Jumat, 18 Januari 2013

PENDEKATAN SUFISTIK DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM



Oleh: Achmad Sayyid, S.Pd.I 
I.                   Pendahuluan
Proses pendidikan agama  Islam merupakan suatu upaya yang terstruktur untuk membentuk  manusia yang berkarakter sesuai dengan konsekuensinya sebagai seorang muslim. Berdasarkan pada apa yang disebutkan dalam Undang-Undang sistem pendidikan nasional tentang pendidikan, yang mengatakan bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.[1] Maka tujuan pendidikan yang mendasar adalah mengembangkan potensi diri peserta didik, baik kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Dengan bahasa yang lain, pada diri manusia terdapat 3 kecerdasan; intelektual, emosional, dan spiritual yang harus dikembangkan melalui langkah pendidikan.
Hakekat pendidikan Islam sebenarnya adalah proses yang selalu terkait dengan nilai-nilai transendensi vertikal (ketauhidan). Karena itu, pemaknaan pendidikan merupakan perpaduan antara keunggulan spirituan  dengan kultural. Sebagai upaya memaksimalkan proses pendidikan Agama Islam dilakukan proses pembelajaran dengan pendekatan sufistik. Dalam artian lebih mengedepankan keseimbangan antara intelektual, emosional dan spiritual. Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah apa   pendekatan sufistik? Apa saja inti ajaran tasawuf (sufistik) dalam pendidikan/? Apa saja peran sufistik dalam pendidikan serta paradigma pendidikan sufistik terhadap proses pendidikan Islam.
            Tujuan dari proses pendidikan  adalah munculnya orang-orang yang berilmu pengetahuan luas dan memiliki kedalaman spiritual. Yaitu lahirnya   seorang yang pandai menggunakan akalnya dan seorang yang benar  menggunakan hatinya, hal ini merupakan harapan besar dari terselenggarakannya suatu pendidikan. Karena apabila hanya menyandang pandai, maka kepandaian yang dimiliki akan dapat dikendalikan oleh nafsunya. Sedangkan apabila dia hanya menyandang benar, maka kebenarannya tersebut tidak dapat menembus dunia rasional yang cermat. Maka sangat diharapkan antara pandai dan benar ini dapat berjalan berdampingan untuk menuju insan kamil yang dicita-citakan dalam pendidikan.
II.                Pengertian Pendekatan Sufistik
Istilah “pendekatan” secara morfologis berasal dari kata “dekat. Istilah tersebut secara leksikal berarti jarak, hampir, akrab. Secara etimologi berarti proses, perbuatan atau cara mendekati.[2] Dalam perspektif terminologi, istilah pendekatan berarti paradigma yang terdapat dalam suatu disiplin ilmu tertentu yang selanjutnya dipergunakan untuk memahami suatu masalah tertentu.[3]
Sedangkan istilah sufistik berasal dari kata shafa yang berarti bersih, sehingga kata shufi memiliki makna orang yang hatinya tulus dan bersih dihadapan Tuhannya. Ada pendapat lain yang mengatakan berasal dari kata shuffah yang berarti serambi masjid Nabawi di Madinah yang ditempati oleh para sahabat Nabi yang miskin dari golongan Muhajirin, dan mereka itu disebut dengan ahlu as-suffah. Selain itu juga ada pendapat yang mengatakan berasal dari kata suf yang berarti kain yang dibuat dari bulu (wool) dan kaum sufi lebih memilih wool yang kasar sebagai simbol kesederhanaan. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa kata shufi  berasal dari bahasa Yunani shopos yang berarti hikmah.[4] Dari beberapa pendapat yang ada, pendapat yang mengatakan kata sufi diambil dari kata suf  yang berarti wool adalah pendapat yang lebih diterima. Karena dengan berpakaian sederhana itu, mereka merasa terhindar dari sifat riya’ dan lebih menunjukkan kezuhudan.
     Dari banyaknya definisi tasawuf secara terminologis sesuai dengan subjektifitas masing-masing sufi, maka Ibrahim Basyuni mengklasifikasikan tasawuf menjadi 3 macam yang menunjukkan elemen-elemen,[5] yakni:
1.        Al-bidayah sebagai pengalaman ahli sufi tahap pemula, yang mengandung arti bahwa seseorang secara fitrahnya sadar dan mengakui bahwa semua yang ada ini tidak dapat menguasai dirinya sendiri karena dibalik yang ada terdapat realitas mutlak, dan elemen ini dapat disebut sebagai tahap kesadaran tasawuf.
2.        Al-mujahadah sebagai pengamalan praktis ahli sufi yang merupakan tahap perjuangan keras, karena jarak antar manusia dengan realitas mutlak yang mengatasi semua yang ada bukan jarak fisik yang berupa rintangan dan hambatan, maka dari itu diperlukan kesungguhan dan perjuangan yang keras untuk mencapai dan menempuh jarak tersebut dengan cara menciptakan kondisi tertentu untuk dapat mendekatkan diri dengan realitas mutlak.
3.        Al- Madzaqat sebagai pengalaman dari segi perasaan, jadi ketika seseorang telah lulus melewati hambatan dan rintangan untuk mendekatkan diri dengan realitas mutlak, maka ia akan dapat berkomunikasi dan berada sedekat mungkin dihadirat-Nya serta akan merasakan kelezatan spiritual yang didambakan.
Karena tasawuf sudah menjadi sebuah disiplin ilmu, maka Harun Nasution mendefinisikan tasawuf sebagai ilmu yang mempelajari cara dan jalan bagaimana orang Islam dapat sedekat mungkin dengan Allah SWT agar dapat memperoleh hubungan langsung dengan-Nya, artinya bagaimana diri seseorang dapat betul-betul berada di kehadirat-Nya.[6] Dengan demikian, intisari dari sufisme adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan realitas mutlak (Allah) yang dapat diperoleh dengan melalui beberapa usaha tertentu. 
Terkait dengan tujuan dari tasawuf adalah sebagai bentuk pengabdian seseorang terhadap Tuhannya dalam melaksanakan salah satu tugasnya yaitu sebagai seorang ‘Abd (hamba), disamping ia juga sebagai seorang khalifah (pemimpin). Karena seperti yang disampaikan oleh Muhammad Abdul Haq Ansari  bahwa tidak ada tingkatan yang lebih tinggi dibanding tingkatan kehambaan (a’bdiyyat) dan tidak ada kebenaran yang lebih tinggi diluar Syariah.[7]
\
III.             Inti Ajaran Tasawuf (Sufistik) dalam Pendidikan
Ada tiga pokok ajaran tasawuf yang dapat dikembangkan dalam dunia pendidikan, antara lain adalah:
1.      Tasawuf Akhlaqi
