
penggunaan takwa. Makna takwil diperlukan untuk mengungkap atau menjelaskan
masalah-masalah yang sedang dibahas. Meski model ini diawasi secara ketat dan
terbatas, tapi pelaksanaannya jelas membutuhkan pemikiran dan perenungan
mendalam, karena ia berusaha keluar dari makna lahiriyah (zhahir) teks.
(2) Pembedaan antara istilah-istilah atau pengertian yang mengandung lebih dari
satu makna (musytarak) dengan istilah-istilah yang hanya mengandung satu
arti. Disini justru lebih mendekati model pemecahan filosofis dibanding yang
pertama. (3) Penggunaan qiyas (analogi) atas
persoalan-persoalan yang tidak ada penyelesaiannya secara langsung dalam teks.
Misalnya, apakah larangan menimbun emas dan perak (QS. Al-Taubah, 34)[29] itu
hanya berlaku pada emas dan perak atau juga meliputi batu permata dan batu
berharga? Apakah kata mukmin dan muslim dalam al-Qur`an juga mencakup wanita
dan budak?
Bersamaan dengan itu, dalam
teologi, masyarakat Islam juga dituntut untuk menyelaraskan pandangan-pandangan
yang tampaknya kontradiktif dan rumit, untuk selanjutnya mensistematisasikannya
dalam suatu gagasan metafisika yang utuh. Misalnya, bagaimana menyelaraskan
antara sifat kemahakuasaan dan kemahabaikan Tuhan dalam kaitannya dengan maha
tahu-Nya atas segala tindak manusia untuk taat atau kufur untuk kemudian
dibalas sesuai perbuatannya. Bagaimana menafsirkan secara tepat bahasa
antropomorfis (menyerupai sifat-sifat manusia) al-Qur`an, padahal ditegaskan
pula bahwa Tuhan tidak sama dengan manusia, tidak bertangan, tidak berkaki dan
seterusnya. Semua itu menggiring para intelektual muslim periode awal,
khususnya para teolog untuk berfikir rasional dan filosofis, dan kenyatannya
metode-metode pemecahan yang diberikan atas masalah teologis tidak berbeda
dengan model filsafat Yunani. Perbedaan diantara keduanya, menurut Leaman,
hanyalah terletak pada premis-premis yang digunakan, bukan pada valid tidaknya
tata cara penyusunan argumen. Yakni, bahwa pemikiran teologi Islam didasarkan
atas teks suci sedang filsafat Yunani didasarkan atas premis-premis logis,
pasti dan baku. Setelah itu, masuklah pemikiran dan filsafat Yunani, lewat
program penterjemahan.[30]
Metode berpikir dalam Filsafat
Islam, yaitu rasional transedental, dan berbasiskan al Kitab dan Hikmah, pada
dialektika fungsi AlQur’an dan aqal untuk memahami realitas. Secara operasional
bekerja melalui kesatuan organik pikir dan Qolb, yang menjadi bagian utuh
kesatuan diri atau nafs. Filsafat Islam pada hakekatnya adalah Filsafat
Kenabian Muhammad. Yang di maksud filsafat kenabian adalah realitas pengetahuan
dan nubuat kenabian sebagai suatu landasan ontologis, epistemologis, serta
aksiologis bagi konstruksi pemikiran Islam. Realitas pengetahuan yang
didasarkan pada filsafat Kenabian ini bersumber dari dialektika rasio dan
wahyu.
Filsafat Islam membahas hakikat
semua yang ada, sejak dari tahap ontologis, hingga menjangkau dataran
metafisik. Filsafat Islam juga membahas mengenai nilai-nilai, yang meliputi
dataran epistemologis, estetika dan etika, serta membahas pula tema-tema fundamental
dalam kehidupan manusia, yaitu Tuhan, manusia, alam dan kebudayaan yang sesuai
dengan kecenderungan perubahan Jaman.[31]
5.
