I.
Pendahuluan
Proses
pendidikan agama Islam merupakan suatu
upaya yang terstruktur untuk membentuk
manusia yang berkarakter sesuai dengan konsekuensinya sebagai seorang
muslim. Berdasarkan pada apa yang disebutkan dalam Undang-Undang
sistem pendidikan nasional tentang pendidikan, yang mengatakan bahwa Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.[1] Maka tujuan pendidikan yang mendasar adalah mengembangkan potensi diri peserta didik, baik kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Dengan bahasa yang lain, pada diri manusia terdapat 3 kecerdasan; intelektual, emosional, dan spiritual yang harus dikembangkan melalui langkah pendidikan.
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.[1] Maka tujuan pendidikan yang mendasar adalah mengembangkan potensi diri peserta didik, baik kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Dengan bahasa yang lain, pada diri manusia terdapat 3 kecerdasan; intelektual, emosional, dan spiritual yang harus dikembangkan melalui langkah pendidikan.
Hakekat pendidikan Islam
sebenarnya adalah proses yang selalu terkait dengan nilai-nilai transendensi vertikal
(ketauhidan). Karena itu, pemaknaan pendidikan merupakan perpaduan antara
keunggulan spirituan dengan kultural. Sebagai
upaya memaksimalkan proses pendidikan Agama Islam dilakukan proses pembelajaran
dengan pendekatan sufistik. Dalam artian lebih mengedepankan keseimbangan
antara intelektual, emosional dan spiritual. Adapun rumusan masalah dalam
makalah ini adalah apa pendekatan
sufistik? Apa saja inti ajaran tasawuf (sufistik) dalam pendidikan/? Apa saja
peran sufistik dalam pendidikan serta paradigma pendidikan sufistik terhadap
proses pendidikan Islam.
Tujuan dari proses pendidikan adalah munculnya orang-orang yang berilmu
pengetahuan luas dan memiliki kedalaman spiritual. Yaitu lahirnya seorang
yang pandai menggunakan akalnya dan seorang yang benar menggunakan hatinya, hal ini merupakan harapan besar dari terselenggarakannya suatu
pendidikan. Karena apabila hanya menyandang pandai, maka kepandaian yang
dimiliki akan dapat dikendalikan oleh nafsunya. Sedangkan apabila dia hanya
menyandang benar, maka kebenarannya tersebut tidak dapat menembus dunia
rasional yang cermat. Maka
sangat diharapkan antara pandai dan benar ini dapat berjalan berdampingan untuk
menuju insan kamil yang dicita-citakan dalam pendidikan.
II.
Pengertian Pendekatan Sufistik
Istilah “pendekatan” secara
morfologis berasal dari kata “dekat.
Istilah tersebut secara
leksikal berarti jarak, hampir, akrab. Secara etimologi berarti proses,
perbuatan atau cara mendekati.[2] Dalam perspektif terminologi, istilah pendekatan
berarti paradigma yang terdapat dalam suatu disiplin ilmu tertentu yang
selanjutnya dipergunakan untuk memahami suatu masalah tertentu.[3]
Sedangkan istilah sufistik berasal
dari kata shafa yang berarti bersih, sehingga kata shufi memiliki
makna orang yang hatinya tulus dan bersih dihadapan Tuhannya. Ada pendapat lain
yang mengatakan berasal dari kata shuffah yang berarti serambi masjid
Nabawi di Madinah yang ditempati oleh para sahabat Nabi yang miskin dari
golongan Muhajirin, dan mereka itu disebut dengan ahlu as-suffah. Selain
itu juga ada pendapat yang mengatakan berasal dari kata suf yang berarti
kain yang dibuat dari bulu (wool) dan kaum sufi lebih memilih wool yang kasar
sebagai simbol kesederhanaan. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa kata shufi
berasal dari bahasa Yunani shopos
yang berarti hikmah.[4] Dari
beberapa pendapat yang ada, pendapat yang mengatakan kata sufi diambil dari
kata suf yang berarti wool adalah
pendapat yang lebih diterima. Karena dengan berpakaian sederhana itu, mereka merasa
terhindar dari sifat riya’ dan lebih menunjukkan kezuhudan.
Dari banyaknya definisi tasawuf secara terminologis sesuai
dengan subjektifitas masing-masing sufi, maka Ibrahim Basyuni
mengklasifikasikan tasawuf menjadi 3 macam yang menunjukkan elemen-elemen,[5] yakni:
1.
Al-bidayah
sebagai pengalaman ahli sufi tahap pemula, yang mengandung arti bahwa seseorang
secara fitrahnya sadar dan mengakui bahwa semua yang ada ini tidak dapat
menguasai dirinya sendiri karena dibalik yang ada terdapat realitas mutlak, dan
elemen ini dapat disebut sebagai tahap kesadaran tasawuf.
2.
Al-mujahadah
sebagai pengamalan praktis ahli sufi yang merupakan tahap perjuangan keras,
karena jarak antar manusia dengan realitas mutlak yang mengatasi semua yang ada
bukan jarak fisik yang berupa rintangan dan hambatan, maka dari itu diperlukan
kesungguhan dan perjuangan yang keras untuk mencapai dan menempuh jarak
tersebut dengan cara menciptakan kondisi tertentu untuk dapat mendekatkan diri
dengan realitas mutlak.
