Oleh: Ach. Sayyid, S.Pd.I
A.
Latar
Belakang Masalah
Pendidikan dipercaya sebagai pondasi
peradaban manusia. Mutu dan kualitas pendidikan sangat menentukan peradaban manusia.
Pendidikan yang bermutu, ressponsif terhadap perubahan zaman akan mencetak dan melahirkan
peradaban manusia yang intelek, terdidik dan beradab, serta responsive,
dinamis, dan berfikiran futuristik. Sebaliknya pendidikan yang tidak bermutu,
kaku, tidak dinamis dan responsif terhadap perubahan zaman, akan mengalami kepincangan di berbagai sisi
dan otomatis akan ditinggalkan dewasa ini.
Pendidikan, umumnya terklasifikasi
menjadi dua, formal dan non-formal. Pendidikan formal adalah pendidikan yang
diakui oleh pemerintah. Sebagai implikasinya, pemerintah mempunyai otoritas
untuk mengatur berbagai hal yang terkait dengan keberlangsungan pendidikan
tersebut, seperti kurikulum, kualifikasi guru, biaya pendidikan serta
evaluasinya. Sedangkan pendidikan non-formal adalah pendidikan yang tidak ada
campur tangan pemerintah, dalam arti bahwa pemerintah tidak memiliki wewenang
untuk mengatur hal-hal yang terkait dengan proses keberlangsungan pendidikan
tersebut. Hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan tersebut,sepenuhnya diatur
serta direncanakan oleh lembaga masing-masing, sama sekali tidak ada campur
tangan pemerintah. Dengan demikian, pendidikan formal -dalam posisi selalu
mendapat pengawasan dari pemerintah- akan selalu menadapat perhatian dari
pemerintah baik dalam kurikulum, maupun hal lain yang terkait dengannya.
Implikasinya adalah bahwa pendidikan formal akan selalu disetting sesuai
dengan perubahan zaman. Pemerintah, dalam hal ini adalah Kemendikbud akan
selalu melakukan perombakan dalam kurikulum pendidikan nasional sesuai dengan
kebutuhan dan perkembangan zaman. Hal ini sangat kontradiktif sekali ketika
kita melihat pendidikan non-formal. Dengan kondisi tanpa adanya campur tangan
pemerintah, maka perjalanan pendidikan ini akan sangat tergantung sekali pada
pihak-pihak yang memiliki power dalam pendidikan tersebut. Jika pemiliki
power berparadigma tradisional konservatif, maka pendidikan dibawah
tanggung jawabnya akan menjadi pendidikan yang eksklusif, menolak hal-hal baru
dan inovasi-inovasi kea rah yang lebih maju sebagai efek dari perubahan zaman.
Sebaliknya, jika pemangku kekuasan dan kebijakan dalam suatu pendidikan non-formal
berparadigma progresif, maka pendidikan di bawah kekuasaannya akan dibentuk
menjadi pendidikan yang responsive terhadap perubahan dan perkembangan zaman.
Pesantren Mahasiswa Al-Hikam adalah
salah satu pendidikan non-formal di kota Malang. Melihat latar belakang
berdirinya, Pesantren ini dirintis sebagai usaha untuk memadukan dimensi
positif perguruan tinggi dan pesantren. Dimensi positif ini adalah mewujudkan
generasi yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi serta berkepribadian
yang baik dan bermoral. Pesantren Al-Hikam juga menginginkan bahwa pandangan
perpaduan antara ilmu pengetahuan dan agama memperoleh pengakuan dan pembenaran
oleh masyarakat luas. Demikian juga, keyakinan agama akan mendapatkan
pertimbangan yang sangat penting dalam disiplin keilmuan.[1]
Dari beberapa paparan di atas,
penulis tertantang untuk lebih mengetahui model pendidikan di Pesantren
Mahasiswa Al-Hikam.
B.
Landasan teori
Dalam landasan teori ini, Penulis akan membahas terminology
tradisional terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan dengan pembahasan
post-tradisional. Ini dilakukan sebagai perbandingan perubahan kondisi dari
tradisional menuju post-tradisional. Lalu kemudian akan mengerucut pada model
pendidikan tradisional dan post-tradisional.
1.
Tradisional
Menurut Khazanah bahasa Indonesia, tradisi berarti segala sesuatu
seperti adat, kebiasaan, ajaran dan sebagainya, yang turun-temurun dari nenek
moyang.[2]
Ada pula yang menginformasikan bahwa tradisi berasal dari kata traditum, yaitu
segala sesuatu yang bisa ditransmisikan, diwariskan oleh masa lalu ke masa
sekarang.[3]
Berdasarkan dua sumber tersebut jelaslah bahwa tradidi intinya adalah warisan
masa lalu yang dilestarikan terus-menerus hingga sekarang. Warisan masa lalu
itu dapat berupa nilai, norma sosial, pola kelakuan, dan adat kebiasaan lain
yang merupakan wujud dari berbagai aspek kehidupan.
Dari kata tradisi, akhirnya menjadi tradisional, tradisionalist,
dan tradisionalisme. Tradisional artinya menurut adat turun-temurun.[4]
Sebagaimana diketahui biasanya kata tradisional digunakan untuk mensifati
sesuatu, misalnya pakaian atau tari tradisional, yaitu pakaian atau tari
menurut adat atau yang diwarisi turun temurun. Dan akhir-akhir ini, kata
tradisional tampaknya muncul di mana-mana untuk mengimbangi segala sesuatau
yang berbau modern. Dalam berbagai aspek kehidupan, kita mengenal
istilah-istilah seperti upacara tradisional, arsitektur tradisional, pengobatan
tradisional, dan lain-lain.