Perkembangan dan Pengaruh
Pemikiran Filsafat dalam Islam
Pemikiran filsafat Yunani
benar-benar mulai bertemu dan dikenal dalam pemikiran Arab-Islam setelah masa
pemerintahan Bani Abas, khususnya sejak dilakukan program penterjemahan
buku-buku filsafat yang gencar dilakukan pada masa kekuasaan al-Makmun (811-833
M); suatu program yang oleh al-Jabiri dianggap sebagai tonggak sejarah
pertemuan pemikiran rasional Yunani dengan pemikiran keagamaan Arab-Islam,
pertemuan epistemologi burhani Yunani dengan epistemologi bayani Arab. Program
penterjemahan dan kebutuhan akan penggunaan metode filsafat ini sendiri, di
dasarkan atas tuntutan kebutuhan yang ada, bahwa saat itu muncul banyak doktrin
yang --kurang lebih-- hiterodok yang datang dari Iran, India, Persia atau
daerah lain dari pinggiran Islam, seperti Mazdiah, Manikian, materialisme, atau
bahkan dari pusat Islam sendiri sebagai akibat dari pencarian bebas yang
berubah bentuk menjadi pemikiran bebas seperti penolakan terhadap wahyu dan
lainnya yang dikategorikan dalam istilah zindiq.[32]
Untuk menjawab serangan
doktrin-doktrin ini, para sarjana muslim (ulama) merasa perlu untuk mencari
sistem berfikir rasional dan argumen-argumen yang masuk akal, karena metode
sebelumnya, bayani sudah tidak memadai lagi untuk menjawab persoalan-persoalan
baru yang sangat beragam yang tidak dikenal sebelumnya. Karena itu, Ira M.
Lapidus menyatakan bahwa filsafat bukan sekedar bentuk analisis secara murni tetapi telah menjadi bagian dari agama. Demikian juga
Al-Kindi diuangkapkan oleh Harun Nasution Al-kindilah filosof Islam pertama
yang menjelaskan bahwa tiada pertentangan antara agama dan filsafat. Titik
pertemuan antara keduanya terletak pada kebenaran al-haqq.[33]
Filsafat dalam pengertian Al
Kindi adalah pembahasan tentang kebenaran, bukan untuk diketahui saja tapi juga
untuk diamalkan. Agama juga datang untuk kebenaran. “Falsafat yang termulia dan
tertinggi derajatnya adalah falsafat pertama, yaitu ilmu tentang Yang Maha
Benar Pertama, yang menjadi sebab bagi tiap kebenaran”, Yang Maha Benar Pertama
adalah Tuhan Pencipta alam semesta. Jadi Agama dan Falsafat ada persesuaian.
Perbedaannya hanyalah bahwa falsafat memperoleh kebenaran melalui akal sedang
agama melalui wahyu.[34]
Metode rasional filsafat Yunani
semakin masuk sebagai salah satu sistem pemikiran Arab-Islam adalah setelah
masa al-Razi (865-925). Ia di kenal sebagai orang yang ekstrim dalam teologi
dan dikenal sebagai seorang rasionalis murni yang hanya mempercayai akal.
Menurut al-Razi, semua pengetahuan --pada prinsipnya- dapat diperoleh manusia selama
ia menjadi manusia. Akal atau rasiolah yang menjadi hakekat kemanusiaan, dan
akal adalah satu-satunya alat untuk memperoleh pengetahuan tentang dunia fisik
dan tentang konsep baik dan buruk; setiap sumber pengetahuan lain yang bukan
akal hanya omong kosong, dugaan belaka dan kebohongan.[35]
Kecurigaan dan penentangan kaum
ortodoks terhadap ilmu-ilmu Yunani memang bukan tanpa dasar. Kenyataannya,
tidak sedikit tokoh muslim yang belajar filsafat akhirnya justru meragukan dan
bahkan menyerang ajaran Islam sendiri. Salah satunya adalah Al-Razi menolak
