Oleh: Ach. Sayyid, S.Pd.I
A.
PENDAHULUAN
Kita sudah mengetahui, bahwa tafsir merupakan pengetahuan yang
membahas maksud-maksud Allah yang terkandung dalam al-Qur’an sesuai dengan
kemampuan manusia. Oleh karena itulah, tafsir merupakan salah satu ilmu yang
paling agung dan tinggi kedudukannya, disebabkan obyek pembahasannya yaitu
kalamullah yang sangat mulia dan banyak dibutuhkan orang.
Adanya corak-corak penafsiran yang beragam adalah sebagai bukti
akan kebebasan penafsiran al-Qur’an. Corak-corak tafsir yang ada atau dikenal
selama ini adalah corak bahasa , corak filsafat dan teologi, corak penafsiran
ilmiah, corak fiqih, tasawuf dan corak sastra budaya dan kemasyarakatan dan
yang lainnya.
Seiring berkembangnya aliran sufi. Merekapun menafsirkan al-Qur’an
sesuai dengan faham sufi yang mereka anut. Pada umumnya kaum sufi memahami
ayat-ayat al-Qur’an bukan sekedar dari lahir yang tersurat saja. Namun mereka
memahaminya secara bathin atau yang tersirat.
Namun penulis, di dalam makalah ini akan mencoba lebih fokus
membahas corak tafsir yang bercorak “TAFSIR
SUFI NADHARI”. Selamat berdiskusi, yang saya harapkan dari
teman-teman kritik dan saran yang bisa menyempurnakan tulisan makalah ini.
B.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Tafsir Sufi
Kata
sufi ini mempunyai banyak pengertian salah satunya ialah bahwa sufi (صوف) berasal dari madli
dan mudlari’ (صا ف-يصو ف ) yang mempunyai arti
tenunan dari bulu domba (woll) merujuk pada jubah yang dikenakan oleh orang
muslim yang bergaya hidup sederhana. Namun, tidak semua orang sufi memakai
jubah atau pakaian dari wol.[1]
Sebagian ulama berpendapat bahwa kata sufi berasal
dari madli dan mudlari’ صفا- يصفو yang mempunyai arti
jernih, bersih. Hal ini menaruh penekanan pada memurnian hati dan jiwa. Dapat
diambil kesimpulan dari dua pengertian di atas bahwa seorang sufi atau sufisme
yaitu orang yang hidup sederhana, menjauhi urusan dunia (zuhud) dan
memurnikan hati untuk mendekatkan diri kepada Allah.[2]
Tafsir sufi adalah penafsiran al-Qur’an yang berlainan
dengan dzhahirnya ayat karena adanya petunjuk-petunjuk yang tersirat. Dan hal
itu dilakukan oleh orang-orang sufi, orang yang berbudi luhur dan terlatih
jiwanya (Mujahadah), diberi sinar oleh Allah SWT sehingga dapat
menjangkau rahasia-rahasia al-Qur’an. Mereka menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an
sesuai dengan pembahasan dan pemikiran mereka yang berhunbungan dengan kesufian
yang justru kadang-kadang berlawanan dengan “Syari’at Islam” dan kadang-kadang
pemikiran mereka tertuju pada hal yang bukan tentang Islam.
2.
Sejarah Lahirnya Tafsir Sufi
Timbulnya tasawuf dalam Islam salah satunya
dikarenakan adanya segolongan umat Islam yang belum merasa puas dengan
pendekatan diri kepada Tuhan melalui ibadat, puasa dan haji. Mereka ingin
merasa lebih dekat lagi dengan Tuhan dengan cara hidup menuju Allah dan
membebaskan diri dari keterikan mutlak pada kehidupan duniawi, sehingga tidak
diperbudak harta atau tahta, atau kesenangan dunia lainnya. Kecenderungan
seperti ini secara umum terjadi pada kalangan kaum muslim angkatan pertama.
Al-Dzahabi membenarkan bahwa praktik tasawuf semacam di atas telah dikenal
sejak masa awal Islam, banyak diantara sahabat yang melakukan praktik tasawuf
yaitu hidup dalam zuhud, ibadah dan yang lainnya, tetapi masa itu tidak dikenal
istilah tasawuf.[3]
Selain itu pada generasi berikutnya sekitar abad ke-2
H, secara berangsur-berangsur terjadi pergeseran nilai sehingga orientasi
kehidupan dunia menjadi lebih berat. Ketika itulah angkatan pertama kaum muslim
yang mempertahankan pola hidup sederhana lebih dikenal dengan kaum sufiyah.
