Ach. Sayyid, S.Pd.I
Pendahuluan
Kurikulum dan pendidikan merupakan dua
konsep yang harus dipahami terlebih dahulu sebelum membahas mengenai
pengembangan kurikulum. Sebab, dengan pemahaman yang jelas
atas kedua konsep tersebut diharapkan para pengelola pendidikan, terutama
pelaksana kurikulum, mampu melaksanakan
tugasnya dengan sebaik-baiknya. Kurikulum dan Pendidikan bagaikan
dua keping uang, antara yang satu dengan yang lainnya saling berhubungan dan
tak bisa terpisahkan.
Secara
kodrati, manusia sejak lahir telah mempunyai potensi dasar (fit}rah)[1]
yang harus ditumbuhkembangkan agar fungsional bagi kehidupannya di
kemudian hari. Untuk itu, aktualisasi terhadap potensi
tersebut dapat dilakukan usaha-usaha yang disengaja dan secara sadar
agar mencapai pertumbuhan dan perkembangan secara optimal.[2]
Pendidikan,
sebagai usaha dan kegiatan manusia dewasa terhadap manusia yang belum dewasa,
bertujuan untuk menggali potensi-potensi tersebut agar menjadi aktual dan dapat dikembangkan.[3]
Dengan begitu, pendidikan adalah alat untuk memberikan rangsangan agar potensi
manusia tersebut berkembang sesuai dengan apa yang diharapkan. Dengan berkembangnya
potensi-potensi itulah manusia akan menjadi manusia dalam arti yang sebenaruya.
Di sinilah, pendidikan sering diartikan sebagai upaya manusia untuk
memanusiakan manusia. Sehingga mampu memenuhi
tugasnya sebagai manusia dan menjadi warga negara yang berarti bagi suatu negara
dan bangsa.[4]
Pendidikan
dapat terjadi melalui interaksi manusia dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik
maupun sosial. Proses interaksi tersebut akan berlangsung dan dialami manusia
selama hidupnya. Interaksi manusia dalam lingkungan
sosialnya menempatkan manusia sebagai mahluk sosial. Yakni, makhluk yang
saling memerlukan, saling bergantung, dan saling membutuhkan satu
sama lain, termasuk ketergantungan dalam hal pendidikan. Di samping itu,
manusia sebagai makhluk sosial terikat dengan
sistem sosial yang lebih luas.[5]
Sekolah,
sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, tidak dapat dipisahkan dari
sistem kehidupan sosial yang lebih luas. Artinya,
sekolah itu harus mampu mendukung terhadap kehidupan masyarakat Indonesia
yang lebih baik. Dalam pendidikan sekolah, pelaksanaan pendidikan
diatur secara bertahap atau mempunyai tingkatan tertentu. Dalam sistem
pendidikan nasional, jenjang pendidikan
dibagi menjadi pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan
tinggi. Masing-masing tingkatan itu mempunyai tujuan yang dikenal dengan tujuan institusional
atau tujuan kelembagaan, yakni tujuan yang harus dicapai oleh setiap jenjang lembaga
pendidikan sekolah. Semua tujuan institusi tersebut merupakan penunjang
terhadap tercapainya tujuan pendidikan nasional.
Saat
ini pemerintah melalui Kemendikbud mengamanatkan kepada seluruh institusional
kelembagaan pendidikan untuk mentrapkan pendidikan berbasis karakter,[6]
Dewasa ini berkembang tuntutan untuk perubahan kurikulum pendidikan yang
mengedepankan perlunya membangun karakter bangsa. Hal ini didasarkan pada fakta
dan persepsi masyarakat tentang menurunnya kualitas sikap dan moral anak-anak
atau generasi muda.
Pada
saat ini yang diperlukan adalah kurikulum pendidikan yang berbasis karakter;
dalam arti kurikulum itu sendiri memiliki karakter, dan sekaligus
diorientasikan bagi pembentukan karakter peserta didik. Perbaikan kurikulum
merupakan bagian tak terpisahkan dari kurikulum itu sendiri (inherent), bahwa
suatu kurikulum yang berlaku harus secara terus-menerus dilakukan peningkatan
dengan mengadopsi kebutuhan yang berkembang dalam masyarakat dan kebutuhan
peserta didik, guna meminimalisir
tingkat kriminallitas yang tak jarang lagi hal ini terjadi pada anak bangsa
yang tergolong masih remaja. Usaha pemerintah ini terbukti dengan merancang munculnya “Kurikulum 2013” yang
saat ini masih menjadi bahan uji coba public akan kelayakan kurikulum tersebut.