Dalam pandangan kaum sufi, manusia cenderung mengikuti hawa nafsunya, daripada manusia mengendalikan hawa nafsunya. Keinginan untuk menguasai dunia atau berusaha agar berkuasa di dunia sangatlah besar. Cara hidup seperti ini menurut Al-Ghazali, akan membawa manusia kejurang kehancuran moral. Dalam hal ini rehabilitas kondisi mental yang tidak baik adalah bila terapinya hanya didasar pada aspek lahiriyah saja. Itu sebabnya pada tahap awal kehidupan tasawuf diharuskan melakukan amalan-amalan atau latihan-latihan rohani yang cukup, tujuanya tidak lain adalah untuk membersihkan jiwa dari nafsu yang tidak baik untuk menuju kehadirat Illahi.[8]
Adapun bentuk dari usaha atau latihan-latihan jiwa (riyadloh) yang dilakukan ahli tasawuf dalam menuju kehadirat Illahi dilakukan dengan melalui tiga level (tingkatan) yakni: takhalli, tahalli, dan Tajalli.
a.       Takhalli, berarti membersihkan diri dari sifat- sifat tercela, dari maksiat lahir dan maksiat batin. Di antara sifat- sifat tercela yang mengotori jiwa (hati) manusia adalah hasad (dengki), hiqd (rasa mendongkol), su’u al-zann (buruk sangka), takkabur (sombong), ‘ujub (membanggakan diri), riya’ (pamer), bukhl (kikir), dan ghadab (pemarah). Takhalli juga berarti mengosongkan diri dari sikap ketergantungan terhadap kelezatan hidup duniawi. Hal ini akan dapat dicapai dengan jalan menjauhkan diri dari kemaksiatan dalam segala bentuknya dan berusaha melenyapkan dorongan hawa nafsu jahat.[9]
b.      Tahalli, yakni mensucikan diri dengan sifat-sifat terpuji, dengan ta’at lahir dan taat batin. Tahalli berarti menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan sifat dan sikap serta perbuatan yang baik. Berusaha agar dalam setiap gerak perilaku selalu berjalan di atas ketentuan-Nya. Yang dimaksud dengan ketaaatan lahir (luar) dalam hal ini adalah kewajiban yang bersifat formal seperti salat, puasa, zakat, haji dan sebagainya. Sedangkan yang dimaksud dengan ketaatan batin (dalam) adalah seperti iman, sabar, tawadlu’, wara’, ikhlas dan lain sebagainya. [10]
c.       Tajalli, berarti terungkapnya nur ghaib (cahaya gaib) untuk hati. Tajalli ialah lenyap atau hilangnya hijab dari sifat-sifat kebasyariahan (kemanusiaan). Usaha ini dimaksudkan untuk pemantapan dan pendalaman materi yang telah dilalui pada fase tahalli, maka rangkaian pendidikan mental itu disempurnakan pada fase tajalli.[11]
Sedangkan langkah untuk melestarikan dan memperdalam rasa ketuhanan, ada beberapa cara yang diajarkan kaum sufi, antara lain adalah:
a.       Munajat, artinya melaporkan diri kehadirat Allah atas segala aktifitas yang dilakukan.
b.      Muraqabah dan Muhasabah, muraqabah adalah senantiasa memandang dengan hati kepada Allah dan selalu memperhatikan apa yang diciptakan-Nya dan tentang hukum-hukum-Nya. Sedangkan muhasabah adalah selalu memikirkan dan memperhatikan apa yang telah diperbuat dan yang akan diperbuat; dan ini muncul dari iman terhadap hari perhitungan (hari kiamat).
c.       Memperbanyak wirid dan dzikir.
d.      Mengingat mati.
e.       Tafakkur, adalah berfikir, memikirkan, merenungkan atau meditasi atas ayat-ayat al-Quran dan fenomena alam[12]
2.      Tasawuf Amali
Pada dasarnya tasawuf amali adalah kelanjutan dari tasawuf akhlaki, karena seseorang tidak dapat hidup disisi-Nya dengan hanya mengandalkan amalan yang dikerjakan sebelum ia membersihkan dirinya. Jiwa yang bersih merupakan syarat utama untuk bisa kembali kepada Tuhan, karena Dia adalah Maha Bersih dan Maha Suci dan hanya menginginkan atau menerima orang-orang yang bersih. Dengan demikian, manusia diharapkan mampu mengisi hatinya (setelah dibersihkan dari sifat-sifat tercela) dengan cara memahami dan mengamalkan sifat-sifat terpuji melalui aspek lahir dan batin, yang mana kedua aspek tersebut dalam agama dibagi menjadi 4 (empat) bagian, yaitu:
a.       Syari’at, adalah undang-undang atau garis-garis yang telah ditentukan yang termasuk di dalamnya hukum-hukum halal dan haram, yang diperintah dan yang dilarang, yang sunnah, makruh, mubah, dan lain sebagaonya. Dengan kata lain ini merupakan peraturan.
b.      Thoriqot, adalah tata cara dalam melaksanakan syari’at yang telah digariskan dalam agama  dan dilakukan hanya karena penghambaan diri kepada Allah. Dengan kata lain ini merupakan pelaksanaan.
c.       Hakekat, adalah aspek lain dari syari’ah yang bersifat lahiriyah, yaitu aspek bathiniyah. Dapat juga diartikan sebagai rahasia yang paling dalam dalam dari segala amal atau inti syari’ah. Dengan kata lain ini merupakan keadaan yang sebenarnya atau kebenaran sejati.
d.      Ma’rifat, adalah pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati (qalb). Dengan kata lain ini merupakan pengenalan Tuhan dari dekat.[13]
Sedangkan untuk berada dekat pada Allah SWT, seorang sufi harus menempuh jalan panjang yang berisi station-station yang disebut dengan maqamat. Beberapa urutan maqamat yang disebutkan oleh Harun Nasution adalah; taubat, zuhud, sabar, tawakal, dan rida’. Di atas maqamat ini ada lagi; mahabbah, ma’rifat, fana’ baqa’, serta ittihad.[14] Selain istilah maqamat, ada juga istilah ahwal yang merupakan kondisi mental. Dalam hal ini ada beberapa tingkah yang sudah mashur, yaitu; khauf, raja’, syauq, uns, dan yaqin.[15]
3.      Tasawuf Falsafi
Adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dengan visi rasional. Hal ini berbeda dengan tasawuf akhlaki dan amali, yang masih berada pada ruang lingkup tasawuf suni seperti tasawufnya al-Ghazali, tasawuf ini menggunakan terminologi falsafi dalam pengungkapan ajarannya. Ciri umum tasawuf falsafi adalah kesamaran-kesamaran ajarannya yang diakibatkan banyaknya ungkapan dan peristilahan khusus  yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang memahami ajaran tasawuf jenis ini. Kemudian tasawuf ini tidak dapat dipandang sebagai filsafat, karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa (dzauq). Beberapa paham tipe ini antara lain adalah; fana’ dan baqa’, ittihad, hulul, wahdah al-wujud, dan isyraq. [16]