Istilah Tradisionalist biasanya dipergunakan untuk menunjuk orang
atau kelompok masyarakat yang dengan gigih memegang dan memprtahankan berbagai
tradisi masa lalu dalam kehidupan sehari-hari. Sekedar contoh, di kalangan
Indonesia, yang biasanya di kenal sebagai kelompok tradisionalist, misalnya
adalah Jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU), sementara Jam’iyyah Muhammadiyah
dikategorikan sebagai kelompok modernist.[5]
Selanjutnya tradisionalisme, dengan adanya tambahan isme, bukan
lagi merupakan kata sifat atau yang menunjukkan subjek perbuatan tertentu,
melainkan sikap atau kecendrungan untuk melakukan sesuai dengan tradisi masa
lalu.[6]
Melihat beberapa terminology di atas, maka ketika kita
kontekstualisasikan dan kerucutkan pada salah satu masalah dalam kehidupan
kita, yaitu masalah pendidikan, maka model pendidikan kaumberparadigma
tradisional adalah model pendidikan yang tetap menjada, memelihara, dan
melestarikan budaya dan tradisi yang diwarisi oleh pendahulunya. Satu contoh
adalah dalam hal metode pengajaran. Pesantren model tradisional menganut metode
bandongan, yaitu suatu model belajar mengajar yang melibatkan antara sosok kiai
dengan sejumlah besar santri. Proses belajar mengajar tersebut dilaksanakan di
tempat yang cukup besar dengan peserta didik yang cukup banyak. Adapaun metode
yang digunakan adalah metode ceramah dengan materi tentang islam yang umumnya
tidak terstruktur dengan perangkat pembelajaran seperti Kurikulum,
Prota/Promes, RPP, dan lain-lain, semua berjalan sesuai dengan urutan pada
bab-bab yang ada dalam kitab.
Karakteriktik model pendidikan tradisional tidak hanya terdapat
pada metode yang digunakan, akan tetapi dalam kurikulumpun juga mengalami
perbedaan dengan model pendidikan yang bersifat modern. Kuikulum pesantren
lebih ditekankan pada materi/kitab apa yang akan dikaji oleh santri, oleh
karena itu, hal ini mendapat pengawalan yang sangat ketat dari sosok leader
dalam pesantren, yaitu, kiai. Kiai lah yang memiliki otoritas dalam menentukan
kitab yang akan dikaji. Biasanya kiai tradisionalis sangat inklusif dan sangat anti
terhadap hal-hal yang berbau modern. Mereka percaya bahwa yang tradisional lah
yang sangat memberikan manfaat bagi mereka. Sejauh pengamatan Penulis, saat
ini, model pendidikan semacam ini hampir bisa dikatan jarang sekali, kalaupun
ada jumlah sangat sedikit sekali, dan mayoritas tidak bisa eksis karena
tuntutan zaman.
2.
Post-tradisional
Seiring bergulirnya waktu, segala sesuatu berubah drastis,
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang begitu pesat, maka
semua hal dituntut untuk mengikuti perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Hal ini menjadikan sebagian kaum tradisionalist berfikir untuk
mengikuti perkembangan IPTEK yang berkembang begitu pesat. Sebagai respon
terhadap perkembangan IPTEK tersebut, dimunculkanlah wacana post-tradisional.
Post-tradisionalisme, menurut Marzuki wahid, salah satu intelektual
NU yang berada pada garda aliran pemikiran ini, dapat dipahami sebagai suatu
“lompatan tradisi”, karena ia berangkat dari suatu tradisi yang secara terus
menerus berusaha memperbaharui tersebut dengan cara mendialogkan dengan
modernitas.[7]
Pada intinya kalangan ini berpaham al-muhafadhoh ‘ala al-Qodhim al-Shalih wa
al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah, yaitu menjaga dan melestarikan
tradisi-tradisi yang baik, serta “welcome” terhadap hal-hal yang baru
(modernitas) yang bersifat lebih baik. Penulis tidak akan membahas panjang
lebar aliran post-tradisionlisme ini dari segi pemikiran islam, akan tetapi
pembahasan akan lebih terfokus pada pendidikan model post-tradisionalist.
Adapun terkait dengan masalah pendidikan, kalangan post-tradisionalist
-setelah melihat kelemahan-kelemahan tradisi yang mereka anut, serta berusaha
merespon kemajuan IPTEK- berusaha menciptakan suatu sistem pendidikan yang
memiliki keterpaduan antara tiga unsur sekaligus, yaitu; keislaman,
keindonesiaan, dan keilmuan dan teknologi. Hal inilah yang dilakukan oleh
Nurcholish Majid, beliau menggagas sistem pendidikan tersebut dengan tujuan
untuk membentuk masyarakat madani.[8] Pendidikan
keislaman yang telah mengakar dalam tradisi pendidikan islam di Indonesia berusaha
diarahkan pada sistem pendidikan yang responsive terhdap perubahan zaman dalam
berbagai segi, segi kurikulum, metode pembelajaran, sarana prasarana, materi,
serta Sumber daya Manusia (SDM) dari pendidikan itu sendiri. Meskipun hal ini harus dilakukan dengan
melakukan perubahan yang cukup banyak dalam pendidikan islam, akan tetapi
budaya-budaya positif tetap dipertahankan. Sikap takdhim murid terhadap
guru-salah satunya- tetap kental mewarnai pendidikan model ini, berbeda dengan
pendidikan modern yang seakan kehilangan budaya ‘respect” dari murid
terhadap gurunya, meskipun ada beberapa murid yang masih menanamkan budaya itu.
Pada intinya, dalam hal pendidikan, kaum post-tradisionalist menerapkan suatu
statemen yang hampir dikenal oleh seluruh penganutnya, yaitu al-muhafadhoh
‘ala al-Qodhim al-Shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah, yaitu menjaga
dan melestarikan tradisi-tradisi yang baik, serta “welcome” terhadap hal-hal
yang baru (modernitas) yang bersifat lebih baik untuk kemajuan ke arah yang
lebih baik lagi.
C.
Paparan Data
1.
Profil Pesantren Mahasiswa Al-Hikam
Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Malang berdiri pada tanggal 17
Ramadhan 1413 H/21 Maret 1992 M dibawah naungan yayasan Al-Hikam yang memiliki
akte notaries No. 47/1989. Pesantren Al-Hikam didirikan dan diasuh oleh K.H. A.
Hasyim Muzadi, beliau juga menjadi ketua yayasan, semenjak berdiri hingga tahun
2010. Setelah itu ketua yayasan diamanahkan kepada putra beliau, Abdul Hakim,
S.E.
Pesantren Al-Hikam adalah lembaga pendidikan Islam yang dirintis
sebagai usaha untuk memadukan dimensi positif perguruan tinggi dan pesantren.
Dimensi positif ini adalah mewujudkan generasi yang menguasai ilmu pengetahuan
dan teknologi serta berkepribadian yang baik dan bermoral. Pesantren Al-Hikam
juga menginginkan bahwa pandangan perpaduan antara ilmu pengetahuan dan agama
memperoleh pengakuan dan pembenaran oleh masyarakat luas. Demikian juga,
keyakinan agama akan mendapatkan pertimbangan yang sangat penting dalam
disiplin keilmuan.