Dengan
adanya deskripsi diatas, penulis mencoba untuk menganalisa kurikulum 2013 tersebut
dengan pendekatan beberapa teori dan Mazhab-mazhab filsafat pendidikan seperti; Idealisme,
Realisme, Materialisme, Pragmatisme, Eksistensialisme, Progresivisme,
Perenialisme, Esensialisme, dan Rekonstruksionalisme.
Konsep Kurikulum 2013
Konsep kurikulum 2013 berkembang sejalan
dengan perkembangan teori dan praktik pendidikan, juga bervariasi sesuai
dengan aliran atau teori pendidikan yang dianutnya. Yang perlu
mendapatkan penjelasan dalam teori kurikulum adalah konsep kurikulum. Berbicara
konsep kurikulum baru 2013 sebenarnya
dapat dianggap tidak membawa sesuatu yang baru. Konsep kurikulum baru ini
dinilai sudah pernah muncul dalam kurikulum yang dulu pernah digunakan.
Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi Golkar,
Ferdiansyah, mengatakan bahwa konsep proses pembelajaran yang mendorong agar
siswa aktif dalam kegiatan belajar mengajar ini sebenarnya sudah diterapkan
pada puluhan tahun silam dengan nama Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA).
.Namun tinjauan penulis terkait konsepsi
kurikulum, stidaknya Ada tiga konsep tentang
kurikulum 2013, kurikulum sebagai substansi, sebagai sistem, dan sebagai bidang
studi.[7]
Konsep pertama,
kurikulum sebagai suatu substansi. Kurikulum dipandang sebagai suatu rencana
kegiatan belajar bagi murid-murid di sekolah, atau sebagai suatu perangkat
tujuan yang ingin dicapai. Suatu kurikulum juga dapat menunjuk
kepada suatu dokumen yang berisi rumusan tentang tujuan, bahan ajar,
kegiatan belajar-mengajar, jadwal, dan evaluasi. Suatu kurikulum juga
dapat digambarkan sebagai dokumen tertulis sebagai hasil persetujuan bersama
antara para penyusun kurikulum dan pemegang
kebijaksanaan pendidikan dengan masyarakat. Suatu kurikulum juga dapat mencakup
lingkup tertentu, suatu sekolah, suatu kabupaten, propinsi, ataupun
seluruh negara. Konsep ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan konsep
kurikulum sebelumnya, namun dalam kurikulum 2013 ini lebih bertumpu kepada
kualitas guru sebagai implementator di lapangan. Pendapat ini mengemuka dalam
diskusi tentang Kurikulum 2013 yang diinisiasi Perhimpunan Pelajar Indonesia
(PPI) Belanda, di Utrecht, Belanda, beberapa waktu lalu.
"Kualitas
guru perlu diperhatikan, dan guru juga tidak boleh menjadi pribadi yang malas
dan berhenti belajar," demikian dilansir situs PPI Belanda, Senin
(7/1/2013).
Menurut
peserta diskusi, yakni pelajar dan masyarakat Indonesia di Utrecht, Belanda,
sistem pendidikan perlu harus mencegah terjadinya kemalasan guru akibat yang
bersangkutan telah mendapatkan sertifikasi. Mereka menilai, alangkah baiknya
jika sertifikasi guru tidak dibuat untuk seumur hidup, tetapi diperbaharui
secara berkala layaknya surat izin
mengemudi (SIM). Dengan begitu, guru selalu terpacu untuk meningkatkan
kualitasnya secara berkala.
Satu
poin positif yang disampaikan peserta diskusi adalah langkah pemerintah yang
berencana membuat kembali buku panduan utama (babon) bagi siswa dan pedoman
pengajaran bagi guru dinilai tepat. Mereka menyarankan, buku ini juga berisi
tautan elektronik (link) tentang beragam pengetahuan tambahan yang bisa
didapatkan guru dan siswa dari internet.[8]
Konsep kedua, adalah kurikulum 2013 sebagai
suatu sistem, yaitu sistem kurikulum. Sistem kurikulum merupakan bagian dari sistem
persekolahan, sistem pendidikan, bahkan sistem masyarakat. Suatu sistem
kurikulum mencakup struktur personalia, dan prosedur kerja bagaimana cara
menyusun suatu kurikulum, melaksanakan, mengevaluasi, dan menyempurnakannya.