IV.             Peran Teori Sufistik dalam Pendidikan
 Tingkat pemahaman sesorang tentang Tuhan, juga menentukan tingkat kecerdasan secara spritual terhadap Tuhan. Dalam diri manusia itu sendiri ada berbagai kecerdasan yang menyangkut hal-hal seperti keilmuan, spritualitas, kejiwaan, ekonomi sosial. Tingkat kecerdasan ini, juga tidak selalu dilambangkan Kualitas pemahaman kita atas sesuatu hal, menentukan tingkat kecerdasan kita pada hal tersebut dengan kejeniusan otak atau kemampuan menganalisa sesuatu, karena ia melibatkan kedalaman hati (deep insight), pemahaman, dan kearifan.
Tujuan dari penciptaan manusia oleh Allah swt. adalah sebagai ‘abd (hamba) dan sekaligus khalifah (pemimpin) di muka bumi, yang di dalamnya terdapat berbagai persoalan hidup yang harus dihadapi. Akan tetapi berbagai permasalah kehidupan akan dapat dengan mudah diatasi apabila ada kedekatan seseorang dengan-Nya. Dalam hal ini, pengembangan kepribadian dapat dilakukan dalam proses pencapaian qalbun salim, karena Allah swt. hanya dapat dekat dengan hati yang jernih. Dalam proses pencapaian qalbun salim inilah, diperlukan pendidikan yang responsif terhadap pengembangan hati nurani.[17] Maka pendekatan sufistiklah yang mampu memerankan sebagai pendidikan yang memperhatikan terhadap aspek ruhani.
Dalam buku “Pendidikan Islam dari Paradigma Klasik hingga Kontemporer” yang mengambil dari buku “psikologi sufi” menyebutkan bahwa perspektif para sufi mengatakan hakikat realitas adalah spiritual karena segala sesuatu berasal dari sang pencipta. Dalam hal ini, ada hubungan paralel yang dapat dijelaskan lebih spesifik antara realitas makrokosmos dan mikrokosmos, yaitu; dalam dunia makrokosmos terdapat tingkatan-tingkatan realitas (alam materi, alam nasut, alam malakut, alam jabarut, dan alam lahut). Sedangkan dalam dunia mikrokosmos (diir manusia) juga terdapat lapisan-lapisan (lapisan fisikal, nafs, qalb, ruh, kesadaran batin, dan kesadaran batin terdalam). Beberapa lapisan tersebut harus dilalui oleh jiwa manusia untuk mencapai kesempurnaan (kedekatan dengan Allah swt.).
Sedangkan dalam ilmu pengetahuan modern memandang hakikat realitas adalah material. Teori modern mengatakan bahwa dunia yang dapat dikaji adalah dunia yang secara valid hanyalah realitas objektif (alam materi/ lapis fisikal atau yang memiliki sifat kebendaan). Dalam hal ini, dapat dikatakan dengan sudut pandang yang sangat dangkal, karena pada hakikatnya bahwa realitas itu memiliki multi aspek, baik aspek indrawi maupun supra indrawi.[18] Dengan demikian, perlu adanya keseimbangan antara aspek material yang sangat rasional dengan aspek spiritual yang irasional, dengan tujuan akhir maju dalam ilmu pengetahuan modern dengan tetap membawa tanggung jawab sebagai hamba Allah swt.