3.
Al-
Madzaqat sebagai pengalaman dari segi perasaan,
jadi ketika seseorang telah lulus melewati hambatan dan rintangan untuk
mendekatkan diri dengan realitas mutlak, maka ia akan dapat berkomunikasi dan
berada sedekat mungkin dihadirat-Nya serta akan merasakan kelezatan spiritual
yang didambakan.
Karena tasawuf sudah menjadi sebuah disiplin ilmu,
maka Harun Nasution mendefinisikan tasawuf sebagai ilmu yang mempelajari cara
dan jalan bagaimana orang Islam dapat sedekat mungkin dengan Allah SWT agar
dapat memperoleh hubungan langsung dengan-Nya, artinya bagaimana diri seseorang
dapat betul-betul berada di kehadirat-Nya.[6] Dengan demikian, intisari
dari sufisme adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara ruh
manusia dengan realitas mutlak (Allah) yang dapat diperoleh dengan melalui
beberapa usaha tertentu.
Terkait dengan tujuan dari tasawuf adalah sebagai
bentuk pengabdian seseorang terhadap Tuhannya dalam melaksanakan salah satu
tugasnya yaitu sebagai seorang ‘Abd (hamba), disamping ia juga sebagai seorang
khalifah (pemimpin). Karena seperti yang disampaikan oleh Muhammad Abdul Haq
Ansari bahwa tidak ada tingkatan yang
lebih tinggi dibanding tingkatan kehambaan (a’bdiyyat) dan tidak ada
kebenaran yang lebih tinggi diluar Syariah.[7]
\
III.
Inti Ajaran Tasawuf (Sufistik) dalam Pendidikan
Ada tiga pokok ajaran tasawuf yang dapat dikembangkan dalam dunia
pendidikan, antara lain adalah:
1.
Tasawuf
Akhlaqi
Dalam pandangan
kaum sufi, manusia cenderung mengikuti hawa nafsunya, daripada manusia
mengendalikan hawa nafsunya. Keinginan untuk menguasai dunia atau berusaha agar
berkuasa di dunia sangatlah besar. Cara hidup seperti ini menurut Al-Ghazali,
akan membawa manusia kejurang kehancuran moral. Dalam hal ini rehabilitas
kondisi mental yang tidak baik adalah bila terapinya hanya didasar pada aspek
lahiriyah saja. Itu sebabnya pada tahap awal kehidupan tasawuf diharuskan
melakukan amalan-amalan atau latihan-latihan rohani yang cukup, tujuanya tidak
lain adalah untuk membersihkan jiwa dari nafsu yang tidak baik untuk menuju
kehadirat Illahi.[8]
Adapun bentuk
dari usaha atau latihan-latihan jiwa (riyadloh) yang dilakukan ahli
tasawuf dalam menuju kehadirat Illahi dilakukan dengan melalui tiga level
(tingkatan) yakni: takhalli, tahalli, dan Tajalli.
a.
Takhalli,
berarti membersihkan diri dari sifat- sifat tercela,
dari maksiat lahir dan maksiat batin. Di antara sifat- sifat tercela yang
mengotori jiwa (hati) manusia adalah hasad (dengki), hiqd (rasa
mendongkol), su’u al-zann (buruk sangka), takkabur (sombong), ‘ujub
(membanggakan diri), riya’ (pamer), bukhl (kikir), dan ghadab
(pemarah). Takhalli juga berarti mengosongkan diri dari sikap ketergantungan
terhadap kelezatan hidup duniawi. Hal ini akan dapat dicapai dengan jalan
menjauhkan diri dari kemaksiatan dalam segala bentuknya dan berusaha melenyapkan
dorongan hawa nafsu jahat.[9]
b.
Tahalli,
yakni mensucikan diri dengan sifat-sifat terpuji,
dengan ta’at lahir dan taat batin. Tahalli berarti menghiasi diri dengan jalan
membiasakan diri dengan sifat dan sikap serta perbuatan yang baik. Berusaha
agar dalam setiap gerak perilaku selalu berjalan di atas ketentuan-Nya. Yang
dimaksud dengan ketaaatan lahir (luar) dalam hal ini adalah kewajiban
yang bersifat formal seperti salat, puasa, zakat, haji dan sebagainya.
Sedangkan yang dimaksud dengan ketaatan batin (dalam) adalah seperti
iman, sabar, tawadlu’, wara’, ikhlas dan lain sebagainya. [10]
c.