Sementara perguruan tinggi melakukan pengembangan potensi
intelektual mahasiswa. Pada saat yang sama, Pesantren Mahasiswa Al-Hikam
melakukan pembentukan kepribadian religious bagi mahasiswa umum(non agama).
Oleh karena itu, generasi yang dihasilkan adalah generasi yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi
sekaligus memiliki fondasi kokoh yang berakar pada nilai-nilai moralitas dan
spritualitas Agama.[9]
Ruhul Ma’had (Jiwa Pesantren Mahasiswa Al-Hikam) adalah:
a.
Ikhlas
dalam beramal
b.
Jujur
dalam bersikap
c.
Sederhana
dalam hidup
d.
Santun
dalam bergaul
e.
Mandiri
dalam berusaha
f.
Berjuang
bersama-sama
Sedangkan Motto Pesantren Mahasiswa Al-Hikam adalah:
a.
Amaliah
Agama
b.
Prestasi
Ilmiyah
c.
Kesiapan
Hidup
Adapun Visi Pesantren Mahasiswa Al-Hikam adalah mewujudkan
Pesantren Mahasiswa Al-Hikam sebagai komunitas belajar untuk mengembangkan
potensi fitrah insaniyah yang mengintegrasikan Agama, etika ilmiah dan etika
sosial.
Sedangkan Misinya adalah 1) pusat penempaan moral Agama, 2) pusat
penumbuhan budaya ilmiah, dan 3) pusat pembekalan kecakapan hidup dan tanggung
jawab sosial.
Sedangkan tujuannya adalah 1) mengantarkan santri Mahasiswa menjadi
sarjana yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi di bidangnya dan memiliki
bekal ilmu agama serta berkepribadian luhur, 2) mengantarkan Santri mahasiswa
menjadi sarjana yang mampu merelevansikan antara ilmu pengetahuan dan teknologi
dengan nilai-nilai Agama, dan 3) mempersiapkan Muslim yang memiliki integritas
keilmuan Agama dan pengetahuan ilmiah serta memiliki jiwa pengabdian,
kepeloporan dan kepemimpinan.[10]
2.
Pendidikan di Pesantren Mahasiswa Al-Hikam
a.
STAI Ma’had Aly al-Hikam
1)
Latabelakang
berdirinya STAIMA
Kemajuan di
bidang ilmu pengetahuan dan teknologi telah banyak memberikan manfaat bagi
bangsa Indonesia. Terbukti, dalam banyak segi kehidupan, kemajuan-kemajuan itu
telah membawa perubahan besar dan cepat dalam kehidupan kita. Tanpa kita
sadari, seringkali perubahan besar dan cepat itu melampaui kesiapan kita, baik
sebagai individu maupun sebagai masyarakat, untuk mengantisipasinya.
Transformasi
menuju era informasi, misalnya, selain menjanjikan kehidupan yang lebih produktif
dan nyaman, juga menuntut prasyarat tertentu dan juga membawa
konsekuensi-konsekuensi yang luas dan mendalam. Hal ini tidak terlepas dari
tatanan baru yang diusungnya.
Dalam kehidupan
keseharian kita menemukan banyak sekali fenomena tersebut. Moralitas baru yang
berlaku di dalam masyarakat industri atau masyarakat modern, yakni rasionalisme
ekonomi, misalnya, mengharuskan individu atau masyarakat untuk menghargai
maksimalisasi pendapatan, etos kerja dan profesionalisme. Bermula dari
semata-mata rasionalisasi di bidang ekonomi ini, moralitas baru tersebut
kemudian merembes ke bidang-bidang yang lain, termasuk di dalamnya adalah
bidang pendidikan, kehidupan intelektual, hubungan sosial, sikap, kultur,
ukuran-ukuran emosional, nilai-nilai, moral, dan bahkan juga spiritual.
Tampak di sini
bahwa dinamika masyarakat mendatang (modern) menghadirkan sederet tantangan
sekaligus peluang dan kesempatan yang memerlukan perangkat tertentu dan
kesadaran baru pada tataran individu maupun masyarakat. Memang, dalam batas-batas
tertentu, upaya untuk mempersiapkan perangkat dan kesadaran baru itu telah
banyak ditawarkan. Berbagai rekomendasi yang merupakan hasil seminar dan kajian
juga tak pernah melupakan masalah ini.
Salah satu
rekomendasi yang paling sering kita dapatkan adalah perlunya segera dilakukan
pengintegrasian ilmu dan moral. Hal ini dimaksudkan untuk memberi arah bagi
perkembangan teknologi sehingga mampu menjamin masa depan kehidupan umat
manusia; bukan malah sebaliknya menjadi potensi ancaman bagi kelangsungan hidup
manusia itu sendiri.
Dalam konteks
inilah agama dan lembaga-lembaganya dituntut untuk memberikan jawaban
konkritnya. Jika tidak, agama bukan saja dipertaruhkan eksistensinya sebagai
pedoman hidup bagi manusia, bahkan masa depan agama akan terancam.
Sebagai lembaga
pendidikan agama, dengan sendirinya pesantren menjadi ikut tergugat untuk
bersama-sama menjawab tantangan konkrit tersebut. Modal untuk berpartisipasi ke
arah tersebut memang dimiliki oleh pesantren. Kita bisa temukan bahwa sebagai
lembaga pendidikan agama yang sudah cukup berumur, pesantren memiliki khazanah
keilmuan dan tradisi yang khas. Ini semua diperoleh dari hasil dialog yang
kreatif dan penghayatan yang intensif terhadap nilai dan norma ajaran agama
Islam dengan problema riil di masyarakat. Lebih jauh lagi, dalam perspektif
futuristik, kita juga melihat bahwa khazanah keilmuan pesantren yang kaya itu
dapat dimanfaatkan untuk memberikan keseimbangan, baik pada tataran konsep
maupun dalam tataran praksis
Dalam tataran
konsep, khazanah keilmuan pesantren sudah lebih dari cukup untuk
mengintegrasikan ilmu dan nilai moral. Sedangkan dalam tataran
praksis, khazanah keilmuan pesantren dapat memberikan rambu-rambu normatif bagi
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menjamin kehidupan dan
kehormatan umat manusia.