V.      Paradigma Pendidikan Sufistik dalam Pendidikan Islam
Pada hakikatnya, tujuan pendidikan Islam adalah membina umat manusia agar dapat menjadi manusia yang sempurna (insan kamil). Hal ini dimaksudkan agar manusia dapat terhindar dari bebagai macam belenggu kehidupan manusia, dan mencapai kebahagiaan dalam kehidupan akhirat. Akan tetapi tujuan ideal tersebut masih jauh dari harapan, dengan disebabkan adanya beberapa hal yang salah satu diantaranya adalah pendidikan Islam yang masih mengedepankan pola hidup yang lebih dekat hubungannya dengan Tuhan dan mengesampingkan adanya sisi kehidupan dunia, sehingga seseorang akan menjadi makhluk yang gagap dengan teknologi.[19] Gambaran seseorang dalam hal ini dapat dikatakan bahwa terlahir orang-orang yang dapat merasakan dengan hatinya, akan tetapi dia tidak cermat dalam memanfaatkan rasionya. Maka dalam hal ini sangatlah diperlukan suatu langkah pendidikan yang memperhatikan potensi rasa dan rasio.
Selain itu, di lain sisi yang berhubungan dengan zaman modern juga terdapat ilmu pengetahuan yang kering dari cita rasa, yang dapat dilihat dari banyak terjadinya dekadensi kehidupan, emosi, dan moral. Hal ini menjadikan lenyapnya kekayaan ruhaniyah yang dapat digunakan sebagai alat untuk memperkokoh derajat mulia manusia di bumi ini.[20] Maka dalam dunia pendidikan dan khususnya pendidikan Islam sangat diperlukan sebuah pemikiran ke arah integrasi antara ilmu pengetahuan dengan agama yaitu agama yang didekati dengan pandangan sufistik, yang dimaksudkan sebagai langkah menjadikan peserta didik seorang yang pandai dan penuh tanggung jawab terhadap Allah swt.
Dalam hal ini, muncul pandangan untuk dilakukannya rekonstruksi paradigma pendidikan ke arah sufistik-alternatif, yaitu sebagai berikut:
1.      Landasan Filosofi, kehidupan manusia pada hakikatnya adalah menuju dan mendekatkan diri kepada Allah swt., dan Dia hanya dapat didekati dengan pribadi yang berhati jernih. Hati yang jernih dapat dicapai melalui riyadlah, yang pada akhirnya seseorang dapat mencapai kesempurnaan sebagai manusia.
2.      Proses Pendidikan, berdasar pada landasan filosofis di atas, proses pendidikan diharapkan mampu membuka pintu kesadaran manusia untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah swt., dan dalam proses pendidikan tidak hanya memperdulikan terhadap pengembangan pada dimensi fisik, tetapi juga memperhatikan dimensi non fisik. Sehingga ada keseimbangan antara rasa dan rasio, serta ada pemahaman konsep-konsep maqamat secara tepat.[21]

VI.             Pola Pendekatan Sufistik dalam Pendidikan Agama Islam
Upaya penanaman nilai-nilai keagamaan berbasis kesadaran ketuhanan (pendidikan sufistik) bisa ditempuh melalui tiga cara:[22](1) Penanaman nilai secara bertahap, dari inderawi sampai ke rasional, dari parsial sampai universal. (2)  Penerapan jiwa khusyu’, taqwa, dan ibadah. Cara ini disadari sulit untuk dilaksanakan, tetapi bila anak sudah diberi peringatan, ia akan berubah karakternya. (3) Penyadaran akan pengawasan Allah SWT terhadap setiap tingkah laku dan situasi melalui latihan dan keyakinan.