Tajalli,
berarti terungkapnya nur ghaib (cahaya gaib)
untuk hati. Tajalli ialah lenyap atau hilangnya hijab dari sifat-sifat
kebasyariahan (kemanusiaan). Usaha ini dimaksudkan untuk pemantapan dan
pendalaman materi yang telah dilalui pada fase tahalli, maka rangkaian
pendidikan mental itu disempurnakan pada fase tajalli.[11]
Sedangkan
langkah untuk melestarikan dan memperdalam rasa ketuhanan, ada beberapa cara
yang diajarkan kaum sufi, antara lain adalah:
a. Munajat, artinya
melaporkan diri kehadirat Allah atas segala aktifitas yang dilakukan.
b. Muraqabah dan Muhasabah, muraqabah adalah
senantiasa memandang dengan hati kepada Allah dan selalu memperhatikan apa yang
diciptakan-Nya dan tentang hukum-hukum-Nya. Sedangkan muhasabah adalah
selalu memikirkan dan memperhatikan apa yang telah diperbuat dan yang akan
diperbuat; dan ini muncul dari iman terhadap hari perhitungan (hari kiamat).
c. Memperbanyak wirid dan dzikir.
d. Mengingat
mati.
e. Tafakkur, adalah
berfikir, memikirkan, merenungkan atau meditasi atas ayat-ayat al-Quran dan
fenomena alam[12]
2.
Tasawuf
Amali
Pada dasarnya
tasawuf amali adalah kelanjutan dari tasawuf akhlaki, karena seseorang tidak
dapat hidup disisi-Nya dengan hanya mengandalkan amalan yang dikerjakan sebelum
ia membersihkan dirinya. Jiwa yang bersih merupakan syarat utama untuk bisa
kembali kepada Tuhan, karena Dia adalah Maha Bersih dan Maha Suci dan hanya
menginginkan atau menerima orang-orang yang bersih. Dengan demikian, manusia
diharapkan mampu mengisi hatinya (setelah dibersihkan dari sifat-sifat tercela)
dengan cara memahami dan mengamalkan sifat-sifat terpuji melalui aspek lahir
dan batin, yang mana kedua aspek tersebut dalam agama dibagi menjadi 4 (empat)
bagian, yaitu:
a. Syari’at, adalah
undang-undang atau garis-garis yang telah ditentukan yang termasuk di dalamnya
hukum-hukum halal dan haram, yang diperintah dan yang dilarang, yang sunnah,
makruh, mubah, dan lain sebagaonya. Dengan kata lain ini merupakan peraturan.
b. Thoriqot, adalah
tata cara dalam melaksanakan syari’at yang telah digariskan dalam
agama dan dilakukan hanya karena
penghambaan diri kepada Allah. Dengan kata lain ini merupakan pelaksanaan.
c. Hakekat, adalah
aspek lain dari syari’ah yang bersifat lahiriyah, yaitu aspek
bathiniyah. Dapat juga diartikan sebagai rahasia yang paling dalam dalam dari
segala amal atau inti syari’ah. Dengan kata lain ini merupakan keadaan
yang sebenarnya atau kebenaran sejati.
d. Ma’rifat, adalah
pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati (qalb). Dengan kata lain ini
merupakan pengenalan Tuhan dari dekat.[13]
Sedangkan untuk
berada dekat pada Allah SWT, seorang sufi harus menempuh jalan panjang yang
berisi station-station yang disebut dengan maqamat. Beberapa
urutan maqamat yang disebutkan oleh Harun Nasution adalah; taubat,
zuhud, sabar, tawakal, dan rida’. Di atas maqamat ini ada lagi; mahabbah,
ma’rifat, fana’ baqa’, serta ittihad.[14] Selain
istilah maqamat, ada juga istilah ahwal yang merupakan kondisi
mental. Dalam hal ini ada beberapa tingkah yang sudah mashur, yaitu; khauf,
raja’, syauq, uns, dan yaqin.[15]
3.
Tasawuf
Falsafi
Adalah tasawuf
yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dengan visi rasional. Hal
ini berbeda dengan tasawuf akhlaki dan amali, yang masih berada pada ruang lingkup
tasawuf suni seperti tasawufnya al-Ghazali, tasawuf ini menggunakan terminologi
falsafi dalam pengungkapan ajarannya. Ciri umum tasawuf falsafi adalah
kesamaran-kesamaran ajarannya yang diakibatkan banyaknya ungkapan dan
peristilahan khusus yang hanya bisa
dipahami oleh mereka yang memahami ajaran tasawuf jenis ini. Kemudian tasawuf
ini tidak dapat dipandang sebagai filsafat, karena ajaran dan metodenya
didasarkan pada rasa (dzauq). Beberapa paham tipe ini antara lain
adalah; fana’ dan baqa’, ittihad, hulul, wahdah al-wujud, dan isyraq.
[16]
IV.
Peran Teori
Sufistik dalam Pendidikan
Tingkat pemahaman sesorang
tentang Tuhan, juga menentukan tingkat kecerdasan secara spritual terhadap
Tuhan. Dalam diri manusia itu sendiri ada berbagai kecerdasan yang menyangkut
hal-hal seperti keilmuan, spritualitas, kejiwaan, ekonomi sosial. Tingkat kecerdasan
ini, juga tidak selalu dilambangkan Kualitas pemahaman kita atas sesuatu hal,
menentukan tingkat kecerdasan kita pada hal tersebut dengan kejeniusan otak
atau kemampuan menganalisa sesuatu, karena ia melibatkan kedalaman hati (deep
insight), pemahaman, dan kearifan.