Hasil dari
suatu sistem kurikulum adalah tersusunnya suatu kurikulum, dan fungsi dari
sistem kurikulum adalah bagaimana memelihara
kurikulum agar tetap danamis.
Konsep
ini juga dapat dipastikan mengalami prubahan dari konsep kurikulum yang
sebelumnya, sebab wacana pergantian kurikulum dalam sistem pendidikan memang
merupakan hal yang wajar, mengingat perkembangan alam manusia terus mengalami
perubahan. Namun, dalam menentukan sistem yang baru diharapakan para pembuat
kebijakan jangan asal main rubah saja, melainkan harus menentukan terlebih
dahulu kerangka, konsep dasar maupun landasan filosofis yang mengaturnya.
Konsep ketiga,
kurikulum sebagai suatu bidang studi yaitu bidang studi kurikulum. Ini merupakan
bidang kajian para ahli kurikulum dan ahli pendidikan dan pengajaran. Tujuan kurikulum
sebagai bidang studi adalah mengembangkan ilmu tentang kurikulum dan sistem kurikulum.
Mereka yang mendalami bidang kurikulum, mempelajari konsep-konsep dasar tentang
kurikulum. Melalui studi kepustakaan dan berbagai kegiatan penelitian dan
percobaan, mereka menemukan hal-hal baru yang dapat
memperkaya dan memperkuat bidang studi kurikulum.[9]
Berubahnya
kurikulum KTSP ke kurikulum 2013 ini merupakan salah satu upaya untuk
memperbaharui setelah dilakukannya penelitian untuk pengembangan kurikulum
sesuai dengan kebutuhan anak bangsa dan atau generasi muda.
Anailisis Kurikulum 2013
Kurikulum 2013 adalah nama baru dari
berbagai nama atau istilah yang disandangkan pada kurikulum sebelum-sebelumnya,
istilah baru ini tentunya merupakan upaya pemerhati ahli terhadap kurikulum
untuk kemajuan dan kebutuhan dimasa mendatang. Sebagai alasan mengapa kurikulum
harus berubah adalah, untuk
mempersiapkan generasi sekarang agar mampu menjawab tantangan masa depan Indonesia.
Tuntutan masa depan berubah-ubah, maka kita perlu menyesuaikan kurikulum
pendidikan kita.
Mengapa harus berubah? Berangkat dari sebuah pertanyaan ini, maka
setidaknya ada empat poin yang ingin
penulis tawarkan pada analisis kurikulum ini, sebagai jawaban dari pertanyaan
mendasar yang ada dimuka:
a.
Kurikulum 2013
harus perlu berubah untuk mempersiapkan generasi sekarang agar mampu menjawab
tantangan masa depan Indonesia. Tuntutan masa depan berubah,[10]
maka kita perlu menyesuaikan kurikulum pendidikan kita.
b.
Substansi
perubahan kurikulum 2013 adalah perubahan pada: Standar Kompetensi Lulusan,
Standar Isi (kompetensi inti dan kompetensi dasar), Standar Proses, dan Standar
Penilaian.[11]
c.
Menurut Pak
Wamen Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Pendidikan Musliar Kasim Perubahan
kurikulum merupakan keharusan. Kualitas pendidikan Indonesia sudah sangat jauh
tertinggal dibandingkan dengan negara lain.[12]
Perubahan
kurikulum ini untuk mengatasi ketertinggalan Indonesia. ”Jika penerapan
kurikulum ditunda, akan lebih lama kita mengejar ketertinggalan dari negara
lain.
d.
Dengan kurikulum
baru diharapkan menghasilkan lulusan dengan kompetensi tinggi dan berpikir
analitis.
Berikut ini sebagai saran atau keritk kepada perencana atau
pemerintah kaitannya dengan kurikulum 2013; Pertama, Mengapa
kompetensi anak-didik kita tertinggal jauh dari negara-negara lain? Mengapa
mereka tidak mampu berpikir analitis? Mungkin karena metode pembelajaran kita
selama ini: ceramah, menghafal, belajar untuk lulus ujian (termasuk
UN). Jadi yang lebih mendesak adalah (a) memberdayakan para guru untuk
mengajar dengan menekankan observasi, analisa, menalar dan refleksi; (b)
memperbaiki sistem evaluasi dalam dunia pendidikan kita: menghapus
pelaksanaan Ujian Nasional. Kedua, Perlu dibuat riset ilmiah: apakah karena
kualitas guru-guru atau kualitas kurikulum? Jangan-jangan kurikulum sudah bagus
(CBSA, KBK dan KTSP) hanya tidak didukung dengan pemberdayaan guru. Juga setiap
kurikulum itu tidak ada petunjuk teknis pelaksanaannya. Jadi masalah dunia
pendidikan kita bukan membuat kurikulum baru. Tapi menjalankan dengan baik
kurikulum yang sudah ada. Lebih mendesak adalah pemberdayaan guru
(kompetensinya) dan sekaligus kesejahteraannya. Ketiga, Pemerintah
perlu membuat evaluasi terhadap pelaksanaan kurikulum KBK dan KTSP lebih dulu.