Pada masa ini pulalah istilah tasawuf mulai dikenal. Dan orang yang dianggap
pertama kali menggunakan istilah sufi adalah Hasyim al-Sufi yang wafat tahun
150 H.
Praktik-praktik zuhud yang dilakukan ulama
generasi pertama dan kedua berlanjut sampai pada masa pemerintahan Abbasiyah,
ketika itu umat Islam mengalami kemakmuran yang melimpah, sehingga dikalangan
atas dan menengah terdapat pola kehidupan mewah. Pada masa itu gerakan tasawuf
juga mengalami perkembangan yang tidak terbatas hanya pada praktik hidup
sederhana saja, tetapi mulai ditandai dengan berkembangnya suatu cara
penjelasan teoritis yang kelak menjadi suatu disiplin ilmu yang disebut dengan
ilmu tasawuf.
Pada masa ini tasawuf telah mengalami percampuran
dengan filsafat dan kalam, sehingga muncullah apa yang dikenal dengan tasawuf
nadhari dan tasawuf ‘amali. Tasawuf nadhari yaitu yang menjadikan tasawuf
sebagai kajian dan pembahasan.
C. MACAM-MACAM TAFSIR SUFI
Seperti yang diketahui bersama, bahwa tasawuf itu
sendiri terbagi menjadi dua, yaitu: tasawuf nadzari dan tasawuf ‘amali. Tasawuf
nadhari adalah tasawuf yang didasarkan pada pengkajian keilmuan tasawuf,
sedangkan tasawuf ‘amali adalah tasawuf yang didasarkan pada kehidupan yang
meninggalkan kesenangnan duniawi, kezuhudan dan menggunakan seluruh waktu untuk
melakukan ibadah kepada Allah. Masing-masing dari kedua bagian ini memiliki
pengaruh terhadapa penafsiran al-Qur’an. Hal ini juga menyebabkan penafsiran
sufistik terbagi dalam dua bagian, yaitu tafsir sufistik nadhari dan tafsir
sufistik isyari (sufi).[4]
1.
Tafsir Sufi Nadhari
Tafsir Sufi Nadhari adalah tafsir sufi yang dibangun
untuk mempromosikan dan memperkuat teori-teori mistik yang dianut mufassir.
Dalam menafsirkannya itu mufassir membawa al-Qur’an melenceng jauh dari tujuan
utamanya yaitu untuk kemaslahatan manusia, tetapi yang ada adalah penafisran
pra konsepsi untuk menetapkan teori mereka. Az-Dzahabi mengatakan bahwa tafsir
sufi nadhari dalam praktiknya adalah penafsiran al-Qur’an yang tidak
memperhatikan segi bahasa serta apa yang dimaksudkan oleh syara’.[5]
Ulama yang dianggap kompeten dalam tafsir tasawuf
teoritis (nadhari) yaitu Muhyiddin al-‘Arabi dianggap sebagai ulama
tafsir sufi nadhari yang menyandarkan beberapa teori-teori tasawufnya dengan
al-Qur’an. Karya tafsir Ibn al-‘Arabi adalah seorang sufi yang dikenal dengan paham
wahdatul wujudnya. Wahdah al-wujud dalam teori sufi adalah paham
adanya persatuan anatara manusia dengan Tuhan.
a.
Pengaruh Teori-teori Filsafat Terhadap
(pemikiran) Ibn ‘Arabi
Sebagai contoh, Dia menafsirkan ayat yang sesuai
dengan teori-teori filsafat kosmik. Ketika menafsirkan firman Allah SWT,
tentang Nabi Idris as:
çm»oY÷èsùuur
$ºR%s3tB $Î=tæ
ÇÎÐÈ
Dan kami telah
mengangkatnya ke martabat yang tinggi (QS. Maryam, 19:57).
Ia
berkata, “kedudukan yang paling tinggi adalah tempat yang menjadi proses alam
falak, yaitu falak matahari. Di sana ada maqam ruhani milik Nabi Idris as. Di
bawahnya adalah tujuh falak dan di atasnya juga ada tujuh falak, dan falak
matahari itu adalah falak ke lima belas.” Kemudian, Ia menyebutkan beberapa
falak yang ada di bawahnya dan tujuh falak yang ada di atasnya. Ia berkata,
“Adapun kedudukan yang tinggi, yaitu milik kita yakni umat Nabi Muhammad SAW,
sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT.
xsù
(#qãZÎgs?