Adapun metode pendidikan sufistik menurut Munir Mulkhan adalah: (1) Kegiatan pembelajaran dimulai dengan usaha agar peserta didik mendefinisikan siapa dirinya, apa yang akan dipilih, dan menyadari resiko yang akan dihadapi dengan pilihannya itu. Berikutnya, peserta didik menyusun sendiri konsep tentang kebenaran dan kebaikan menurut pandangannya sehingga bisa menjadi miliknya sendiri. Dari sini diharapkan bisa berkembang kepekaan sosial dalam kesediaan berbagi rasa dengan orang lain. Selanjutnya akan tumbuh kecerdasan yang utuh dan bulat sebagai dasar baginya dalam melatih intuisi dan imaginasi ketuhanannya, serta melatih kemampuan kecerdasan rasionalnya.[23] (2) Metode pembelajaran berorientasi penciptaan situasi belajar ketuhanan. Dari sini diharapkan peserta didik bisa menjalani proses kreatifnya sendiri dalam ber-Tuhan dan ber-Islam. Dari sini peserta didik bisa menemukan sendiri dan menyadari kehadiran Tuhan dalam kelas atau kehidupan sehari-hari. Kesadaran personal seperti itu adalah kunci utama proses pembelajaran bagi penumbuhan daya kreatif yang bebas dan mandiri dari setiap peserta didik. Harapannya,  peserta didik terus berusaha menyempurnakan pengetahuan tentang ajaran Tuhan dan pemenuhannya sehingga menjadi kaffah baik selama proses pembelajaran dalam kelas atau diluar lingkungan sekolah dan dalam kehidupan sosial usai sekolahnya nanti.[24](3) Melibatkan peserta didik di setiap proses berpengetahuan melalui studi alam dan kemanusiaan. Tujuan utamanya adalah agar peseta didik menemukan dan mengenal sendiri Tuhan.[25](4) Praktikum ritual dan pelatihan akhlak terprogram. Sesuai ajaran agama meliputi iman, akhlak, dan ibadah, lebih strategis jika pendidikan agama difokuskan pada pengayaan pengalaman ketuhanan (iman), ritual (ibadah), dan akhlak, bukan hanya ilmu. Pengayaan pengalaman ritual bisa ditempuh melalui Pengayaan pengalaman ketuhanan melalui studi sejarah tentang kisah-kisah sukses dan gagal dari kehidupan sehari-hari atau sejarah bangsa-bangsa didunia. Selain itu juga melalui studi fisika, biologi, kimia yang difokuskan pada kehebatan Tuhan menciptakan alam dan seluruh makhluk hidup daritingkatan paling rendah hingga energi dan manusia[26]
Pendidikan sufistik yang berbasis kesadaran ilahiah juga sebagai landasan semua dimensi perilaku peserta didik dalam hubungan sosial.[27] Untuk merealisasikan tataran sosial tersebut terdapat beberapa cara: (1) Penanaman dasar-dasar kejiwaan yang mulia berupa; (a) Ketakwaan pada Allah SWT sebagai hasil hakiki dan alami dari emosi iman yang menjadi benteng guna menangkal kehendak perbuatan jahat. (b) Persaudaraan (ukhuwwah) yang bisa melahirkan sikap positif untuk saling menolong dan tidak mementingkan diri sendiri. (c) Kasih sayang terhadap sesama manusia yang merupakan kepekaan untuk bisa merasa senasib sepenanggungan terhadap problem orang lain. (d) Toleran, berani membela, dan menyatakan kebenaran serta tidak egois yang berpengaruh penting bagi integritas dan solidaritas serta kebaikan manusia.
(2) Pemeliharaan hak orang lain dengan dasar kejiwaan yang mulia. Dasar-dasar kejiwaan itu merupakan ruh dari fenomena dalam berinteraksi dengan orang lain yang bersumber dari spirit kejiwaan itu. Hak orang lain meliputi: (a) Hak orang tua untuk ditaati segala perintahnya yang baik yang menjadi pangkal tolak segala hak kemasyarakatan. (b) Hak kerabat untuk selalu mendapat jalinan persaudaraan dengan jalan silaturahmi yang dapat mendorong anak untuk cinta kepada kerabat. (c)Hak tetangga mendapatkan rasa aman dan ketentraman supaya dalam diri anak bisa tumbuh  semangat memperhatikan orang lain sehingga menjadi insane sosial yang tidak mengisolasi diri.  (d) Hak guru untuk memperoleh penghormatan akan kemuliaannya yang merupakan kewajiban seorang murid.(e) Hak teman sebagai mitra dalam pergaulan dan berinteraksi yang darinya dapat dikenali watak seseorang. (f) Hak orang dewasa mendapatkan perlakuan yang sopan yang termasuk indikator keikhlasan dan loyalitas terhadap agama.