Berdasar ini baru kita mengetahui apa yang perlu diubah lebih awal agar kita
dapat meningkatkan mutu pendidikan nasional.
Adapun
perubahan-perubahan yang ada dalam kurikulum 2013 dari kurikulum sebelumnya
antara lain adalah;
1. Perubahan
Standar Kompetensi Lulusan
Penyempurnaan
Standar Kompetensi Lulusan memperhatikan pengembangan nilai, pengetahuan, dan keterampilan
secara terpadu dengan fokus pada pencapaian kompetensi. Pada setiap jenjang
pendidikan, rumusan empat kompetensi inti (penghayatan dan pengamalan agama, sikap,
keterampilan, dan pengetahuan) menjadi landasan pengembangan kompetensi dasar
pada setiap kelas.
2. Perubahan
Standar Isi Perubahan Standar Isi dari kurikulum sebelumnya yang mengembangkan kompetensi
dari mata pelajaran menjadi fokus pada kompetensi yang dikembangkan menjadi mata
pelajaran melalui pendekatan tematik-integratif (Standar Proses).
3. Perubahan
Standar Proses
Perubahan
pada Standar Proses berarti perubahan strategi pembelajaran. Guru wajib
merancang dan mengelola proses pembelajaran aktif yang menyenangkan. Peserta
didik difasilitasi untuk mengamati, menanya, mengolah, menyajikan, menyimpulkan,
dan mencipta.
Sebagai
catatan dari adanya perubahan ini; (1) Perubahan metode mengajar ini hanya
mungkin dilakukan ketika para guru menguasai metode-metode mengajar yang
efektif. Jadi guru perlu diberdayakan sehingga menguasai bidang yang
diajarkannya dengan baik sekaligus trampil menyampaikan topik itu dengan cara
yang menarik, sederhana, mengasyikkan dan membuat anak didik paham. (2) Untuk
mencapai perubahan proses ini, guru perlu dilatih terus-menerus (didampingi selama
proses belajar-mengajar). Calon-calon guru yang sedang belajar di Perguruan Tinggi
juga dilatih standar proses ini sesuai dengan bidang yang diampunya.
4. Perubahan
Standar Evaluasi
Penilaian
yang mengukur penilaian otentik yang mengukur kompetensi sikap, keterampilan,
serta pengetahuan berdasarkan hasil dan proses. Sebelumnya ini penilaian hanya
mengukur hasil kompetensi.
Beberapa Konsekwensi
akibat dari perubahan substansi tersebut adalah:
a. Penambahan
Jumlah jam belajar di SD
Beberapa
perubahan drastis ada dalam kurikulum 2013, di antaranya waktu belajar
ditambah, tetapi jumlah mata pelajaran dikurangi. Di tingkat SD, dari 10 mata
pelajaran (mapel) menjadi 6 mapel, yaitu Bahasa Indonesia, Pendidikan
Kewarganegaraan, Agama, Matematika, Sosial Budaya, dan Olahraga.Pelajaran IPA
dan IPS ditiadakan, diintegrasikan ke mapel lain. ”Obyek kurikulum baru ini
adalah fenomena alam, fenomena sosial dan budaya”.[13]
Dan Kls 1-2 SD: Jumlah jam pelajaran sebelumnya adalah SD 26 jam/minggu menjadi
32 jam/minggu.
Namun
hal ini Perlu dipikirkan secara serius: Apakah ini sungguh membuat anak-anak
kita makin siap menghadapi tantangan masa depan? – Judul artikel KOMPAS:
Target Kurikulum 2013 tidak tegas dan abstrak.[14]
Dan
Anak lebih banyak tinggal di sekolah. Keadaan konkritnya, anak bangun pagi jam
5, berangkat ke sekolah jam 6 – sudah di sekolah jam 7 dan kemudian kembali
lebih lama dari yang selama ini karena ada penambahan jam tinggal di sekolah.