(#þqããôs?ur n<Î)
ÉOù=¡¡9$#
ÞOçFRr&ur
tböqn=ôãF{$# ª!$#ur öNä3yètB `s9ur
óOä.uÏIt öNä3n=»uHùår&
ÇÌÎÈ
Janganlah kamu lemah
dan minta damai padahal kamulah ang di atas dan Allah pun bersamamu dan Dia
sekali-kali tidak akan mengurangi pahala amal-amal mu. (QS.
Muhammad:35).
Ada di tempat
yang tinggi ini. Ketinngian itu berkaitan dengan tempat, bukan berkaitan dengan
kedudukan.[6]
Dan
contoh lain ketika menafsirkan firman Allah SWT. Dalam ayat 19-20 dari surah
al-Rahman:
ylttB
Ç`÷tóst7ø9$# Èb$uÉ)tGù=t
ÇÊÒÈ $yJåks]÷t/
Óyöt/ w Èb$uÉóö7t
ÇËÉÈ
Dia membiarkan
dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu. Diantara keduanya ada batas
yang tidak dilampaui oleh masing-masing
(al-Rahman:19-20).
Ia
berkata, “Dia membiarkan dua lautan mengalir yaitu lautan materi utama jasmani
(hayula jismani) yang rasanya asin dan lautan ruh murni (mujarrad) yang rasanya
tawar yang keduanya kemudian bertemu dalam eksistensi manusia. Diantara
keduanya ada batas yaitu nafsu hewani yang bukan dalam kejernihan dan
kelembutan ruh murni, dan bukan pula dalam banyak dan kasatnya jasad-jasad
materi pertama (ajsad hayula) yang tidak dilampaui oleh masing-masing yakni
yang satu tidak melewati batas yang lain sehingga menguasainya dengan
spesifikasinya, sehingga ruh tidak meninggalkan badan, tidak mengeluarkannya,
dan tidak pula menjadikannya termasuk dari bagian jenisnya, dan badan pun tidak
menjadikan ruh sebagai fisik dan menjadikannya materi ...Maha suci pencipta
segenap makhluk dan Mahakuasa atas apapun yang dikehendaki-Nya.”[7]
b.
Pengaruh Teori Wahdah Al-Wujud dalam Tafsirnya
Demikian
pula, kita melihat Ibn ‘Arabi, dalam menafsirkan al-Qur’an, terpengaruh oleh
teori Wanhdah Al-Wujud yang merupakan unsur terpenting dalam bangunan
tasawufnya. Kita sering menemukan dia menjelaskan beberapa ayat berdasarkan
teori ini. Bahkan, dia menafsirkan ayat-ayat itu diluar konteks yang
dikehendaki oleh Allah SWT.
Seperti
contoh, ketika menafsirkan ayat pertama dari surah al-Nisa’:
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# (#qà)®?$#
ãNä3/u Ï%©!$#
/ä3s)n=s{
`ÏiB <§øÿ¯R
;oyÏnºur
t,n=yzur $pk÷]ÏB
$ygy_÷ry
£]t/ur $uKåk÷]ÏB
Zw%y`Í
#ZÏWx. [ä!$|¡ÎSur 4 (#qà)¨?$#ur
©!$# Ï%©!$#
tbqä9uä!$|¡s?
¾ÏmÎ/
tP%tnöF{$#ur
4 ¨bÎ) ©!$# tb%x.
öNä3øn=tæ $Y6Ï%u ÇÊÈ
Hai sekalian
manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari yang satu,
dan darinya Allah menciptakan istrinya: dan dari keduanya Allah
memperkembang-biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah
kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawasi kamu (QS. Annisa:1).
Dia
berkata, “bertakwalah kepa Tuhanmu yakni jadikanlah apa yang tampak pada kalian
sebagai perlindungan bagi Tuhan kalian dan jadikanlah apa yang tersembunyi dari
kalian yaitu Tuhan kalian sebagai perlindungan bagi kalian, karena suatu hal
bisa menjadi tercela dan bisa juga menjadi terpuji. Maka jadikanlah
perlindungan-Nya dari hal-hal yang tercela dan jadikanlah Dia dan perlindungan
kalian dari hal-hal yang terpuji, niscaya kalian menjadi cerdik-cendekia.[8]
Dan
ketika menafsirkan ayat 29-30 dari surat Al-Fajr yang berbunyi:
Í?ä{÷$$sù Îû
Ï»t6Ïã ÇËÒÈ Í?ä{÷$#ur
ÓÉL¨Zy_
ÇÌÉÈ
Maka masuklah
ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku. (QS.
Al-Fajr:29-30).