(3) Disiplin etika sosial supaya anak dapat menangkap esensi problematika dalam pergaulan dimasyarakat dengan kebaikan dan cinta kasih dan budi luhur. Karena itu, disiplin etika sosial menjadi dasar pendidikan yang sebenarnya. Keberhasilannya pun berkaitan erat dengan penanaman dasar kejiwaan. Islam meletakkan system pendidikan itu untuk membentuk akhlak anak, mempersiapkan tingkah laku dan sikap sosialnya yang disebut etika sosial. Dengan bekal itu, diharapkan seorang anak dalam pergaulannya bisa bersikap dan berperilaku secara bijak seperti orang dewasa. Disiplin etika itu meliputi: etika makan dan minum, memberi salam, meminta izin masuk rumah, duduk dalam pertemuan, berbicara, bergurau, memberikan ucapan selamat, menjenguk orang sakit, melawat kematian, bersin, dan menguap. Semua diatur secara terinci guna merealisasikan akhlak yang diajarkan islam untuk dilaksanakan semua orang dalam segala jenis, tingkatan dan statusnya. Meski ajaran etika ini diberikan Nabi Muhammad pada zaman dahulu, nilai-nilai moralnya tetap relevan untuk dilaksanakan pada masa kini dan datang. Disiplin etika menunjukkan bahwa islam merupakan agama sosial  yang datang untuk memperbaiki masyarakat manusia.
(4) Kontrol dan kritik sosial itu menjadi sarana dalam mewujudkan prinsip amar ma’ruf nahi munkar. Prinsip ini oleh Qardlawi dipandang sebagai pendidikan politik yang menjadi inti dari pendidikan sosial.[28]Tujuannya untuk memberikan kesadaran sosial kepada anak. Karena itu, control dan kritik ini menjadi dasar pokok ajaran islam guna mengawasi dan memerangi kejahatan, dekadensi moral, kezaliman dan memelihara nilai, idealisme dan moralitas islam. Oleh karena itu, kontrol dan kritik ini harus memperhatikan prinsip bahwa:
a.    Kontrol pendapat umum merupakan tugas sosial yang tak kenal kompromi sehingga semua orang harus melaksanakan kegiatan ini. Dengan tugas sosial ini diharapkan akidah dan moralitas umat bisa tetap eksis sehingga menjadi kenyataan dan selalu terhindar dari perilaku zalim.
b.    Pelaksanaannya harus bertahap, sesuai kesepakatan ulama, kebal terhadap cercaan dan berwawasan luas. Untuk itu pendidik harus mengetahui perilaku, akhlak, dan emosi anak guna membentuk pribadi muslim menuju martabat yang tinggi.
c.     Selalu mengenang ulama termasuk faktor yang memantapkan peribadi muslim dalam menumbuhkan keberanian dan wibawa dalam mengontrol pendapat umum dan mewujudkan sikap tegas dalam melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. Kemenangan sejarah masa lalu itu bisa menjadi dorongan untuk berani maju dalam menumpas pembangkang yang dengan sengaja tidak memelihara kehormatan islam dan tidak menghargai moral yang luhur.[29]
Dengan demikian, pendidikan nilai sosial itu diarahkan  untuk membentuk kepribadian sehingga terbentuk masyarakat yang damai dan tenteram. Masyarakat seperti itu menjadi tujuan pendidikan islam. Mereka adalah manusia yang sesuai dengan eksistensi sebagai manusia beradab yang akhirnya membetuk masyarakat ideal.
Nasih Ulwan berpendapat, Cara atau metode dalam menyampaikan nilai-nilai pendidikan islam bisa diklasifikasi menjadi lima macam.[30]
1.      Keteladanan
Metode ini sangat efektif dalam mempersiapkan dan membentuk moral, spiritual, dan sosial, sebab guru menjadi contoh ideal bagi anak. Semua tingkah laku, sikap dan ucapan akan melekat pada diri dan perasaan anak. Ini menjadi faktor penentu keberhasilannya. Dengan keteladanan ini akan menjadi imitasi dan di ikuti dengan identifikasi nilai-nilai kebaikan untuk dipilih dan dilakukan. Metode ini memiliki nilai persuasif sehingga tanpa disadari akan bisa terjadi perembesan dan penularan nilai-nilai kebaikan. Metode keteladanan ini bisa dilaksanakan melalui pelajaran agama dan pendidikan moral atau yang lain. Sehingga perlu peningkatan kualitas atau performance yang memiliki nilai islam.