Tujuan
dari penciptaan manusia oleh Allah swt. adalah sebagai ‘abd (hamba) dan
sekaligus khalifah (pemimpin) di muka bumi, yang di dalamnya terdapat
berbagai persoalan hidup yang harus dihadapi. Akan tetapi berbagai permasalah
kehidupan akan dapat dengan mudah diatasi apabila ada kedekatan seseorang
dengan-Nya. Dalam hal ini, pengembangan kepribadian dapat dilakukan dalam
proses pencapaian qalbun salim, karena Allah swt. hanya dapat dekat
dengan hati yang jernih. Dalam proses pencapaian qalbun salim inilah,
diperlukan pendidikan yang responsif terhadap pengembangan hati nurani.[17] Maka
pendekatan sufistiklah yang mampu memerankan sebagai pendidikan yang
memperhatikan terhadap aspek ruhani.
Dalam
buku “Pendidikan Islam dari Paradigma Klasik hingga Kontemporer” yang mengambil
dari buku “psikologi sufi” menyebutkan bahwa perspektif para sufi mengatakan
hakikat realitas adalah spiritual karena segala sesuatu berasal dari sang
pencipta. Dalam hal ini, ada hubungan paralel yang dapat dijelaskan lebih
spesifik antara realitas makrokosmos dan mikrokosmos, yaitu; dalam dunia
makrokosmos terdapat tingkatan-tingkatan realitas (alam materi, alam nasut, alam
malakut, alam jabarut, dan alam lahut). Sedangkan dalam
dunia mikrokosmos (diir manusia) juga terdapat lapisan-lapisan (lapisan
fisikal, nafs, qalb, ruh, kesadaran batin, dan kesadaran batin terdalam).
Beberapa lapisan tersebut harus dilalui oleh jiwa manusia untuk mencapai
kesempurnaan (kedekatan dengan Allah swt.).
Sedangkan
dalam ilmu pengetahuan modern memandang hakikat realitas adalah material. Teori
modern mengatakan bahwa dunia yang dapat dikaji adalah dunia yang secara valid
hanyalah realitas objektif (alam materi/ lapis fisikal atau yang memiliki sifat
kebendaan). Dalam hal ini, dapat dikatakan dengan sudut pandang yang sangat
dangkal, karena pada hakikatnya bahwa realitas itu memiliki multi aspek, baik
aspek indrawi maupun supra indrawi.[18]
Dengan demikian, perlu adanya keseimbangan antara aspek material yang sangat
rasional dengan aspek spiritual yang irasional, dengan tujuan akhir maju dalam
ilmu pengetahuan modern dengan tetap membawa tanggung jawab sebagai hamba Allah
swt.
V.
Paradigma Pendidikan
Sufistik dalam Pendidikan Islam
Pada
hakikatnya, tujuan pendidikan Islam adalah membina umat manusia agar dapat
menjadi manusia yang sempurna (insan kamil). Hal ini dimaksudkan agar manusia
dapat terhindar dari bebagai macam belenggu kehidupan manusia, dan mencapai
kebahagiaan dalam kehidupan akhirat. Akan tetapi tujuan ideal tersebut masih
jauh dari harapan, dengan disebabkan adanya beberapa hal yang salah satu
diantaranya adalah pendidikan Islam yang masih mengedepankan pola hidup yang
lebih dekat hubungannya dengan Tuhan dan mengesampingkan adanya sisi kehidupan
dunia, sehingga seseorang akan menjadi makhluk yang gagap dengan teknologi.[19] Gambaran
seseorang dalam hal ini dapat dikatakan bahwa terlahir orang-orang yang dapat
merasakan dengan hatinya, akan tetapi dia tidak cermat dalam memanfaatkan
rasionya. Maka dalam hal ini sangatlah diperlukan suatu langkah pendidikan yang
memperhatikan potensi rasa dan rasio.
Selain
itu, di lain sisi yang berhubungan dengan zaman modern juga terdapat ilmu
pengetahuan yang kering dari cita rasa, yang dapat dilihat dari banyak
terjadinya dekadensi kehidupan, emosi, dan moral. Hal ini menjadikan lenyapnya
kekayaan ruhaniyah yang dapat digunakan sebagai alat untuk memperkokoh derajat
mulia manusia di bumi ini.[20] Maka dalam
dunia pendidikan dan khususnya pendidikan Islam sangat diperlukan sebuah
pemikiran ke arah integrasi antara ilmu pengetahuan dengan agama yaitu agama
yang didekati dengan pandangan sufistik, yang dimaksudkan sebagai langkah
menjadikan peserta didik seorang yang pandai dan penuh tanggung jawab terhadap
Allah swt.
Dalam
hal ini, muncul pandangan untuk dilakukannya rekonstruksi paradigma pendidikan
ke arah sufistik-alternatif, yaitu sebagai berikut:
1. Landasan Filosofi, kehidupan manusia
pada hakikatnya adalah menuju dan mendekatkan diri kepada Allah swt., dan Dia
hanya dapat didekati dengan pribadi yang berhati jernih. Hati yang jernih dapat dicapai
melalui riyadlah, yang pada akhirnya seseorang dapat mencapai
kesempurnaan sebagai manusia.
2. Proses Pendidikan, berdasar pada
landasan filosofis di atas, proses pendidikan diharapkan mampu membuka pintu
kesadaran manusia untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah swt., dan dalam
proses pendidikan tidak hanya memperdulikan terhadap pengembangan pada dimensi
fisik, tetapi juga memperhatikan dimensi non fisik. Sehingga ada keseimbangan
antara rasa dan rasio, serta ada pemahaman konsep-konsep maqamat secara
tepat.[21]
VI.