Menurut
tafsirannya adalah masuklah ke dalam diri kamu (manusia) untuk mengetahui
Tuhanmu karena Tuhan itu adalah diri kamu sendiri (manusia). Manusia untuk bisa
mengetahui Tuhan yang ada pada dirinya adalah dengan menyingkap penutup yang
ada pada diri manusia yaitu nafsu insaniyah. Jika kamu telah masuk ke dalam
surga-Nya maka kamu telah masuk dalam diri kamu, dan mengetahui akan Tuhan
yaitu ada dalam dirimu. Dengan perkataan lain bahwa kamu (manusia) adalah Tuhan
dan dan kamu juga adalah hamba.
Sementara
itu ad-Dzahabi juga menjelaskan karakteristik atau ciri-ciri dalam penafsiran
nadhari yang dapat diringkas sebagai berikut:
Pertama, dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an tafsir nadhari sangat besar
dipengaruhi oleh filsafat. Az-Zahabi memberikan contoh tafsir nadhari yang
dipengaruhi filasafat yaitu penafsiran Ibn al-’Arabi terhadap ayat 57 dari
surat Maryam : ورفعناه مكانا عليا Menurut az-Zahabi penafsiran Ibn al-’Arabi tersebut sangat dipengaruhi oleh
pemikiran filasafat alam yaitu dengan menafsirkan lafazh makanan ‘aliyyan
dengan antariksa (alam bintang).
Kedua, di dalam tafsir nadhari, hal-hal yang gaib dibawa ke dalam sesuatu
yang nyata atau tampak dengan perkataan lain meng-qiyas-kan yang gaib pada
nyataan.
Ketiga, terkadang tidak memperhatikan kaidah-kaidah nahwu dan hanya
menafsirkan apa yang sejalan dengan ruh dan jiwa sang mufassir.
2. Tafsir Sufi Isyari
Tafsir Isyari adalah penakwilan ayat-ayat Al-Quran dengan makna yang
berbeda dari makna lahiriahnya berdasarkan tuntutan isyarat-isyarat tersembunyi
yang tampak kepada para penempuh jalan spiritual (arbab al-suluk). Mungkin juga
makna batiniah dan makna lahiriah itu diaplikasikan secara bersama-sama.[9] Yang
menjadi asumsi dasar mereka dengan menggunakan tafsir isyari adalah bahwa
al-Qur’an mencakup apa yang zhahir dan batin. Makna lahir (zhahir) dari
al-Qur’an adalah teks ayat sedangkan makna batinnya adalah makna isyarat yang
ada dibalik makna tersebut.
Seorang ulama sufi Nasiruddin Khasr mengatakan bahwa penafsiran nash
al-Qur’an yang hanya melihat zhahir-nya, hanya merupakan badan atau pakaian
akidah sehingga diperlukan tafsir atau penafsiran yang dalam dengan menelusuri
di balik makna lahir tersebut dan itu adalah ruhnya, sehingga bagaimana mungkin
badan bisa hidup tanpa ruh. Dan begitu, bukan berarti ulama tasawuf menolak
makna lahir, mereka tetap menerima makna lahir dan menelusuri makna batin untuk
mengetahui hikmah-hikmah yang ada di balik makna lahir tersebut. Imam al-Gazali
seorang ulama tasawuf, beliau tidak menolak secara mutlak apa yang ada dari
makna lahir. Untuk bisa memahami makna batin tidak bisa dilakukan oleh akal
atau ra’yi, sehingga beliau sangat menolak yang namanya tafsir dengan ra’yi
(akal).[10]
Metode yang dipakai dalam tafsir tasawuf secara umum adalah metode isyarat
(Isyarah). Isyarat di sini maksudnya adalah menyingkap apa yang ada di dalam
makna lahir suatu ayat untuk mengetahui hikmah-hikmahnya. Mereka menggunakan
kata “Isyarat” adalah untuk membedakannya dari ta’wil yang selalu dinisbatkan
kepada tujuan buruk. Padahal metode isyarah yang digunakan oleh mereka dalam
praktiknya lebih banyak sama dengan takwil. Para ulama sufi juga berpendapat
bahwa hasil penafsiran mereka terhadap al-Qur’an tidak disebut sebagai tafsir,
karena hal itu sama saja dengan membatasi makna al-Qur’an dengan cara pemaknaan
dan penafsiran, dan mereka lebih menyebutnya dengan “isyarah”.