kenabian dengan tiga alasan; (1) bahwa akal telah memadai untuk membedakan baik
dan buruk, berguna dan tidak berguna. Dengan rasio manusia telah mampu mengenal
Tuhan dan mengatur kehidupannya sendiri dengan baik, sehingga tidak ada gunanya
seorang nabi. (2) Tidak ada pembenaran untuk pengistemewaan beberapa orang
untuk membimbing yang lain, karena semua orang lahir dengan tingkat kecerdasan
yang sama, hanya pengembangan dan pendidikan yang membedakan mereka, (3) bahwa
ajaran para nabi ternyata berbeda. Jika benar bahwa mereka berbicara atas nama
Tuhan yang sama, mestinya tidak ada perbedaan.[36]
Pada masa khalifah al-Mutawakkil,
khususnya di ibu kota Baghdad, filsafat mengalami kemunduran, setidaknya tidak
mengalami perkembangan berarti, karena tidak bisa diajarkan secara bebas dan
terbuka. Akan tetapi, diluar Baghdad, di kota-kota propinsi otonom, khususnya
di Aleppo dan Damaskus, kajian-kajian filsafat tetap giat dilakukan, sehingga
melahirkan seorang filosof besar, yakni al-Farabi (870-950). Tokoh yang dikenal
sebagai folosof paripatetik ini tidak hanya menggunakan metode burhani dalam
filsafatnya tetapi bahkan berhasil meletakkan filsafat Aristoteles sebagai
dasar-dasar filsafat Islam sehingga dianggap sebagai guru kedua setelah
Aristoteles sebagai guru pertama.[37]
Selain itu, al-Farabi juga
menempatkan burhani sebagai metode paling baik dan unggul, sehingga ilmu-ilmu
filsafat yang memakai metode burhani dinilai lebih tinggi kedudukannya
dibanding ilmu-ilmu agama; teologi (ilm al-kalam) dan yurisprodensi (fiqh),
yang tidak mempergunakan metode burhani. Dalam hal ini ia membuat tiga
klasifikasi keilmuan; ilmu-ilmu filsafat, ilmu-ilmu religius dan ilmu-ilmu
bahasa. Menurutnya, ilmu-ilmu filsafat berada dalam hierarki paling tinggi dan
unggul disusul kemudian ilmu-ilmu religius dan ilmu bahasa. Yang termasuk
ilmu-ilmu filsafat adalah metafisika, matematika, ilmu-ilmu alam dan ilmu
politik.[38]
Dengan posisi seperti itu, maka
tidak mengherankan jika dalam waktu yang tidak lama, pemikiran filsafat Yunani
segera menduduki posisi puncak dalam percaturan pemikiran Arab-Islam, yakni
pada masa Ibn Sina (980-1037 M). Dalam filsafat, seperti halnya al-Farabi, Ibn
Sina menegakkan bangunan Neoplatonisme diatas dasar kosmologi Aristoteles-Plotinus,
dimana dalam bangunan tersebut digabungkan konsep pembangunan alam wujud
menurut faham emanasi. Dalam kaitannya dengan kenabian, Ibn Sina juga berusaha
membuktikan adanya kenabian, dengan menyatakan bahwa kenabian merupakan bagian
tertinggi dari sukma yang disebut akal.[39]
Akan tetapi, setelah Ibn Sina,
filsafat Yunani kembali mengalami kemunduran karena serangan al-Ghazali, meski
al-Ghazali sendiri sebenarnya tidak menyerang inti filsafat. Lewat tulisannya
dalam Tahafut al-Falasifah yang dikutip Harun Nasution dan
bukunya Akal dan Wahyu. Al-Ghazali, sebenarnya hanya menyerang persoalan
metafisika, khususnya pemikiran filsafat al-Farabi dan Ibn Sina. Tiga masalah
pokok yang membuat filosof, kata Al-Ghazali, menjadi kafir, pertama, tidak bermulanya (qadimnya)
alam, kedua, tidak taunya Tuhan tentang
perincian yang terjadi di alam, dan ketiga, tidak adanya pembangkitan jasmani.