Anak juga masih perlu mengerjakan PR di rumah atau mengikuti les. Jadi perlu
dipikirkan bagaimana dampak penambahan jam pelajaran ini pada anak-anak kita.
b. Penambahan
jumlah jam belajar di SMP
Perubahan
jumlah jam belajar di SMP adalah; (1) Jumlah jam belajar siswa SMP berubah dari
32 jam/minggu menjadi 38 jam perminggu. (2) Kalau belajar 5 hari – berarti
setiap hari anak belajar 8 jam setiap hari. Apa ini tidak penat? Perlu
disiapkan makan siang anak dan guru.
Jika
perubahannya demikian, maka; (1) Kemungkinan masalah yang akan muncul adalah
anak-anak makin bosan berada di sekolah. Lebih-lebih kalau cara mengajar guru
seperti yang selama ini. Jalan keluar guru perlu mengajar dengan lebih menarik
dan membuat anak gembira belajar. Tapi apakah guru mampu berubah cepat? Kita
sudah berapa kali berubah kurikulum 1984 (CBSA), 2004 (KBK) dan 2008 (KTSP)
cara-cara mengajar guru tidak berubah. Lebih banyak menatar, meminta murid
menghafal dan latihan-latihan (drill) menyiapkan UN. (2) Pemerintah mengatakan: pelajaran akan menarik
dengan metode baru. Tapi apakah guru siap mewujudkan ideal yang diharapkan
pemerintah tersebut? Mungkin perlu penelitian. Kelihatannya ini asumsi
oknum-terterntu yang kebetulan duduk dalam pemerintahan.
c. Penambahan
Jumlah Jam Pelajaran Agama
Adapun
penambahan jumlah jam pelajaran Agama pada; SD dan yang sederajat bertambah dari 2 jam/minggu menjadi 4
jam/minggu.[15]
Jam Pelajaran agama di SMP, bertambah dari 2 jam/minggu menjadi 3 jam per minggu. Bertambahnya Jam pelajaran agama dan PPKn ini
dengan harapan “pembentukan karakter” dan “moral” anak menjadi lebih baik.
Apakah ada korelasi penambahan jumlah pelajaran agama dan PPKn dengan
karakater? Proses pembentukan karakter ditentukan oleh lingkungan hidup anak
(keluarga, sekolah dan masyarakat). Apa yang diobservasi anak akan cenderung
ditiru oleh anak.
Apa
konsekwensi menambah jumlah pelajaran agama dan PPKn? Bertambahnya jumlah guru
agama dan PPKn.
d. Jumlah
Mata Pelajaran dikurangi tapi Jumlah Jam Belajar ditambah
Di
negara lain, termasuk di Finlandia, jumlah mata pelajaran tetap banyak tapi
jumlah total jam pelajaran per minggu dibatasi. Kurikulum 2013 kurangi jumlah
mata pelajaran tapi menambah jumlah jam pelajaran per minggu (Pak S. Belen dari
Pusat Kurikulum). Hal ini masih memerlukan penelitian bagaimana keadaan emosi anak-anak di sekolah?
Dengan jumlah jam pelajaran yang seperti sekarang ini saja, bagaimana “suhu
emosi” mereka?[16]
Faktor
penentu sukses belajar anak adalah anak tertarik dan suka / senang mempelajari
sesuatu, itu adalah metodologi yang mengaktifkan dan membuat kreatif siswa,
bukan lamanya waktu. Indonesia adalah negara di dunia yang jumlah hari belajar
efektif atau jumlah hari siswa ke sekolah per tahun tertinggi di dunia – 220
hari.
e. Materi
Pelajaran IPA diintegrasikan dalam Mapel Bahasa Indonesia
Mungkin
maksud dari pemerintah dengan poin ini adalah; (1) Menggabungkan Sains dengan
bahasa Indonesia – membingungkan fokus materi yang akan diajarkan pada anak.
Materi Pelajaran (Mapel) IPA punya indicator sendiri. Bahasa Indonesia juga
punya indikatornya sendiri. Tidak bisa diintegrasikan.[17]
(2) Jika IPA atau IPS diajarkan ke dalam Bahasa Indonesia, perlu dipertanyakan
pengukurannya. Perlu diperjelas apakah pelajaran tersebut berdasar pada kaidah
bahasa atau sains. (Iwan Pranoto, Guru Besar Matematika Institut Teknologi
Bandung). (3) Apa konsekwensi menghapus IPA dan IPS pada anak-didik kelak?
Seharusnya kita mempersiapkan anak-didik pada bidang sains sejak dini.