Pola Pendekatan Sufistik dalam Pendidikan Agama Islam
Upaya penanaman nilai-nilai keagamaan berbasis kesadaran ketuhanan
(pendidikan sufistik) bisa ditempuh melalui tiga cara:[22](1) Penanaman nilai secara bertahap,
dari inderawi sampai ke rasional, dari parsial sampai universal. (2) Penerapan jiwa khusyu’,
taqwa, dan ibadah. Cara ini disadari sulit untuk dilaksanakan, tetapi bila anak
sudah diberi peringatan, ia akan berubah karakternya. (3) Penyadaran akan
pengawasan Allah SWT terhadap setiap tingkah laku dan situasi melalui latihan
dan keyakinan.
Adapun metode pendidikan sufistik menurut Munir Mulkhan adalah: (1) Kegiatan
pembelajaran dimulai dengan usaha agar peserta didik mendefinisikan siapa
dirinya, apa yang akan dipilih, dan menyadari resiko yang akan dihadapi dengan
pilihannya itu. Berikutnya, peserta didik menyusun sendiri konsep tentang
kebenaran dan kebaikan menurut pandangannya sehingga bisa menjadi miliknya
sendiri. Dari sini diharapkan bisa berkembang kepekaan sosial dalam kesediaan
berbagi rasa dengan orang lain. Selanjutnya akan tumbuh kecerdasan yang utuh
dan bulat sebagai dasar baginya dalam melatih intuisi dan imaginasi
ketuhanannya, serta melatih kemampuan kecerdasan rasionalnya.[23] (2) Metode pembelajaran berorientasi
penciptaan situasi belajar ketuhanan. Dari sini diharapkan peserta didik bisa
menjalani proses kreatifnya sendiri dalam ber-Tuhan dan ber-Islam. Dari sini
peserta didik bisa menemukan sendiri dan menyadari kehadiran Tuhan dalam kelas
atau kehidupan sehari-hari. Kesadaran personal seperti itu adalah kunci utama
proses pembelajaran bagi penumbuhan daya kreatif yang bebas dan mandiri dari
setiap peserta didik. Harapannya, peserta didik terus berusaha
menyempurnakan pengetahuan tentang ajaran Tuhan dan pemenuhannya sehingga
menjadi kaffah baik selama proses pembelajaran dalam kelas atau diluar
lingkungan sekolah dan dalam kehidupan sosial usai sekolahnya nanti.[24](3) Melibatkan peserta didik di setiap
proses berpengetahuan melalui studi alam dan kemanusiaan. Tujuan utamanya
adalah agar peseta didik menemukan dan mengenal sendiri Tuhan.[25](4) Praktikum ritual dan pelatihan akhlak terprogram. Sesuai
ajaran agama meliputi iman, akhlak, dan ibadah, lebih strategis jika pendidikan
agama difokuskan pada pengayaan pengalaman ketuhanan (iman), ritual (ibadah),
dan akhlak, bukan hanya ilmu. Pengayaan pengalaman ritual bisa ditempuh melalui
Pengayaan pengalaman ketuhanan melalui studi sejarah tentang kisah-kisah sukses
dan gagal dari kehidupan sehari-hari atau sejarah bangsa-bangsa didunia. Selain itu
juga melalui studi fisika, biologi, kimia yang difokuskan pada kehebatan Tuhan
menciptakan alam dan seluruh makhluk hidup daritingkatan paling rendah hingga
energi dan manusia[26]
Pendidikan sufistik yang berbasis kesadaran ilahiah juga sebagai
landasan semua dimensi perilaku peserta didik dalam hubungan sosial.[27] Untuk merealisasikan tataran sosial tersebut terdapat
beberapa cara: (1) Penanaman dasar-dasar kejiwaan yang mulia berupa; (a) Ketakwaan
pada Allah SWT sebagai hasil hakiki dan alami dari emosi iman yang menjadi
benteng guna menangkal kehendak perbuatan jahat. (b) Persaudaraan (ukhuwwah)
yang bisa melahirkan sikap positif untuk saling menolong dan tidak mementingkan
diri sendiri. (c) Kasih sayang terhadap sesama manusia yang merupakan kepekaan
untuk bisa merasa senasib sepenanggungan terhadap problem orang lain. (d) Toleran,
berani membela, dan menyatakan kebenaran serta tidak egois yang berpengaruh
penting bagi integritas dan solidaritas serta kebaikan manusia.
(2) Pemeliharaan hak orang lain dengan dasar kejiwaan yang mulia.