Al-Farabi dan Ibn Sina, dengan
falsafah emanasi mereka, berpendapat bahwa ala mini diciptakan Tuhan semenjak
azal dengan jalan emanasi atau pancaran. Semenjak azalTuhan memancarkan dan
yang dipancarkan itu harus telah mempunyai wujud semenjak azal pula. Yaitu
Tuhan memancarkan akal-akal dan akalmerupakan daya. Dengan demikian energi
bersifat azali atau qadim dalam arti wujudnya tidak mempunyai permulaan dalam
zaman, tetapi sungguhpun demikian ia tetap adalah ciptaan Tuhan. Antara wujud
energi dan wujud Tuhan tidak ada perbedaan waktu, yang ada ialah perbedaan
dalam urutan esensi. Tuhan lebih dahulu dari energi dalam urutan dan bukan
dalam waktu.[40]
Mengenai masalah kedua, tidak
tahunya Tuhan tentang perincin yang terjadi di alam ini, kesimpuan demikian
memang dapat ditarik dari falsafat emanasi Al-Farabi dan Ibn Sina. Tuhan dalam
falsafat itu berfikir tentang dirinya dan dari pemikiran tentang dirinya inilah
terjadi penciptaan alam dan dengan demikian jauh dari perincian yang terjadi di
alam. Selanjutnya dikatakan dengan akal yang sepuluh lebih dekat kepada alam
dan lebih bias mengetahui perincian yang terjadi di dalamnya. Dan yang ketiga,
tidak adanya pembangkitan jasmani dapatpula disimpulkan dari falsafat Al-Farabi
dan Ibn Sina tentang jiwa manusia atau akal, daya berfikir yang terdapat dalam
jiwa manusia, adalah unsur terpenting dari manusia. Kebahagian manusia yang
sebenarnya bukanlah kesenangan jasmani, tetapi kebahgian rohani, dan kebahagian
sebenarnya adalah kebahagian di akherat nanti. Untuk mencari kebahagian rohani
kaum filosof dengan komunikasi intelektual dengan Tuhan dan sufi dengan melihat
Tuhan melalui hatinurani.
Untuk menentang kritik yang
dimajukan Al Ghazali sebagai dijelaskan di atas, Ibn Rusyd menulis buku Tahafut
Al Tahafut, di dalamnya ia jelaskan bahwa penciptaan
bukanlah dari tiada tetapi dari yang ada. Ibnu Rusyd mencontohkan Biji
umpamanya berobah menjadi anak pohon, anak pohon menjadi pohon, pohon dipotong
menjadi papan, papan disambung-sambung menjadi meja,meja usang menjadi bahan
baker, bahan baker dibakar menjadi abu dan abu menjadi tanah. Anak pohon tidak
ada begitu saja, demkian pula yang lainya. Yang terjadi ialah “ada” berobah
menjadi “ada”.
Mengenai masalah kedua Ibn Rusyd
mengatakan bahwa pertentangan antara Al Ghazali dengan kaum filosof timbul dari
penyamaan pengetahuan Tuhan dengan pengetahuan manusia. Pengetahuan tentang
kekhususan diperoleh dari panca indra dan keumuman diperoleh melalui akal.
Maksudnya kelihatannya Tuhan bersifat imateri dan dengan demikian pada diri Nya
tidak terdapat pancaindera untuk mengetahui kekhususan. Kemudian pengetahuan
Tuhan bersifat qadim sedangkan pengetahuan manusia bersifat baru. Pengetahuan
Tuhan adalah sebab sedangkan pengetahuan manusia tentang kekhususan akibat.
Tentang tidak adanya pembangkitan jasmani, Ibn Rusyd dalam hal ini kurang rinci
dia mengatakan semua agama mengakui adanya hidup kedua di akhirat, walaupun da
perbedaan pendapat mengenai bentuknya. Yang jelas dia mengatakan hidup di
akhirat nanti berbeda dengan hidup di dunia sekarang.[41]
Perkembangan corak berpikir para filosofis di atas dan menampakkan
kontradiktif hal ini menunjukkan bahwa adanya pengaruh dari luar terhadap
pemikiran filsafat islam. Dan ini tidak bisa di pungkiri bahwa kontribusi
filsafat Yunani dalam dunia islam sangat besar sekali meskipun pada awalnya
banyak yang tidak menerima filsafat Yunani. Karena banyaknya penentangan
tersebut maka para filosofis seperti Ibn Rusyd mempertahankan argumennya
dan menjelaskan pemikiran filsafatnya dengan mengasimilasikan antara akal dan
wahyu Allah SWT. Meskipun tidak semua menerima, akan tetapi dengan buku Tahafut
Al Tahafut yang di karang oleh Ibn Rusyd .tidak sedikit yang tercerahkan.
C. KESIMPULAN
Dalam bagian akhir ini, ada
beberapa hal yang perlu disampaikan, sebagai kesimpulan dari pembahasan kali
ini; Pertama, Bahwa Hellenisme adalah istilah yang
digunakan untuk mendeskripsikan perubahan kultural di mana sesuatu yang
bersifat bukan Yunani menjadi Yunani (peradaban Helenistik, pemikiran
Helenistik inilah yang menjadi perhatian kalangan pemikir filsafat Arab Islam).