Dengan kata lain,
kita sangat sepakat dengan rekomendasi pengintegrasian ilmu dan moral ini. Jika
kita dapat merancang dan melaksanakan pengintegrasian ilmu dan moral, minimal
ada dua keuntungan yang dapat dipetik. Pertama, tradisi intelektual pesantren
yang merupakan hasil penghayatan terhadap norma ajaran Islam akan mendapat
justifikasi dalam disiplin ilmu pengetahuan. Kedua, obyektifitas ilmu
pengetahuan modern akan mendapatkan kembali justifikasi spiritual dan
metafisisnya. Persoalan yang kemudian muncul adalah bagaimana cara menjembatani
khazanah keilmuan dan tradisi yang baik di dunia pesantren dengan ilmu
pengetahuan modern tersebut? Jawaban atas fenomena ini, salah satunya, adalah
dengan memberikan bekal ilmu alat atau metode (thariqah)
kepada santri-santri di pesantren. Dengan bekal ilmu tersebut maka
isi (maddah) yang berupa khazanah ilmu
keagamaan yang sangat kaya yang dimiliki pesantren akan dapat terkomunikasikan
kepada masyarakat modern.
Berdasarkan
pemikiran di atas maka PESANTREN MAHASISWA AL-HIKAM
mengikhtiarkan berdirinya MA'HAD ALY AL HIKAM.
2)
Visi
Misi
Misi yang diemban oleh Ma'had Aly Al-Hikam
adalah sebagai berikut:
a)
Mengembangkan pesantren secara keilmuan maupun
secara kelembagaan dan melakukan pencerahan kepada masyarakat melalui kegiatan
ta'lim, tarbiyah, ta'dib, dan irsyad dengan menumbuhkembangkan sikap dan
perilaku inovatif, kreatif, dan reinterpretatif, serta kecakapan untuk
mengelola perubahan.
b)
Meningkatkan kompetensi lulusan pesantren
melalui pembekalan dan penguatan di bidang ilmu alat, yakni bahasa dan
perangkat metodologi berpikir ilmiah, serta pengembangan wawasan.
3)
Tujuan
a)
Menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran
untuk menyiapkan tenaga kependidikan pesantren dan pelaku pencerahan di
masyarakat yang berkepribadian luhur, mampu mengelola perubahan dan melakukan
interpretasi dan inovasi di bidang pendidikan pesantren dan dakwah multi
kultural.
b)
Membekali dan mengembangkan keahlian para
santri di bidang bahasa, yakni Bahasa Arab, Bahasa Inggris, dan Bahasa
Indonesia.
c)
Mengembangkan perangkat metodologi berpikir
ilmiah para santri guna mempertajam analisis dan retorika dalam mengembangkan
dan mengkomunikasikan ilmu-ilmu yang telah dimilikinya.[11]
4)
Kurikulum
Kegiatan
belajar mengajar di Pesantren Luhur (Ma'had Aly) Al Hikam Malang dirancang
untuk ditempuh selama empat tahun yang terbagi dalam delapan semester. Secara
umum dapat dijelaskan bahwa dalam kurun waktu delapan semester tersebut santri
Ma'had Aly akan dibekali ilmu dalam tiga kelompok keilmuan, yakni kelompok
bahasa yang meliputi Bahasa Arab, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris dengan
bobot kredit sebanyak 66 SKS (45,8%), kelompok metodologi berpikir sebanyak 26
SKS (18%), kelompok strategi dakwah dan pendidikan pesantren sebanyak 18 SKS
(12,5%), kelompok wawasan ilmu keislaman tradisional dan kontemporer sebanyak
30 SKS (20,8%), dan tugas akhir sebanyak 4 SKS (2,7%). Dengan demikian, total
kredit yang akan ditempuh adalah sebanyak 144 SKS.[12]
Secara garis
besar, kurikulum Ma'had Aly Al Hikam dibagi menjadi dua bagian yang
merupakan satu kesatuan integral, yakni: Intra-curricular dan Extra-curricular.
a)
Intra-curricular
Intra-curricular
adalah kegiatan-kegiatan yang dirancang sehubungan dengan target-target capaian
tujuan instruksional. Kegiatan ini dihitung berdasarkan bobot dirasah yang
bersangkutan, yakni 2 sks mata dirasah sama dengan 120 menit tatap muka, 120
menit tugas terstruktur, 120 menit tugas mandiri. Kegiatan intra-curricular ini
menjadi tanggung jawab dari masing-masing pengajar mata dirasah dibantu
asistennya (kalau ada). Meskipun demikian, mengingat terbatasnya waktu yang
tersedia, kegiatan pengerjaan tugas terstruktur dan tugas mandiri
santri Ma'had Aly akan dilakukan secara integratif.
Kegiatan
intra-curricular ini akan dilaksanakan secara demokratis, aktual, kontekstual,
dan lebih mengutamakan penggunaan authentic materials. Artinya, kegiatan
belajar mengajar akan sangat mengedepankan partisipasi aktif atas pemabahasan
masalah-masalah sosial-aktual sesuai konteks permasalahan yang ada. Meskipun
demikian, design belajar-mengajar ini tetap dalam batas-batas kesopanan dan
kepantasan kebebasan mimbar akademik.[13]
a)
Ekstra
Kurikuler
Extra-curricular
adalah kegiatan-kegiatan yang sengaja dirancang di luar kegiatan-kegiatan yang
dialokasikan untuk kegiatan-kegiatan intra-curricular. Kegiatan ini antara lain
berupa: kegiatan olah raga, muhadharah, English Conversation, penyelesaian tugas-tugas,
pengayaan wawasan melalui kajian-kajian literatur di perpustakaan,
kegiatan-kegiatan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, dan juga
kegiatan rutin berupa kuliah tamu yang diselenggarakan setiap dua minggu. Dalam
kegiatan extra-curricular ini para santri akan didampingi musa'id dan
peer-tutors yang dalam kesehariannya akan senantiasa mendampingi para santri
dan tinggal bersama mereka di kamar-kamar para santri. Mengingat para musa'id
dan peer-tutors ini nantinya berfungsi sebagai pendamping sekaligus teman
diskusi para santri (counter-part) terutama dalam melatih kebiasaan muhadatsah
dan speaking-nya, serta metodologi berfikir. Untuk memberikan kesempatan yang
luas kepada santri untuk berlatih maka komposisi ideal antara musa'id/peer
tutors dengan santri adalah 1:10.[14]
Segenap
rancangan pola pembelajaran di atas tidak boleh terlepas dari kurikulum yang
dirancang. Profil kurikulum yang dirancang tersebut terlampir dalam lampiran.
b.