Dasar-dasar kejiwaan itu merupakan ruh dari fenomena dalam berinteraksi dengan
orang lain yang bersumber dari spirit kejiwaan itu. Hak orang lain meliputi:
(a) Hak orang tua untuk ditaati segala perintahnya yang baik yang menjadi
pangkal tolak segala hak kemasyarakatan. (b) Hak kerabat untuk selalu mendapat
jalinan persaudaraan dengan jalan silaturahmi yang dapat mendorong anak untuk
cinta kepada kerabat. (c)Hak tetangga mendapatkan rasa aman dan ketentraman
supaya dalam diri anak bisa tumbuh semangat memperhatikan orang lain sehingga
menjadi insane sosial yang tidak mengisolasi diri. (d) Hak guru untuk memperoleh penghormatan
akan kemuliaannya yang merupakan kewajiban seorang murid.(e) Hak teman sebagai
mitra dalam pergaulan dan berinteraksi yang darinya dapat dikenali watak
seseorang. (f) Hak orang dewasa mendapatkan perlakuan yang sopan yang termasuk
indikator keikhlasan dan loyalitas terhadap agama.
(3) Disiplin etika sosial supaya anak dapat menangkap esensi
problematika dalam pergaulan dimasyarakat dengan kebaikan dan cinta kasih dan
budi luhur. Karena itu, disiplin etika sosial menjadi dasar pendidikan yang
sebenarnya. Keberhasilannya pun berkaitan erat dengan penanaman dasar kejiwaan.
Islam meletakkan system pendidikan itu untuk membentuk akhlak anak,
mempersiapkan tingkah laku dan sikap sosialnya yang disebut etika sosial.
Dengan bekal itu, diharapkan seorang anak dalam pergaulannya bisa bersikap dan
berperilaku secara bijak seperti orang dewasa. Disiplin etika itu meliputi:
etika makan dan minum, memberi salam, meminta izin masuk rumah, duduk dalam
pertemuan, berbicara, bergurau, memberikan ucapan selamat, menjenguk orang
sakit, melawat kematian, bersin, dan menguap. Semua diatur secara terinci guna
merealisasikan akhlak yang diajarkan islam untuk dilaksanakan semua orang dalam
segala jenis, tingkatan dan statusnya. Meski ajaran etika ini diberikan Nabi
Muhammad pada zaman dahulu, nilai-nilai moralnya tetap relevan untuk
dilaksanakan pada masa kini dan datang. Disiplin etika menunjukkan bahwa islam
merupakan agama sosial yang datang untuk memperbaiki masyarakat manusia.
(4) Kontrol dan kritik sosial itu menjadi sarana dalam mewujudkan
prinsip amar ma’ruf nahi munkar. Prinsip ini oleh Qardlawi dipandang
sebagai pendidikan politik yang menjadi inti dari pendidikan sosial.[28]Tujuannya untuk memberikan kesadaran
sosial kepada anak. Karena itu, control dan kritik ini menjadi dasar pokok
ajaran islam guna mengawasi dan memerangi kejahatan, dekadensi moral, kezaliman
dan memelihara nilai, idealisme dan moralitas islam. Oleh karena itu, kontrol
dan kritik ini harus memperhatikan prinsip bahwa:
a.
Kontrol
pendapat umum merupakan tugas sosial yang tak kenal kompromi sehingga semua
orang harus melaksanakan kegiatan ini. Dengan tugas sosial ini diharapkan
akidah dan moralitas umat bisa tetap eksis sehingga menjadi kenyataan dan
selalu terhindar dari perilaku zalim.
b. Pelaksanaannya
harus bertahap, sesuai kesepakatan ulama, kebal terhadap cercaan dan berwawasan
luas. Untuk itu pendidik harus mengetahui perilaku, akhlak, dan emosi anak guna
membentuk pribadi muslim menuju martabat yang tinggi.
c. Selalu
mengenang ulama termasuk faktor yang memantapkan peribadi muslim dalam
menumbuhkan keberanian dan wibawa dalam mengontrol pendapat umum dan mewujudkan
sikap tegas dalam melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. Kemenangan
sejarah masa lalu itu bisa menjadi dorongan untuk berani maju dalam menumpas
pembangkang yang dengan sengaja tidak memelihara kehormatan islam dan tidak
menghargai moral yang luhur.[29]
Dengan demikian, pendidikan nilai sosial itu diarahkan untuk
membentuk kepribadian sehingga terbentuk masyarakat yang damai dan tenteram.
Masyarakat seperti itu menjadi tujuan pendidikan islam. Mereka adalah manusia
yang sesuai dengan eksistensi sebagai manusia beradab yang akhirnya membetuk
masyarakat ideal.
Nasih Ulwan berpendapat, Cara atau metode dalam menyampaikan nilai-nilai
pendidikan islam bisa diklasifikasi menjadi lima macam.[30]
1.
Keteladanan
Metode ini sangat efektif dalam mempersiapkan dan membentuk moral,
spiritual, dan sosial, sebab guru menjadi contoh ideal bagi anak. Semua tingkah
laku, sikap dan ucapan akan melekat pada diri dan perasaan anak. Ini menjadi
faktor penentu keberhasilannya. Dengan keteladanan ini akan menjadi imitasi dan
di ikuti dengan identifikasi nilai-nilai kebaikan untuk dipilih dan dilakukan.
Metode ini memiliki nilai persuasif sehingga tanpa disadari akan bisa terjadi
perembesan dan penularan nilai-nilai kebaikan. Metode keteladanan ini bisa
dilaksanakan melalui pelajaran agama dan pendidikan moral atau yang lain. Sehingga
perlu peningkatan kualitas atau performance yang memiliki nilai islam.
2.