Prosesnya ada yang bersifat sukarela, serta ada dengan penggunaan kekuatan.
Iskandar/Aleksander Agung menyebarkan wawasan peradaban Yunani, termasuk pula
di dalamnya bahasa. Hasilnya adalah, beberapa unsur yang berasal dari Yunani
digabung dalam bentuk yang bervariasi dengan unsur lain dari peradaban daerah
yang dikuasai, yang dikenal dengan Helenisme.
Kedua, bahwa filsafat Islam adalah
hasil dari asimilasi dari filsafat Yunani, akan tetapi tetap merujuk dari
sunnah Nabi dalam berpikir, dengan kata lain bahwa Filsafat Islam adalah hasil
dialektika antara wahyu dan akal untuk memahami realitas.
Ketiga, bahwa perjalanan pemikiran
filsafat Islam ternyata mengalami pasang surut; pertama-tama disambut dengan
baik karena diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dan menghadapi
pemikiran-pemikiran aneh tapi kemudian dicurigai karena ternyata tidak jarang
justru digunakan untuk menyerang ajaran agama yang dianggap baku, khususnya
pada masa Ibn Hanbal. Setelah itu, filsafat dibela kembali oleh al-Farabi dan
mencapai puncak pada masa Ibn Sina, tapi kemudian jatuh lagi oleh serangan al-Ghazali,
bangkit lagi pada masa Ibn Rusyd tapi akhirnya tidak terdengar suaranya, sampai
sekarang, kecuali dalam mazhab Syi`ah.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman
Badawi, al-Turasts al-Yunani fi al-hsdlarah al-Islamiyah,Dlirasah li Kibar
al-Mustasyriqin, (Bairut: Dar al-kalam, 1980)
Amien, Miska M., Epistemologi Islam, Jakarta: UI Press, 1983
Aqqad, Abbas Mahmud, Filsafat Pemikiran Ibn Sina, Solo: Pustaka Mantiq, 1988
Arsyad, Natsir, Ilmuan Muslim Sepanjang Sejarah,
Jakarta: Srigunting, 1995
Asy’arie, Musa, Filsafat Islam Sunnah Nabi dalam Berpikir, Lesfi, 2001
Atiyeh, George N., Al-Kindi Tokoh Filosof Muslim, Bandung: Pustaka, 1983
A. Khudori
soleh, Wacana Baru “Filsafat Islam”, (Yogyakart: Pustaka Belajar, 2004
Ach. Khudori Soleh, Kegelisahan Al-Ghazali Sebuah
Otobiografi Intelektual, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997)
A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jogyakarta:
Bulan Bintang, 1969)
Hasjmy, A, Sejarh Kebudayaan Islam, cet. 5, 1995
Ibrahim Madkur, Filsafat Islam, terj. Yudian
Wahyudi, (Jakarta: Rajawali Pres, 1996)
Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam “Bagian
Kesatu & kedua”, trj. Ghufron A. Mas’adi, (Jakarta: PT. RjaGrafindo
Persada, 1999)
Leaman, Oliver, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Rajawali
Pres, 1988.
Mukti Ali, Agama Dalam Pergumulan Masyarakat, Yogya: Tiara Wacana, 1998
Mansur, Laily, Pemikiran Kalam dalam Islam, Jakarta: LSIK, 1994
Majid Fakhri, Sejarah Filsafat Islam “Sebuah
Peta Kronologis” , (Jakarta: Rajawali Press, 2000)
Nasution, Harun, Akal dan Wahyu dalam Islam, UI Press, cet. 2, 1987.
Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI-Press, 1972
Nurchalis Madjid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1985)
Sabar, “Apropreasi dan Naturalisasi Ilmu-ilmu
Yunani dalam Islam, sebuah pengantar”, dalam Jurnal al-Hikmah, (edisi 6
Oktober 1992)
Philip K. Hitti, History Of The Arabs, (New
York: Martin Pres, 1996)
Sudarsono, Filsafat Islam,Jakarta: Rineka Cipta, 1997
Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, Jakarta: Yayasan Obor, 1991
W. Motgomery Watt, Pemikiran Teologi dan filsafat
Islam, terj. Umar Basalim, (Jakarta: P3M Press, 1987)
[1]. Oliver Leman, Pengantar Filsafat Islam, terj. Amin Abdullah,
(Jakarta: Rajawali Pres, 1988) hlm, 8
[3]. Sabar, “Apropreasi dan Naturalisasi Ilmu-ilmu Yunani dalam Islam,
sebuah pengantar”, dalam Jurnal al-Hikmah, (edisi 6 Oktober 1992) hlm, 90
[4]. Philip K. Hitti, History Of The Arabs, (New York: Martin Pres,
1996) hlm, 363. Sebelum Hunain Ibnu Ishaq, penterjamahan karya-karya Yunani ini
umumnya dilakukan dari edisi bahasa Syiria kedalam bahasa Arab, sementara
Hunain ibnu Ishaq langsung menterjamahkan dari bahasa Yunani kedalam Bahasa
Arab sekaligus menkajinya secara Filosofis.
[5]. A. Khudori soleh, Wacana Baru “Filsafat Islam”, (Yogyakart:
Pustaka Belajar, 2004
[6]. Nurchalis Madjid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1985), hlm, 24.
[7] . pemikiran hellenistik pertama kali menjadi perhatian kalangan Muslim
adalah karena interes mereka dalam permasalahn
teologi. Perdaban antara muslim dan keristen yang berlangsung didalam
istana khalifah Umayyah yang toleran mengarahkan pemikir-pemikir muslim pada
keluar Kristen Yunani. Peristilahan helenistik, bentu-bentuk argumentasi
rasional dan beberapa metode kepustakaan. Pertemuan pertama yang berlangsung
didemaskus ini diteruskan oleh kegiatan riset di Baghdad, dan oleh kegiatan
penerjamahan karya-karya Yunani dan Syiria kedalam Bahasa Arab. Di Bayt
al-Hikmah, karya-karya logika, keilmuan dan karya-karya teknik berbahasa Yunani
dan Syiria diterjamahkan kedalam bahsa arab. Karya-karya tersebut termasuk
naskah-naskah logika Aristoteles, dan beberapa karya dan Hipocrates.
[8] . Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam “Bagian Kesatu &
kedua”, trj. Ghufron A. Mas’adi, (Jakarta: PT. RjaGrafindo Persada, 1999),
hlm, 141.
[10] . Majid Fakhri, Sejarah Filsafat Islam “Sebuah Peta
Kronologis” , (Jakarta: Rajawali Press, 2000), hlm, 37
[13]. W. Motgomery Watt, Pemikiran Teologi dan filsafat Islam, terj.
Umar Basalim, (Jakarta: P3M Press, 1987), hlm, 54
[14]. Lihat Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, terj, HM Amin
Abdullah, (Jakart: Rajawai Press, 1989), hlm, 8. Dan Qadir, Filsasat dan
Ilmu Pengetahuan dalam Islam, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991), 57
[15] Sejalan dengan ini pola pemikiran Arab bersifat “Dualistis”, diskontinu
dan dialogis, sementara corak utamadari cara berpikir Yunani adalah sintetis,
kontinu dan analogis. Dalam tradisi Arab dibedakan secara dan tampa kenal
peraturan antar Tuhan makhluk, dunia dan akhirat, Arab dan Non Arab, dan
seterusnya, sementara dalam traddisi Yunani justru berusaha merangkum perbedaan
dan pertentangan tersebut dengan member “perantara’. Mislnya, antara ada dan
tiada terdapat yang mungkin, antara punya dan tidak punya terdapat steresis
(privasio) dan kesempurnaan sesuatu bis dipartisipir oleh adanya yang kurang
sempurna secara analogis. Begitu seterusnya, sehingga pola pikir Yunani memang
lebih logis dan filosofis di Banding Arab. Lihat Bakker, Sejarah Filsafat
dalam Islam, (Yogyakarta: Kanisius, 1986),
hlm, 9
[18]. Saat itu
sampai dibentuk tim khusus yang bertugas mwlawat ke negri-negri sekitar untuk
mencari buku-buku pengetahuan apa saja yang pantas diterjamahkandan
dikembangkan. Hasyim, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1975), hlm, 227. Lihat Philip K. Hitti,
hlm, 363. Diantara mereka yang dikenal berjasa dalam usaha penterjamahan
karya-karya Yunani kedalam bahasa Arab ini adalah Yahya al-Balmaki (w. 857),
Yuhana ibn Musyawaih dan Hunain ibn Ishaq. Sebelum Hunain ibnu Ishaq,
penterjamahan karya-karya Yunani ini umumnya dilakukan dari edisi bahasa syiria
kedalam bahsa Arab, sementara Hunain ibnu Ishaq langsung menterjamahkan
langsung dari bahasa Yunani ked ala bahasa Arab sekaligus mengkajinya secara
filosofis.