Sebagai
bahan catatan penulis adalah; (1) Justru pelajaran Bahasa, bisa masuk ke Sains
atau IPS. Tidak boleh dibalik. Bahasa Indonesia memakai konsep sains atau ilmu
pengetahuan sosial. Misalnya teks yang perlu dianalisis dalam sebuah bahasa
berisi “artikel tentang tatanan kehidupan sosial” (IPS) atau “artikel penemuan
ilmiah” (IPA). (2) Bahasa dapat diterapkan pada semua mata pelajaran. Sebab
kompetensi mendengarkan, beribicara, membaca dan menulis dapat dikembangkan
pada semua mata pelajaran dengan tematik integratif. (Sam Mukhtar Chaniago,
Dosen pada Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Jakarta, (KOMPAS,
4 Desember 2012). (3) Kurikulum tematik dikembangkan oleh guru. Hal itu terjadi
di Inggris, Finlandia, Australia, AS, Singapura. Pada Kurikulum 2013 pemerintah
pusat menentukan tema dan buku pelajaran yang akan diterbitkan nantinya per
tema. Di sini terjadi lompatan yang berisiko. Yakni, tema-tema tampaknya bisa
tidak sesuai dengan konteks. masing-masing sekolah di berbagai daerah dengan ciri-ciri
khas masing-masing.
f. Kkllll
g. kkkk
Daftar Rujukan
Ahid,
Nur. Konsep
Pendidikan Islam dalam Keluarga. Tesis, Yogyakarta: IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 1993.
Azra, Azzumardi. Esei-esei Intelektual Muslim
Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998.
Franklin, Babbit. The Curriculum. Boston: Hounghton Mifflin, 1918.
Hamalik, Oema. Pengembangan Kurikulum. Bandung: Mandar Maju, 1991.
Langgulung,
Hasan. Manusia dan
Pendidikan: Suatu Analisa Psikologik dan Pendidikan. Jakarta: Pustaka
al-H usna, 1989.
Sukmadanata,
Nana Syaodih. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek.
Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000.
Syarif, A. Hamid. Pengembangan Kurikulum. Surabaya: Bina Ilmu, 1996.
Undang-Undang
No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta:
Armas Duta Jaya, 1990.
[1]. Fitrah
di sini dimaksudkan sebagai potensi dasar manusia yang dibawa sejak lahir, di
antaranya adalah agama, intelek,
sosial, susila, seni, ekonomi, kawin, kemajuan, persamaan, keadilan,
kemerdekaan, politik, ingin dihargai, dihormati
dan lain sebagainya. Lihat Nur Ahid, “Konsep Pendidikan Islam dalam Keluarga”,
(Tesis, IAIN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta, 1993), 20
[2] . Untuk
merealisasikan kehendak tersebut yang tepat adalah pendidikan. Pendidikan merupakan bimbingan dan pertolongan secara sadar
yang diberikan oleh pendidik kepada peserta didik sesuai dengan perkembangan
jasmaniah dan rohaniah ke arah kedewasaan. Peserta didik di dalam mencari
nilai-nilai hidup, harus dapat bimbingan sepenuhnya dari pendidik, karena
menurut ajaran Islam, saat anak dilahirkan dalam keadaan lemah dan suci/fitrah
sedangkan alam sekitarnya akan memberi corak warna terhadap nilai hidup atas
pendidikan agama peserta didik. Lihat; Zuhairini, Filsafat
Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi
Aksara, 1995), cet. 2, hlm. 170. Hal ini
sebagaimana Firman Allah SWT:
óOÏ%r'sù y7ygô_ur ÈûïÏe$#Ï9 $ZÿÏZym 4
|NtôÜÏù «!$# ÓÉL©9$# tsÜsù }¨$¨Z9$# $pkön=tæ 4
w @Ïö7s? È,ù=yÜÏ9 «!$# 4
Ï9ºs ÚúïÏe$!$# ÞOÍhs)ø9$# ÆÅ3»s9ur usYò2r& Ĩ$¨Z9$# w tbqßJn=ôèt ÇÌÉÈ
Artinya: Maka hadapkanlah wajahmu
dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah
menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah)
agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
Fitrah Allah: Maksudnya ciptaan
Allah. manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama Yaitu agama tauhid.
kalau ada manusia tidak beragama tauhid, Maka hal itu tidaklah wajar. mereka
tidak beragama tauhid itu hanyalah lantara pengaruh lingkungan.