Dirosah
Dirosah adalah terminology yang digunakan sebagai istilah untuk
menggambarkan proses belajar mengajar informal santri Pesantren Mahasiswa
Al-Hikam. Kegiatan dirosah[15]
ini dilaksanakan setiap hari dalam dua periode. Periode pertama adalah setelah
sholat Maghrib yaitu pada jam 18.00 sam 20.00 wib, sedangkan periode kedua
dilaksananakan setelah sholat Shubuh, sekitar jam 04.30 sampai jam 06.00 wib.
Adapun kurikulum yang berkaitan dengan mata pelajaran yang
diajarkan pada dirosah, tidak hanya pendidikan agama islam, akan tetapi juga
memberikan pelajaran tentang Sejarah Peradaban Islam, bahasa Arab dan Inggris
dan lain-lain yang responsive terhadap perkembangan zaman. Adapun materi yang
diajarkan pada pengajian Kepengasuhan adalah, tafsir Jalalain, tasawufnya
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, dan Kifayatul At-qiya’.
Adapun terkait dengan metode pembelajaran yang digunakan, terdapat
perbedaan antara dirosah dan pengajian kepengasuhan. Dirosah menggunakan metode
pembelajaran klasikal, terjadi komunikasi dua arah dalam proses pembelajaran,
yaitu guru ke murid, dan murid ke guru. Hal ini berbeda dengan pengajian
kepengasuhan, di mana kegiatan ini menggunakan metode wetonan atau bandongan,
yaitu metode membaca kitab dengan cara kata per kata atau kalimat per kalimat
beserta arti dan maknanya oleh seseorang yang mahir membaca kitab kuning. Dalam
pelaksanaan metode ini di Pesantren Al-Hikam, santri Al-Hika tidak hanya
mendengarkan bacaan kitab kuning saja, namun Kyai atau Ustadz dapat memilih
santri mahasiswa tertentu yang mahir secara aktif untuk membaca kitab kuning di
depan ustadz dan para santri mahasiswa lainnya. Setelah selesai prose situ,
Ustadz atau Kyai menjelaskan makna dan intisari topic bahasan pada kitab kuning
tersebut.[16]
c.
ALQEC
Al-Hikam Qur’anic Education Center, yang kemudian di singkat
menjadi ALQEC adalah salah satu unit pendidikan di Pesantren Mahasiswa
Al-Hikam. Lembaga pendidikan di bawah naungan yayasan al-Hikam ini berdiri
dilatar-belakangi oleh kondisi usia anak dan remaja yang secara psikologis
masih tergolong labil. Pada usia tersebut anak dalam masa puber, masa-masa
dimana mereka
terdorong untuk mencoba hal-hal baru dan berusaha mencari serta menemukan jati
diri mereka. Kondisi keluarga, pergaulan, dan lingkungan akan sangat
berpengaruh pada pembentukan sifat dan karakter mereka. Oleh karena itu
diperlukan bimbingan, arahan dan pemahaman serta penguasaan ilmu yang cukup,
yang dapat dijadikan bekal agar dapat hidup bahagia di dunia dan akhirat.
Permasalahan
semakin pelik ketika media pendidikan agama bagi remaja khususnya di daerah
perkotaan, belum memadai dan belum mampu mengakomodir kebutuhan spiritual
mereka. Selain itu fakta dalam masyarakat juga mengindikasikan bahwa banyak
sekali adik-adik muslim usia remaja yang masih belum bisa membaca Al-Qur’an,
namun masih sangat kurang lembaga yang dapat mendukung kebutuhan tersebut. Oleh
karena itu diperlukan suatu media pembelajaran khusus bagi remaja (usia 12–17
tahun/ SMP-SMU).
Di lain pihak
permasalahan mengenai program pendidikan Al-Qur’an pasca TPQ/TKQ dipandang
perlu, mengingat fakta dalam masyarakat menunjukkan bahwa hasil pendidikan
TPQ/TKQ masih banyak kekurangan dalam penguasaan materi Ilmu Qur’an dasar dan
materi-materi keislaman lainnya.
Dengan melihat
kondisi seperti itu serta dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, TPQ
Al Hikam menyelenggarakan program pendidikan pasca TPQ yang diberi nama
Madrasah Diniyah . Seiring dengan hal tersebut maka perlu dibentuk organisasi
baru untuk menaungi ketiga program pendidikan di atas. Oleh karena itu
didirikanlah Al-Hikam Qur‘anic Education Center (ALQEC) sebagai induk dari
pendidikan Ulumul Qur’an untuk anak-anak dan remaja.
ALQEC ini mempunyai tiga unit pendidikan
yaitu:
1)
Madrasah Diniyah (MD), yaitu lembaga pendidikan
Al Qur’an yang diselenggarakan oleh ALQEC yang merupakan kelanjutan
dari TPQ (pasca TPQ), selain itu juga merupakan media pendidikan Al
Qur’an bagi anak usia remaja (12-17 tahun).
2)
Taman Pendidikan Al Qur’an (TPQ), yaitu lembaga
pendidikan Al Quran anak usia 7-12 tahun yang diselenggarakan oleh
ALQEC.
3)
Taman Kanak-kanak Al Qur’an (TKQ), yaitu
lembaga pendidikan Al Quran anak usia 4-7 tahun yang
diselenggarakan oleh ALQEC.[17]
d.
KBIH
Kelompok Bimbingan Ibadah Haji yang kemudian disingkat menjadi KBIH
adalah salah satu unit al-Hikam yang bertujuan untuk membawa dan
mengarahkan calon jamaah haji menjadi haji yang mabrur. Kelompok Bimbingan
Ibadah Haji (KBIH) Al Hikam menyelenggarakan bimbingan Ibadah haji bagi para
calon jamah haji.
Adapun materi
Umum dalam program Bimbingan ibadah haji adalah, 1) Petunjuk persiapan fisik
dari pemberangkatan sampai pemulangan, 2) Petunjuk praktis pemeliharaan
kesehatan selama di tanah suci, dan 3) Petunjuk praktis kehidupan sosial di
tanah suci dan Bahasa Arab praktis. Sedangkan materi khususnya adalah 1)
Pembekalan baca Al Quran, dan 2) Pembekalan ilmu haji dan praktek manasik haji.[18]
e.