2.      Kebiasaan
Manusia meiliki potensi baik dan buruk. Bila lingkungannya baik dia akan menjadi baik, begitu pula sebaliknya. Karena itu, dalam pendidikan perlu ada praktik nyata dalam dilakukan oleh anak sehingga menjadi kebiasaan yang pola sikap dan perilaku sehari-hari. Asy-Syaibani memandang metode pembiasaan ini mencakup juga tujuan pendidikan nilai itu sendiri,[31]sebab kebiasaan anak yang berupa bentukan sikap diri itu juga menjadi salah satu tujaun pendidikan itu sendiri. Meskipun demikian, pembiasaan itu bisa dilaksanakan jika anak segan terhadap orang lain yang dihormati dan ditaati perintahnya.
3.      Nasihat
Keperluan metode ini adalah karena dalam kenyataan tidak semua orang bisa menangkap nilai-nilai kebaikan dan keburukan yang telah menjadi kebiasaan dan keteladanan. Karena itu, dalam upaya menanamkan nilai itu diperlukan pengarahan atau nasihat yang berfungsi untuk menunjukkan kebaikan dan keburukan. Dalam metode ini bisa memungkinkan terjadinya dialog sebagai usaha mengerti sistem nilai yang dinasihatkan. Nasihat berperan dalam menunjukkan nilai kebaikan untuk selanjutnya diikuti dan dilaksanakan serta menunjukkan nilai kejahatan untuk dijauhi. Karena persoalan nilai merupakan realitas kompleks dan bukan hasil kreativitas yang tertutup dan berdikari, pemberian nasihat itu sama halnya menjadi proses sosialisasi.
4.      Pengawasan
Metode ini dilaksanakan dengan cara mendampingi anak dalam membentuk nilai psikis dan sosial. Pengawasan ini berperan mengetahui perkembangan atau kebiasaan anak supaya diketahui penyimpangan yang harus diluruskan. Bila metode pengawasan ini tidak dilaksanakan, berarti di dunia pendidikan telah memberi peluang kepada anak untuk berbuat semaunya tanpa mempertimbangkan nilai baik dan buruknya. Peranan pengawasan ini sangat dominan dalam membentuk kepribadian mulia pada diri anak yang menjadi tujuan dari pendidikan sendiri.
5.      Hukuman
Dasar penggunaan metode ini adalah adanya potensi membangkang dalam diri manusia untuk melakukan kejahatan. Pembangkangan terhadap kejahatan ini berlanjut terus-menerus meski telah diberi nasihat. Karena itu, perlu hukuman atau sanksi sesuai dengan kadar kejahatan yang diperbuatnya. Dengan sanksi itu anak diharapkan bisa tumbuh kesadaran untuk meninggalkan kejahatan yang diperbuatnya. Dengan sanksi itu anak diharapkan bisa tumbuh kesadaran untuk meninggalkan kejahatan dan kembali ke jalan yang benar sesuai dengan nilai-nilai ajaran islam. Ibnu Maskawih menyatakan bahwa hukuman itu perlu dilaksanakan supaya anak terbiasa menjalankan hidup beragama.
Pengulangan dan pelaksanaan pendidikan nilai akan menjadi penghayatan, dengan syarat : 1) Nilai harus memiliki teladan yang menjadi tempat melekatnya nilai itu, 2) Teladan itu harus berupa manusia biasa yang dengan kekurangannya bisa menjadi model, dan 3) Semua guru menjadi pengajar nilai sebab semua memiliki pengaruh terhadap terwujudnya nilai itu.
Jadi, pendidikan sufistik dimaksud disini adalah integrasi antara iman, ilmu dan realisasi amal. Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa ilmu yang utama adalah ilmu yang dilahirkan dari dorongan iman, iman yang dimaksud disini adalah iman yang memiliki kepekaan dan sekaligus kekuatan untuk memahami dan berbuat. Selain itu, ilmu yang utama adalah ilmu yang membuahkan amal sebagai karya nyata kehidupan yang diabdikan untuk kemaslahatan manusia dalam bentuk amal saleh dan penghambaan diri kepada Tuhan. Sementara amal itu sendiri merupakan proses aktualisasi diri manusia dalam membangun budaya islami, memajukan peradaban, memcahkan problem kehidupan, dan meneguhkan eksistensi harkat kemanusiaan sebagai hamba dan khalifah-Nya.