Kebiasaan
Manusia meiliki potensi baik dan buruk. Bila lingkungannya baik dia akan
menjadi baik, begitu pula sebaliknya. Karena itu, dalam pendidikan perlu ada
praktik nyata dalam dilakukan oleh anak sehingga menjadi kebiasaan yang pola
sikap dan perilaku sehari-hari. Asy-Syaibani memandang metode pembiasaan ini
mencakup juga tujuan pendidikan nilai itu sendiri,[31]sebab kebiasaan anak yang berupa
bentukan sikap diri itu juga menjadi salah satu tujaun pendidikan itu sendiri.
Meskipun demikian, pembiasaan itu bisa dilaksanakan jika anak segan terhadap
orang lain yang dihormati dan ditaati perintahnya.
3.
Nasihat
Keperluan metode ini adalah karena dalam kenyataan tidak semua orang
bisa menangkap nilai-nilai kebaikan dan keburukan yang telah menjadi kebiasaan
dan keteladanan. Karena itu, dalam upaya menanamkan nilai itu diperlukan
pengarahan atau nasihat yang berfungsi untuk menunjukkan kebaikan dan
keburukan. Dalam metode ini bisa memungkinkan terjadinya dialog sebagai usaha
mengerti sistem nilai yang dinasihatkan. Nasihat berperan dalam menunjukkan
nilai kebaikan untuk selanjutnya diikuti dan dilaksanakan serta menunjukkan
nilai kejahatan untuk dijauhi. Karena persoalan nilai merupakan realitas
kompleks dan bukan hasil kreativitas yang tertutup dan berdikari, pemberian
nasihat itu sama halnya menjadi proses sosialisasi.
4.
Pengawasan
Metode ini dilaksanakan dengan cara mendampingi anak dalam membentuk
nilai psikis dan sosial. Pengawasan ini berperan mengetahui perkembangan atau
kebiasaan anak supaya diketahui penyimpangan yang harus diluruskan. Bila metode
pengawasan ini tidak dilaksanakan, berarti di dunia pendidikan telah memberi
peluang kepada anak untuk berbuat semaunya tanpa mempertimbangkan nilai baik
dan buruknya. Peranan pengawasan ini sangat dominan dalam membentuk kepribadian
mulia pada diri anak yang menjadi tujuan dari pendidikan sendiri.
5.
Hukuman
Dasar penggunaan metode ini adalah adanya potensi membangkang dalam diri
manusia untuk melakukan kejahatan. Pembangkangan terhadap kejahatan ini
berlanjut terus-menerus meski telah diberi nasihat. Karena itu, perlu hukuman
atau sanksi sesuai dengan kadar kejahatan yang diperbuatnya. Dengan sanksi itu
anak diharapkan bisa tumbuh kesadaran untuk meninggalkan kejahatan yang
diperbuatnya. Dengan sanksi itu anak diharapkan bisa tumbuh kesadaran untuk
meninggalkan kejahatan dan kembali ke jalan yang benar sesuai dengan
nilai-nilai ajaran islam. Ibnu Maskawih menyatakan bahwa hukuman itu perlu
dilaksanakan supaya anak terbiasa menjalankan hidup beragama.
Pengulangan dan pelaksanaan pendidikan nilai akan menjadi penghayatan,
dengan syarat : 1) Nilai harus memiliki teladan yang menjadi tempat melekatnya
nilai itu, 2) Teladan itu harus berupa manusia biasa yang dengan kekurangannya
bisa menjadi model, dan 3) Semua guru menjadi pengajar nilai sebab semua
memiliki pengaruh terhadap terwujudnya nilai itu.
Jadi, pendidikan sufistik dimaksud disini adalah
integrasi antara iman, ilmu dan realisasi amal. Sebagaimana dijelaskan diatas
bahwa ilmu yang utama adalah ilmu yang dilahirkan dari dorongan iman, iman yang
dimaksud disini adalah iman yang memiliki kepekaan dan sekaligus kekuatan untuk
memahami dan berbuat. Selain itu, ilmu yang utama adalah ilmu yang membuahkan
amal sebagai karya nyata kehidupan yang diabdikan untuk kemaslahatan manusia
dalam bentuk amal saleh dan penghambaan diri kepada Tuhan. Sementara amal
itu sendiri merupakan proses aktualisasi diri manusia dalam membangun budaya
islami, memajukan peradaban, memcahkan problem kehidupan, dan meneguhkan
eksistensi harkat kemanusiaan sebagai hamba dan khalifah-Nya.
VII.
Kesimpulan
Ada beberapa hal yang menjadi kesimpulan penulis dari
beberapa penjelasan di atas, di antaranya adalah:
1. Pendekatan sufistik dalam pembelajaran pendidikan
agama islam dapat dilakukan melalui riyadloh (latihan-latihan jiwa)
secara bertahap dengan memperhatikan keadaan peserta didik, ini dilakukan
sebagai langkah menuju kesempurnaan (kedekatan dengan Allah swt.).
2. Proses riyadloh dapat dilakukan dengan cara
melaksanakan beberapa materi dalam pembelajaran sufistik, yang mencakup tasawuf
akhlaqi, tasawuf amali, dan tasawuf falsafi.
3.