Muhadharah
Muhadarah adalah salah satu program rutin minggu santri Pesantren
Mahasiswa al-Hikam. Program rutin ini dilaksana tiap minggu pada hari kamis
malam setelah sholat Maghrib berjama’ah. Tujuan dari adanya program ini adalah sharing
ilmu, sebagaimana cita-cita awal Pengasuh Pesantren Mahasiswa al-Hikam, yaitu
ingin mendialogkan antara ilmu agama dan sains. Program Muhadharah ini
bertujuan untuk merealisasikan niat mulia Pengasuh. Karena niat awal adalah
adalanya integrasi keilmuan di antara para santri, maka kajian-kajian di
Muhadarah ini bermuajan materi integratif. santri yang kuliah di fakultas umum
berbagi tentang ilmu yang di dapatnya kepada santri yang kuliah di fakultas
Agama.[19]
Oleh karena itu, santri Ma’had Aly yang notabene adalah mahasiswa yang bergelut
dalam ilmu Agama mendapat pngetahuan berharga tentang ilmu umum, tekhnologi,
dan sains, sedangkan Santri Pesma yang bergelut dengan ilmu sains dapat
mendalami pengetahuan agama lebih jauh daripada yang diperoleh baik di Dirosah
maupun Pengajian Kepengasuhan, karena kegitan tersebut dibingkai dengan nuansa
sharing ilmu pengetahuan, jauh dari kesan suasana sungkan dan malu untuk
mengungkapkan ide dan gagasannya, berbeda dengan Dirosah yang meskipun dibuat
klasikal, tetapi santri masih terlihat kurang bisa mengungkakan ide dan
gagasannya, apalagi pada pengajian kepengasuhan yang disetting dengan model
bandongan, dimana model pembelajaran ini hanya mengandalkan komunikasi satu
arah, hampir tidak ada sesi untuk bertanya, mengungkapkan ide, atau bahkan
klarifikasi. Oleh karena itu, dalam kegiatan muhadharah, terjadi suatu kegiatan
ilmiyah yang bersifat integrative komunikatif. Permasalahan Agama berusaha
didekati dari berbagai macam ilmu pengetahuan, pun sebaliknya,
persoalan-persoalan yang membutuhkan status hukum dari agama, dibahas
sedemikian rupa dengan metode santai dan menyenangkan.
f.
Perpustakaan
Keberadaan
perpustakaan dan pusat informasi berawal adanya taman bacaan, dimana koleksinya
masih berupa kumpulan koleksi milik Bapak pengasuh yakni K.H.A. Hasyim Muzadi
yang dimanfaatkan oleh para santri untuk kebutuhan pengkayaan ilmu pengetahuan
dan penumbuhan daya pikir santri. Pada saat itu koleksi perpustakaan masih
belum dikelola secara professional.
Sesuai dengan
perkembangan waktu, keberadaan taman bacaan semakin dirasakan sebagai kebutuhan
untuk mendukung kegiatan lembaga induknya, yaitu Pesma Al Hikam dan STAI Ma’had
Aly (STAIMA),maka sejak tahun 2003 bersamaan dengan berdirinya STAI Ma’had Aly
(STAIMA), unit tersebut menjadi unit perpustakaan dan pusat informasi yang
dikelola secara professional oleh para pustakawan ahli yang terdiri dari 2 orang
sarjana perpustakaan, 1 orang tenaga teknisi perpustakaan, 2 orang tenaga bantu
yang memiliki kualifikasi kemapuan bahasa Inggris dan bahasa Arab.
Kini koleksi
yang dimiliki oleh perpustakaan sampai tahun 2011 mencapai 5850 judul,, 15.992
eksemplar yang dilengkapi dengan barkode dan terekam dalam pangkalan data (
database ) dan dilengkapi dengan opac ( online public acces catalogue ) dan
jaringan internet. Disamping itu memiliki koleksi virtual library yang
berjumlah 68 judul dengan subyek alqur’an, tafsir, hadits, bahasa Arab, bahasa
Inggris, kajian keislaman. Koleksi tersebut terpasang dalam OPAC (Online Public
Acces Catalouge).
Adapun profile
koleksi perpustakaan akan disajikan dalam lampiran didasarkan pengelompokan
klasifikasi persepuluhan dewey.
Sejak tahun 2006, unit perpustakaan dan pusat
informasi menempat gedung baru terdiri dari dua lantai dengan ukuran 10 X 20
meter2 dengan membawahi unit, laboratorium komputer, laboratorium bahasa,
rental computer, warnet dan foto copy.[20]
Beberapa unit
pendidikan Peantren Mahasiswa Al-Hikam tersebut di atas, ditopang oleh
unit-unit yang lain sebagai pendukung proses terselenggaranya pendidikan di
Pesantren Mahasiswa Al-Hikam. Adapun unit-unit tersebut adalah 1) Unit-Unit Usaha, meliputi Koppontren Al-Hikam, Apotek Al-Hikam, dan
Fotocopy Al-Hikam, 2) Organisasi Santri Pesantren Mahasiswa Al-Hikam, kemudian
disingkan menjadi OSPAM, 3) Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) STAI Ma’had Aly
Al-Hikam, 4) POSKESTREN, 5) AISAL (Al-Hikam Integrated Self Access Learning),
6) Laboatorium Bahasa, 7) Pengembangan
Bahasa, dan 8) fasilitas Olahraga dan Seni.[21]
D.
Analisa
Lembaga-lemabaga pendidikan di bawah
yayasan Pesantren Mahasiswa Al-Hikam adalah, 1) STAI Ma’had Aly Al-Hika, 2)
Dirosah, 3) KBIH, 4) ALQEC, 5) Muhadharah, dan 6) perpustakaan. Setelah
melakukan paparan data di atas, penulis ingin menganalisis beberapa lembaga
pendidikan di atas yang kemudian berusaha ditemukan model pendidikan dari
setiap lembaga pendidikan di bawah Pesantran Mahasiswa Al-Hikam. Oleh karena
itu, pada akhirnya akan dapat ditarik benang merah tentang model pendidikan
Pesantren Mahasiswa Al-Hikam.
Yang pertama adalah STAI
Ma’had Aly Al-Hikam yang selanjutnya disebut STAIMA, jika kita melihat latar
belakang berdirinya, visi dan misi, serta kurikulum STAIMA, maka pendidikan
yang diselenggarakan di STAIMA adalah model pendidikan post-tradisional. Hal
ini karena dua sebab, yang pertama adalah materi pendidikan yang diajarkan di
STAIMA sebagian besar masih fokus pada kitab-kitab peninggalan ulama zaman
dahulu yang dikenal dengan turiots, akan tetamateri tersebut dibungkus
dengan pendekatan-pendekatan modern dan diintegrasikan dengan ilmu-ilmu umum
dan sains. Kedua, penguatan metodologi serta bahasa (Arab dan Inggris) menjadi
hal yang urgen yang harus didalami oleh Mahasiswa STAIMA. Selain itu, seiring
perkembangan teknologi, Mahasiswa STAIMA juga diberikan mata kuliah ilmu
computer dan teknologi untuk menunjang aktifitas ilmiyah mereka di STAIMA.