[4]. Azzumardi
Azra, Esei-esei Intelektual Muslim
Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998), 3.
[5] . Dalam sistem itu didukung oleh nilai-nilai dan norma-norma yang dimiliki dan
diyakini oleh masyarakat yang bersangkutan. Keterikatan itu menempatkan manusia menyatu dengan
nilai-nilai yang sifatnya universal. Karena itu, manusia dapat dikatakan sebagai makhluk yang mempunyai
kesadaran moral dan keagamaan.
[6] .Pendidikan karakter
adalah Salah satu hal yang sederhana karena kata ‘karakter’ adalah semua
pengembangan diri siswa dalam interaksi belajar hingga awal dan berakhirnya
proses pengajaran bisa tercapai pembentukan siswa yang berkarakter. Pendidikan
karakter di sekolah sangat diperlukan, walaupun dasar dari pendidikan karakter
adalah di dalam keluarga. Kalau seorang anak mendapatkan pendidikan karakter
yang baik dari keluarganya, anak tersebut akan berkarakter baik selanjutnya.
Namun banyak orang tua yang lebih mementingkan aspek kecerdasan otak ketimbang
pendidikan karakter.
[7] . Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2000), 27.
[8] . http://kampus.okezone.com/read/2013/01/07/373/742518/kurikulum-2013.
[9] . Nana Syaodih
Sukmadinata, Op.cit, hlm, 28
[10]. Misalnya, agar
lulusan dapat menjawab kebutuhan-kebutuhan masyarakat seperti: mampu
menciptakan lapangan kerja sendiri, karena punya keahlian (wiraswasta); dan
lulusan yang trampil bekerja pada industry (karena sudah profesional).
[11] .
Kompetensi:
kebiasaan berpikir dan bertindak yang merupakan perwujudan sikap, keterampilan,
dan pengetahuan yang dipelajari. Standar kompetensi lulusan: kemampuan lulusan
satuan pendidikan tertentu yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Kompetensi
dasar: kemampuan minimal peserta didik untuk setiap matapelajaran pada setiap
kelas yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan terkait atau bermuatan
substansi. Standar Isi: tingkat kompetensi dan lingkup materi yang dituangkan
dalam kriteria tentang kompetensi lulusan, kompetensi inti, kompetensi dasar
matapelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi oleh peserta didik
pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. (Penjelasan istilah-istilah
Kurikulum 2013, slide 98; http://kurikulum2013.kemdikbud.go.id/presentasi/slide/97).
[12] .Kompetensi
pelajar Indonesia masih di bawah pelajar lain di Asia, seperti Jepang, Thailand,
Singapura, dan Malaysia. Hanya 5 persen pelajar Indonesia memiliki kompetensi
berpikir analitis. Kompetensi sebagian besar pelajar pada tingkat mengetahui.
Data itu mengacu laporan McKinsey Global Institute ”Indonesia Today” dan
sejumlah data rangkuman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. KOMPAS, 3
Desember 2012
[13] .Mendikbud Mohammad Nuh, KOMPAS, 3 Desember
2013
[14] .Henny Supolo
Sitepu, pelatih guru dari sekitar 2.000 sekolah, mengatakan, naskah Kurikulum
2013 sangat indah dan menarik, tetapi abstrak. Pelaku di lapangan, mulai dari
guru, kepala sekolah, dan pengawas sekolah, sulit untuk menerjemahkan secara
konkret target yang ingin dicapai dalam kurikulum baru ini. ”Kami menghargai
kurikulum yang sudah dibuat Kemendikbud. Namun, kurikulum yang dibuat banyak
memunculkan jargon yang abstrak, tidak jelas ukurannya. Sebagai contoh, murid
diharapkan memiliki ’akhlak mulia’, tidak jelas fokusnya,” kata Henny dari
Yayasan Cahaya Guru. KOMPAS, 5 Desember 2012
[15] .Bila Pelajaran
Agama ini ditambah, dengan kompetensi hanya untuk semakin mengenal dogma-dogma
agamanya sendiri dan bukan untuk semakin kritis, serta mengenal agama-agama
lain dan menghargainya, maka penambahan jumlah jam pelajaran ini – akan
menciptakan generasi yang cenderung bersikap fundamentalis. Tambah lagi, bila
pelajaran agama ini dibawakan seperti selama ini – boleh ditanyakan dan dibuat
penelitian – dengan cara-cara ceramah, mencecokkin anak, maka pelajaran ini
makin membosankan anak. Jadi bukannya membuat anak gembira, malah makin merasa
bosan berada di sekolah. Apakah penambahan jumlah jam pelajaran agama ini
secara nasional ada tujuan khusus? Mau menggunakan ruang publik untuk
menanamkan dogma-dogma agama? Agar generasi makin mengenal lebih baik agamanya
sendiri dan bersikap kritis terhadap agama lain? Lalu bagaimana dampaknya nanti
pada sikap toleransi dengan agama lain?