VII.          Kesimpulan
Ada beberapa hal yang menjadi kesimpulan penulis dari beberapa penjelasan di atas, di antaranya adalah:
1.      Pendekatan sufistik dalam pembelajaran pendidikan agama islam dapat dilakukan melalui riyadloh (latihan-latihan jiwa) secara bertahap dengan memperhatikan keadaan peserta didik, ini dilakukan sebagai langkah menuju kesempurnaan (kedekatan dengan Allah swt.).
2.      Proses riyadloh dapat dilakukan dengan cara melaksanakan beberapa materi dalam pembelajaran sufistik, yang mencakup tasawuf akhlaqi, tasawuf amali, dan tasawuf falsafi.
3.        Pendidikan sufistika merupakan integrasi antara iman, ilmu dan realisasi amal. Ilmu yang utama adalah ilmu yang lahir dari dorongan iman.


DAFTAR PUSTAKA
Abdul Munir Mulkhan, Satu Tuhan Seribu Tafsir, (Yogyakarta: Kanisius, 2007)
Abdullah Nasih Ulwan, Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam, (Beirut: dar al-Salam, 1981), cet II.
 Abdullah Nasih Ulwan, Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam, (Beirut: dar al-Salam, 1981), cet II.
Dakir dan Sardimi, Pendidikan Islam dan ESQ (Komparasi-Integrasi Upaya Menuju Stadium Insan Kamil (Semarang: RaSAIL Media Group, 2011)
John P. Miller, oleh Abdul Munir Mukhan, Cerdas di Kelas Sekolah Kepribadian: Rangkuman Model Pengembangan Kepribadian dalam Pendidikan Berbasis Kelas, (Yogyakarta: Kreasi Wacana)
Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibany, Filsafat Pendidikan Islam, terj. Hasan Laguulung (Jakarta: Bulan Bintang, 1979)
Yusuf Qardlawi, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al-Banna, terj. Bustami Abdul Gani (Jakarta: Bulan Bintang, 1980)
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Cet. III; Jakarta: PT. Raja Grafindio Persada, 1999)
Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002).
Dakir dan Sardimi, Pendidikan Islam dan ESQ (Komparasi-Integrasi Upaya Menuju Stadium Insan Kamil (Semarang: RaSAIL Media Group, 2011).
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet. III; Jakarta: Balai Pustaka, 1994)
Hilyah al-Auliya’ (Maktabah Syamilah), juz. 10
Muhammad Abdul Haq Ansari, Antara Sufisme Dan Syari’ah (Jakarta: CV. Rajawali, 1990).
Nasution, Harun., Filsafat dan Mistisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1973).
Sunan at-Tirmidzi (Maktabah Syamilah), juz. 11
Supiana dan M. Karman, Materi Pendidikan Agama Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009). 
Tim Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki, Pendidikan Islam dari Paradigma Klasik hingga Kontemporer (Malang: UIN-Malang Press: Malang, 2009).
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Bandung: Citra Umbara, 2010).



[1] Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Bandung: Citra Umbara, 2010), Cet II. Hlm. 2.
[2] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet. III; Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hlm. 625
[3] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Cet. III; Jakarta: PT. Raja Grafindio Persada, 1999), hlm. 88.
[4] Supiana dan M. Karman, Materi Pendidikan Agama Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), Cet. IV, hlm. 218. 
[5] Supiana dan M. Karman, Ibid.
[6] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm. 56.
[7] Muhammad Abdul Haq Ansari, Antara Sufisme Dan Syari’ah (Jakarta: CV. Rajawali, 1990), hal. 207.
[8] Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 67.
[9] Asmaran, hlm. 68.
[10] Asmaran, hlm. 71.
[11] Asmaran, hlm. 73.
[12] Asmaran, hlm. 76-90.
[13] Asmaran, hlm. 95-104.
[14] Asmaran, hlm. 109.
[15] Asmaran, hlm. 140-149.
[16] Asmaran, hlm. 153-177.
[17] Tim Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki, Pendidikan Islam dari Paradigma Klasik hingga Kontemporer (Malang: UIN-Malang Press: Malang, 2009), hlm. 26.
[18] Tim Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki, Ibid.
[19] Dakir dan Sardimi, Pendidikan Islam dan ESQ (Komparasi-Integrasi Upaya Menuju Stadium Insan Kamil (Semarang: RaSAIL Media Group, 2011), hlm. 233-234.
[20] Tim Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki, hlm. 28.
[21] Tim Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki, hlm. 28-29.
[22] Abdullah Nasih Ulwan, Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam, (Beirut: dar al-Salam, 1981), cet II. Hlm. 163-172.
[23] John P. Miller, oleh Abdul Munir Mukhan, Cerdas di Kelas Sekolah Kepribadian: Rangkuman Model Pengembangan Kepribadian dalam Pendidikan Berbasis Kelas, (Yogyakarta: Kreasi Wacana), hlm. 25.
[24] Abdul Munir Mulkhan, Satu Tuhan Seribu Tafsir, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hlm. 79
[25] Ibid, hlm. 79.




[28] Yusuf Qardlawi, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al-Banna, terj. Bustami Abdul Gani (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hlm. 80.
[29] Yusuf Qardlawi, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al-Banna, terj. Bustami Abdul Gani (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hlm. 359-509.
[30] Abdullah Nasih Ulwan, Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam, (Beirut: dar al-Salam, 1981), cet II. Hlm. 542.
[31] Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibany, Filsafat Pendidikan Islam, terj. Hasan Laguulung (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 585


2 komentar:

Unknown mengatakan...

alchamdulillaah,,, nyuwun share njiih... :D

saepudin mengatakan...

izin mengutif, sebagai tambahan referensi...
semoga semakin diberkahi...

Posting Komentar