Kedua, adalah Dirosah. Kegiatan dirosah pada paparan data terklasifikasi
menjadi dua yaitu dirosah dan pengajian kepengasuhan. Jika kita melihat metode
dan materi yang diajarkan baik pada dirosah, maupun pada pengajia kepengasuhan,
Nampak jelas bahwa model pendidikannya juga beraliran post-tradisional. Pada
dirosah, misalnya, proses pembelajarannya dilaksanakan dalam kelas, atau
berbentuk klasikal. Pada model ini, metode pembelajaran yang digunakan umunya
komunikasi dua arah, yaitu guru ke murid dan murid ke guru. Komunikasi,
sharing, diskusi, atau bahkan klarisikasi ilmiyah sangat mungkin terjadi dalam
model pembelajaran seperti ini. Pun demikian dengan materi yang diajarkan yang
tidak hanya materi tentang keagamaan, akan tetapi logika, retorika, filsafat,
bahasa, dan metodologi juga diajarkan dalam dirosah ini. Hal sebailknya terjadi
pada pengajian kepengasuhan, metode yang digunakan adalah bandongan. Bandongan
adalah terminology bagi suatu proses pembelajaran yang dilaksanakan ditempat
yang luas, di sana terdapat murid dalam jumlah besar serta seorang kiai/ustadz.
Metode ini biasanya adalah ceramah dengan membacakan kitab dan menjelaskan
isinya, tanpa ada sesi pertanyaan, justifikasi, dan bahkan klarifikasi ilmiyah.
Adapaun materi yang diajarkan adalah masalah tasawuf dengan kitab Ihya’
Ulumuddin, karya Imam Al-Ghozali, kifayatul aqiya’ dan tafsir Jalalain. Oleh
karena itu, menurut hemat penulis, dirosah lebih terkesan modern, sedangkan
pengajian kepengasuhan cenderung tradisional. Dengan demikian, kesimpulan dari
penulis, kegiatan dirosah ini adalah model pendidikan post-tradisional.
Ketiga adalah Muhadharah. Muhadarah adalah salah satu program rutin minggu
santri Pesantren Mahasiswa al-Hikam. Program rutin ini dilaksana tiap minggu
pada hari kamis malam setelah sholat Maghrib berjama’ah. Tujuan dari adanya
program ini adalah sharing ilmu, sebagaimana cita-cita awal Pengasuh
Pesantren Mahasiswa al-Hikam, yaitu ingin mendialogkan antara ilmu agama dan
sains. Program Muhadharah ini bertujuan untuk merealisasikan niat mulia
Pengasuh. Karena niat awal adalah adalanya integrasi keilmuan di antara para
santri, maka kajian-kajian di Muhadarah ini bermuajan materi integratif. santri
yang kuliah di fakultas umum berbagi tentang ilmu yang di dapatnya kepada
santri yang kuliah di fakultas Agama. Oleh karena itu, santri Ma’had Aly yang
notabene adalah mahasiswa yang bergelut dalam ilmu Agama mendapat pngetahuan
berharga tentang ilmu umum, tekhnologi, dan sains, sedangkan Santri Pesma yang
bergelut dengan ilmu sains dapat mendalami pengetahuan agama lebih jauh
daripada yang diperoleh baik di Dirosah maupun Pengajian Kepengasuhan, karena
kegitan tersebut dibingkai dengan nuansa sharing ilmu pengetahuan, jauh dari
kesan suasana sungkan dan malu untuk mengungkapkan ide dan gagasannya, berbeda
dengan Dirosah yang meskipun dibuat klasikal, tetapi santri masih terlihat
kurang bisa mengungkakan ide dan gagasannya, apalagi pada pengajian
kepengasuhan yang disetting dengan model bandongan, dimana model
pembelajaran ini hanya mengandalkan komunikasi satu arah, hampir tidak ada sesi
untuk bertanya, mengungkapkan ide, atau bahkan klarifikasi. Oleh karena itu,
dalam kegiatan muhadharah, terjadi suatu kegiatan ilmiyah yang bersifat
integrative komunikatif. Permasalahan Agama berusaha didekati dari berbagai
macam ilmu pengetahuan, pun sebaliknya, persoalan-persoalan yang membutuhkan
status hukum dari agama, dibahas sedemikian rupa dengan metode santai dan
menyenangkan.
Keempat adalah Perpustakaan. Jika dianalogikan dengan fungsi hutan sebagai
jantung bagi bumi, maka perpustakaan adalah jantung bagi pendidikan. Tanpa adanya
perpustakaan, pendidikan seakan kehilangan separuh nyawanya. Karena
keberadaannya menentukan lancar-tidaknya proses pendidikan, dan banyak atau
tidak persoalan keilmuan yang diselesaikan lewat perpustakaan oleh para pelajar,
serta juga menentukan paradigma berfikir para pelajar. Karena keberadaan dan
perannya yang sangat urgen sekali terhadap pendidikan, maka biasanya
perpustakaan menjadi hal wajib yang harus ada untuk mendampingi lembaga
pendidikan. Koleksi buku-buku yang ada di perpustakaan biasanya disesuaikan
dengan model pendidikan yang diselenggarakan.
Adapun terkait dengan cara untuk
mengetahu model pendidikan yang diterapkan oleh suatu lembaga pendidikan,
koleksi buku dalam perpustakaan akan menentuka model suatu pendidikan. Seperti
diungkapkan dalam paparan data bahwa koleksi buku-buku di perpustakaan tidak
hanya buku-buku agama, akan tetapi ada juga Filsafat dan psikologi, Karya Umum,
Ilmu sosial, bahasa, sains, teknologi, seni, rekreasi & olahraga, sejarah,
ilmu bumi dan biografi. Koleksi buku-buku yang sangat integrative tersebut
memberikan kesan bahwa Pesantren Mahasiswa Al-Hikam adalah lembaga pendidikan
dengan model pendidikan post-tradisional.
E.