[20] . Ira M. Lapidus, A History Of Islamic Societies, (Cambridge,
Cambridge University Press, 1999), hlm, 95.
[21]. Abdurrahman Badawi, al-Turasts al-Yunani fi al-hsdlarah
al-Islamiyah,Dlirasah li Kibar al-Mustasyriqin, (Bairut: Dar al-kalam,
1980) hlm, 06.
[22] . M. Subkhann Anshori, Filsafat Antara Ilmu dan Kepentingan, (Kediri:
Pustaka Azhar, 2011), hlm, 02
[23] . Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Takwin al-‘Aql al-Arabi, (Bairut:
al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1991), hlm, 35
[28] . Pada awal perkembangan Islam,
ketika Rasul saw masih hidup, semua persoalan bisa diselesaikan dengan cara
ditanyakan langsung kepada beliau, atau diatasi lewat jalan kesepakatakan
diantara para cerdik. Akan tetapi, hal itu tidak bisa lagi dilakukan setelah
Rasul wafat dan persoalan-persoalan semakin banyak dan rumit seiring dengan
perkembangan Islam yang demikian cepat. Jalan satu-satunya adalah kembali
kepada ajaran teks suci, al-Qur`an, lewat berbagai pemahaman.
Artinya: Hai orang-orang
yang beriman, Sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan
rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan
mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. dan orang-orang yang
menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka
beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.
[31] . lihat: Musa Asy’arie, Filsafat
Nabi, Sunnah Nabi dalam Berpikir, 2001: 87). Disini membuktikan bahwa filsafat
Islam mengkaji mengkaji berbagai aspek, baik yang fisik maupun metafisik, baik
urusan dunia ataupun urusan akherat.
[35] . Meski demikian, perkembangan yang
pesat pada ilmu-ilmu Yunani dalam Islam berkat dukungan yang besar dari
Khalifah sebagaimana diatas bukan tidak menimbulkan persoalan. Imam Ibn Hanbal
(780-855 M), salah seorang imam mazhab fiqh dan orang-orang yang sepikiran
dengannya dari kalangan ortodoks menunjukkan sikap yang tidak kenal kompromi
terhadap ilmu-ilmu Yunani. Menurut George N. Atiyeh, penentangan kalangan
ortodoks tersebut disebabkan, pertama, adanya ketakutan dikalangan ortodoks
(fiqh) bahwa ilmu-ilmu Yunani akan menyebabkan berkurangnya rasa hormat umat
Islam terhadap Tuhan. Kedua, adanya kenyataan bahwa mayoritas dari mereka yang
mempelajari filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani adalah orang-orang non-muslim,
penganut Machianisme, orang-orang Sabia dan muslim penganut mazhab Batiniyah
yang esoteris, yang itu semua mendorong munculnya kecurigaan atas segala
kegiatan intelektual dan perenungan yang mereka lakukan. Ketiga, adanya usaha
untuk melindungi umat Islam dari pengaruh Machieanisme Persia khususnya maupun
faham-faham lain yang dinilai tidak sejalan dengan ajaran Islam yang
ditimbulkan dari pikiran-pikiran filsafat Yunani.
[36] . Usaha penentangan kaum ortodoks
yang dipelopori Ibn Hanbal terhadap ilmu-ilmu Yunani diatas mencapai puncak dan
keberhasilannya pada masa khalifah al-Mutawakkil (847-861 M). Tampilnya
al-Mutawakkil dengan kebijakannya yang mendukung kaum ortodoks (salaf) menyebabkan
kalangan yang tadinya tertindas ini memperoleh angin dan muncul kepermukaan
menggantikan posisi orang-orang Muktazilah khususnya dan para ahli filsafat
umumnya, dan mulailah terjadi revolosi orang-orang yang tidak sefaham
dipecat dan diganti dari kalangan salaf.
0 komentar:
Posting Komentar