[16] .
Sejak
Daniel Goleman (1990) mengemukakan kecerdasan emosi, maka mulailah dirancang
metode SEL (Social Emotional Learning). Dari serangkaian penelitian pada
beberapa sekolah di kota-kota Amerika, dengan pertanyaan survei pada
peserta-didik. Kepada setiap peserta-didik ditanayakan, “Dari 24 jam waktunya
dalam sehari, kapan waktu paling ia berbahagia?”
Jawaban mereka sangat mengejutkan. Yakni
waktu mereka keluar dari rumah dan sebelum sampai di sekolah. Atau waktu mereka
keluar dari sekolah dan sebelum sampai di rumah. Peserta-didik ini juga mengisi
kuesioner yang menggambarkan keadaan emosi mereka selama berada di sekolah.
Hasilnya sangat mengejutkan. Skala emosi peserta-didik selama berada di sekolah
sama persis dengan skala emosi mereka yang berada di dalam penjara. Dari situ,
dikembangkan metode SEL dalam dunia pendidikan, untuk para guru, SEL bagi orang
tua, dan bagi para peserta-didik berkebutuhan khusus. Keterangan lengkap
mengenai SEL, lihat http://en.wikipedia.org/wiki/Social_emotional_learning
[17] .
Bahasa
punya indikator pencapaian, IPA punya indikator pencapaian. Indikator mana yang
akan diambil oleh mapel integrasi? Jika ambil indikator bahasa, akan terjadi
pengurangan materi IPA. Ini akan menyebabkan terjadinya proses pembodohan
bangsa.Jika ambil indikator IPA, akan timbul pertanyaan kenapa mapel integrasi
ini tidak disebut sebagai mapel IPA (bukankah isi dan indikatornya adalah
IPA?). Kenapa harus disebut maple Bahasa Indonesia? Sulit sekali
mengintegrasikan IPA dengan bahasa, terutama untuk IPA kls 4-6 SD. Sampai saat
ini kami (= Prof. Yohannes Surya, Ph.D) baru berhasil mengintegrasikan materi
IPA SD kelas 1. Kelas 2 kesulitan integrasi ini sangat terasa. Kls 4-6 sangat
sulit sekali (contohnya bagaimana mengintegrasikan listrik, magnet ke bahasa
Indonesia).Ada istilah-istilah IPA yang berbeda dengan istilah-istilah umum
bahasa Indonesia misalnya “usaha”, “gaya”, “daya” dsb.
Ini
juga menyulitkan integrasi. Anak kls 4-6
SD sering berpikir kritis, menanyakan pertanyaan yang tidak bisa dijawab dengan
hanya “membaca” atau “menulis” seperti dlm pelajaran bahasa Indonesia.
Misalnya: kenapa air menguap? Kenapa kita cegukan? Kenapa awan ada yang hitam
dan ada yang putih? Mengapa kapal besi bisa terapung? Mengapa daun putri malu
menguncup ketika disentuh? Anak kls 4-6 SD suka diajak eksplorasi sains,
sesuatu yang sulit dilakukan dalam pelajaran bahasa Indonesia biasa. Misalnya
eksplorasi tentang mana yang lebih disukai semut, gula merah atau gula putih,
eksplorasi tentang baterai merek apa yang paling tahan lama, eksplorasi membuat
kapal kertas yang bisa terbang paling lama dsb.
Tidak
satupun negara yang melakukan integrasi IPA dengan bahasa! Belum ada success
story integrasi ini! Dengan melakukan integrasi ini secara massal di seluruh
Indonesia, kita sedang mempertaruhkan masa depan bangsa kita pada sesuatu yang
tidak punya justifikasi yang jelas. (Prof. Yohannes Surya, Ph.D)
1 komentar:
Wahhh blog ini bagus membahas ttg kurikulum 2013. Ngebantu bgt buat saya sebagai anak sklh yg menggunakan kurikulum 2013. Capek emg menggunakan kurikulum 2013, ada enak sm gknya. Tp setelah baca wacana ini jd buat saya berpikir lg mengenai tanggapan kurikulum 2013.
Posting Komentar