Kesimpulan
Model pendidikan yang
diselenggarakan oleh Pesantren Mahasiswa Al-Hikam adalah model pendidikan
post-tradisional. Pesantren ini menganut faham Al-Muhafadhotu ‘ala al-qodim
al-Sholih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah, yaitu mempertahankan
tradisi-tradisi lama yang dianggap baik, dan mengadopsi hal-hal baru yang
bersifat perubahan dan kemajuan. Pesantren ini, dalam beberapa hal
mempertahankan tradisi lama dan dalam hal yang lain, mengadopsi hal-hal baru
yang dianggap lebih baik untuk kemajuan dan perubahan kearah yang lebih baik.
Tradisi-tradisi ta’dhim kepada
Ustadz dan kyai, menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda
tetap dipertahankan karena bernafaskan islam dan norma sosial. Kemudian dalam
pendidikan, metode bandongan tetap dipertahankan, dalam rangka untuk memberikan
tausiyah baik oleh kyai atau ustadz kepada seluruh santri. Adapaun hal-hal yang
dianggap futuristic untuk kemajuan dan perubahan ke arah yang lebih baik,
diadopsi untuk merespon perkembangan zaman. Penguasan bahasa, logika, ilmu
pengetahuan modern, teknologi, integrasi ilmu dan sains, dan hal lainnya
menjadi bahan yang diadopsi oleh Pesantren Mahasiswa Al-Hikam dalam rangka
mencetak generasi yang menguasi ilmu pengetahuan dan teknologi sekaligus
memiliki fondasi kokoh yang berakar pada nilai-nilai moralitas dan spritualitas
Agama.
Daftar Pustaka
Tim Penyusun Buku “Visi, Misi dan Tradisi Pesantren Mahasiswa
Al-Hikam”, Malang, Cengger Ayam
WJB Poerwadarmita, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta,
Penerbit Balai Pustaka, cet. VI, 1982,
D.S. Peransi, Retradisionalisasi dalam Kebudayaan, Majalah
Prisma, No. 6, 1986,
S. Wojowaskito, & WJS Poerwadarminta, Kamus Lengkap: Inggris
Indonesia, Indonesia Inggris, Jakarta, Penerbit Husada, 1972,
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta,
Penerbit LP3ES, cet III,
Elizabeth K, Nottingham, Religion and Society; Agama dan
Masyarakat, terjemahan Abdul Muis Naharong, Jakarta, Penerbit Rajawali,
1985
Syarif Hidayatullah, Islam “Isme Isme”, Aliran dan Paham Islam
di Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010,
Yasmadi, Modernisasi Pesantren, Jakarta, Ciputat Press, 2002
http://al-hikam.or.id/category/s5-unit2/c23-alqec/, diakses pada hari Minggu 13 Januari 2013 jam 07.57
http://al-hikam.or.id/category/s5-unit2/c23-kbih/, diakses pada hari Minggu 13 Januari 2013 jam 07.43
http://al-hikam.or.id/category/s5-unit2/c19-perpustakaan/ diakses pada Hari minggu 13 Januari 2013, jam 07.59
[1] Tim Penyusun
Buku “Visi, Misi dan Tradisi Pesantren Mahasiswa Al-Hikam”, Malang,
Cengger Ayam, hlm 1
[2] WJB
Poerwadarmita, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Penerbit Balai
Pustaka, cet. VI, 1982, hl. 1088
[3] D.S. Peransi, Retradisionalisasi
dalam Kebudayaan, Majalah Prisma, No.6, 1986, hal. 9
[4] S.
Wojowaskito, & WJS Poerwadarminta, Kamus Lengkap: Inggris Indonesia,
Indonesia Inggris, Jakarta, Penerbit Husada, 1972, hal. 215
[5] Lihat, Deliar
Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta, Penerbit
LP3ES, cet III, hal. 241
[6] Elizabeth K,
Nottingham, Religion and Society; Agama dan Masyarakat, terjemahan Abdul
Muis Naharong, Jakarta, Penerbit Rajawali, 1985, hal.37
[7] Syarif
Hidayatullah, Islam “Isme Isme”, Aliran dan Paham Islam di Indonesia, Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, 2010, hal. 71
[8] Yasmadi, Modernisasi
Pesantren, Jakarta, Ciputat Press, 2002, hal. 121
[9] Tim Penyusun
Buku “Visi, Misi dan Tradisi Pesantren Mahasiswa Al-Hikam”, Malang,
Cengger Ayam, hlm 1-2
[10] Tim Penyusun
Buku “Visi, Misi dan Tradisi Pesantren Mahasiswa Al-Hikam”, Malang,
Cengger Ayam, hlm 5
[15] Kegiatan
belajar mengajar yang dilaksanakan setelah sholat maghrib biasa disebut dengan
Dirosah, sedangkan kegiatan belajar mengajar yang dilaksanakan setelah sholat
Shubuh biasa disebut Pengajian Kepengasuhan.
[16] Tim Penyusun
Buku “Visi, Misi dan Tradisi Pesantren Mahasiswa Al-Hikam”, Malang,
Cengger Ayam, hlm 16
[17] http://al-hikam.or.id/category/s5-unit2/c23-alqec/, diakses pada
hari Minggu 13 Januari 2013 jam 07.57
[18] http://al-hikam.or.id/category/s5-unit2/c23-kbih/, diakses pada
hari Minggu 13 Januari 2013 jam 07.43
[19] Santri
Pesantren Mahasiswa al-Hikam terklasifikasi menjadi dau, yaitu pertama
adalah santri yang kuliah STAI Ma’had Aly Al-Hikam pada Prodi PAI dan tinggal
di Pesantren Mahasiswa Al-Hikam, yang kemudian biasa disebut sebagai santri
Ma’had Aly. Kedua adalah santri yang kuliah di Perguruan tinggi di luar al-Hikam, seperti di UB, UM, UIN, UMM,
Unisma, dll, dan tinggal di pesantren al-Hikam, yang kemudian biasa disebut
sebagai santri Pesma.
[20] http://al-hikam.or.id/category/s5-unit2/c19-perpustakaan/ diakses pada
Hari minggu 13 Januari 2013, jam 07.59
[21] Tim Penyusun
Buku “Visi, Misi dan Tradisi Pesantren Mahasiswa Al-Hikam”, Malang,
Cengger Ayam, hlm
1 komentar:
Artikel yang komprehensif, terima kasih inspirasinya
Kunjungi juga ya blog sy http://brillyelrasheed.blogspot.com atau http://sby-corporation.blogspot.com.
Posting Komentar