Pendidikan
sufistika merupakan integrasi antara iman, ilmu dan realisasi amal. Ilmu yang
utama adalah ilmu yang lahir dari dorongan iman.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Munir Mulkhan, Satu Tuhan Seribu Tafsir, (Yogyakarta:
Kanisius, 2007)
Abdullah Nasih Ulwan, Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam,
(Beirut: dar al-Salam, 1981), cet II.
Abdullah Nasih Ulwan, Tarbiyah
al-Aulad fi al-Islam, (Beirut: dar al-Salam, 1981), cet II.
Dakir dan Sardimi, Pendidikan Islam dan ESQ (Komparasi-Integrasi
Upaya Menuju Stadium Insan Kamil (Semarang: RaSAIL Media Group, 2011)
John P. Miller, oleh Abdul Munir Mukhan, Cerdas di Kelas Sekolah
Kepribadian: Rangkuman Model Pengembangan Kepribadian dalam Pendidikan Berbasis
Kelas, (Yogyakarta: Kreasi Wacana)
Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibany, Filsafat Pendidikan Islam,
terj. Hasan Laguulung (Jakarta: Bulan Bintang, 1979)
Yusuf Qardlawi, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al-Banna,
terj. Bustami Abdul Gani (Jakarta: Bulan Bintang, 1980)
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Cet.
III; Jakarta: PT. Raja Grafindio Persada, 1999)
Asmaran,
Pengantar Studi Tasawuf (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002).
Dakir dan
Sardimi, Pendidikan Islam dan ESQ (Komparasi-Integrasi Upaya Menuju Stadium
Insan Kamil (Semarang: RaSAIL Media Group, 2011).
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Cet. III; Jakarta:
Balai Pustaka, 1994)
Hilyah
al-Auliya’
(Maktabah Syamilah), juz. 10
Muhammad Abdul
Haq Ansari, Antara Sufisme Dan Syari’ah (Jakarta: CV. Rajawali, 1990).
Nasution,
Harun., Filsafat dan Mistisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang,
1973).
Sunan at-Tirmidzi
(Maktabah Syamilah), juz. 11
Supiana dan M.
Karman, Materi Pendidikan Agama Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2009).
Tim Dosen
Fakultas Tarbiyah UIN Maliki, Pendidikan Islam dari Paradigma Klasik hingga
Kontemporer (Malang: UIN-Malang Press: Malang, 2009).
Undang-undang
Sistem Pendidikan Nasional (Bandung: Citra Umbara, 2010).
[2]
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet.
III; Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hlm.
625
[3] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Cet.
III; Jakarta: PT. Raja Grafindio Persada, 1999), hlm. 88.
[4]
Supiana dan M. Karman, Materi Pendidikan Agama Islam (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2009), Cet. IV, hlm. 218.
[5] Supiana
dan M. Karman, Ibid.
[8] Asmaran, Pengantar
Studi Tasawuf (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 67.
[9] Asmaran, hlm. 68.
[10] Asmaran, hlm. 71.
[11] Asmaran, hlm. 73.
[12] Asmaran, hlm. 76-90.
[13] Asmaran, hlm. 95-104.
[14] Asmaran,
hlm. 109.
[15] Asmaran,
hlm. 140-149.
[16] Asmaran,
hlm. 153-177.
[17] Tim
Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki, Pendidikan Islam dari Paradigma Klasik
hingga Kontemporer (Malang: UIN-Malang Press: Malang, 2009), hlm. 26.
[18] Tim Dosen Fakultas
Tarbiyah UIN Maliki, Ibid.
[19] Dakir dan Sardimi, Pendidikan
Islam dan ESQ (Komparasi-Integrasi Upaya Menuju Stadium Insan Kamil (Semarang:
RaSAIL Media Group, 2011), hlm. 233-234.
[20] Tim Dosen Fakultas
Tarbiyah UIN Maliki, hlm. 28.
[22]
Abdullah Nasih Ulwan, Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam, (Beirut: dar
al-Salam, 1981), cet II. Hlm. 163-172.
[23]
John P. Miller, oleh Abdul Munir Mukhan, Cerdas di Kelas Sekolah
Kepribadian: Rangkuman Model Pengembangan Kepribadian dalam Pendidikan Berbasis
Kelas, (Yogyakarta: Kreasi Wacana), hlm. 25.
[24] Abdul Munir Mulkhan, Satu Tuhan Seribu Tafsir, (Yogyakarta:
Kanisius, 2007), hlm. 79
[28] Yusuf Qardlawi, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al-Banna,
terj. Bustami Abdul Gani (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hlm. 80.
[29] Yusuf Qardlawi, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al-Banna,
terj. Bustami Abdul Gani (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hlm. 359-509.
[30] Abdullah Nasih
Ulwan, Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam, (Beirut: dar al-Salam, 1981), cet
II. Hlm. 542.
[31] Omar Muhammad al-Toumy
al-Syaibany, Filsafat Pendidikan Islam, terj. Hasan Laguulung (Jakarta:
Bulan Bintang, 1979), hlm. 585
2 komentar:
alchamdulillaah,,, nyuwun share njiih... :D
izin mengutif, sebagai tambahan referensi...
semoga semakin diberkahi...
Posting Komentar