Lahir-Batin merupakan konsep yang dipergunakan oleh kaum sufi untuk
melandasi pemikirannya dalam menafsirkan al-Qur’an khusunya dan melihat dunia
pada umumnya. Pola sistem berpikir mereka adalah berangkat dari yang zhahir
menuju yang batin. Bagi mereka batin adalah sumber pengetahuan sedangkan zhahir
(teks) adalah penyinar. Al-Gazali sendiri menegaskan bahwa selain yang zahir,
al-Qur’an memiliki makna batin. Abdullah (Al-Muhasibi) memberikan penjelasan
pernyataan tersebut, bahwa yang dimaksud dengan yang zahir adalah bacaannya,
dan yang batin adalah takwilnya. Sementara Abu Abdurrahman mengatakan bahwa
yang dimaksud dengan zhahir adalah bacaanya sementara yang batin adalah
pemahamannya.
Baik makna zhahir ataupun makna batin pada al-Qur’an adalah dari Allah.
Lahir adalah turunnya (tanzil) al-Quran dari Allah kepada para nabi dengan
bahasa umatnya, sedangkan batin adalah adanya pemahaman di hati sebagian orang
mukmin (hati al-arifin), yang berasal dari Allah. Oleh karena itu dulisme
lahir-batin dalam wacana Al-Qur’an, pemahaman dan penakwilannya tidak
dikembalikan kepada manusia, tetapi kepada Allah. Sebab Allah menjadikan segala
sesuatu (makhluk) memiliki dimensi zhahir dan batin (dan al-Qur’an termasuk
makhluk). Yang zhahir adalah bentuk yang bisa diindera (al-Shurah al-Hissiyah)
dan yang batin adalah al-Ruh al-Ma’nawi.
Semua tafsir isyari tidak bisa begitu saja diterima tetapi harus memenuhi
syarat-syarat yang tidak boleh ditinggalkan oleh mufsir. Syarat-syarat tersebut
adalah sebagai berikut.[11]
1. Penafsiran Isyari
tidak boleh menafikan apa yang dimaksudkan makna zhahir.
2. Harus ada nas lain
yang menguatkannya.
3. Tidak bertentangan
dengan syara’ dan akal.
4. Harus diawali dengan
penafsiran terhadap makna lahir, dan memungkinkan adanya makna lain selain
makan zhahir.[12]
Contoh penafsiran
isyari yang dapat diterima karena telah memenuhi syarat-syarat tersebut di
atas, yaitu penafsiran al-Tastary ketika menafsirkan ayat 22 dari surat
al-Baqarah :
Ï%©!$#(
xsù
(#qè=yèøgrB
¬!
#Y#yRr&
öNçFRr&ur
cqßJn=÷ès?
ÇËËÈ
Janganlah kamu
mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.
Beliau al-Tastary menafsirkan andadan yaitu nafsu amarah yang jelek.[13] Jadi
maksud andadan disini bukan hanya patung-patung, setan atau jiwa tetapi nafsu
amarah yang sering dijadikan Tuhan oleh manusia adalah perihal yang dimaksud
dari ayat tersebut, karena manusia selalu menyekutukan Tuhannya dengan selalu
menjadi hamba bagi nafsu amarahnya.
Menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan melihat isyarat yang ada di dalamnya
telah banyak dilakukan oleh para sahabat Nabi, diantaranya penafsiran isyari
sahabat yaitu ketika para sahabat mendengar ayat pertama dari surat al-Nasr
ayat 1 yang bunyinya:
#sÎ)
uä!$y_
ãóÁtR
«!$#
ßx÷Gxÿø9$#ur
ÇÊÈ
Apabila telah datang pertolongan
Allah dan kemenangan (QS. An-Nashr:1)
Diantara mereka ada yang mencoba memberikan penafsiran ayat tersebut dengan
mengatakan bahwa ayat tersebut memerintahkan kepada mereka untuk bersyukur
kepada Allah dan meminta ampunannya. Tetapi berbeda dengan Ibn Abbas yang
mengatakan bahwa ayat tersebut adalah sebagai tanda ajal Rasulullah saw. Contoh
lainnya adalah ayat tiga dari surat al-Maidah yang dianggap oleh sebagian ulama
sebagai ayat yang terakhir diturunkan. ‘Umar ibn al-Khatab ketika mendengar
ayat tersebut beliau menangis tidak seperti sahabat yang lain yang ketika
mendengar ayat ini sangat gembira. Dalam sebuah riwayat Ibnu Abi Syaibah
menyatakan bahwa ketika ayat ini diturunkan ‘Umar ibn al-Khatab menangis,
lantas Nabi bertanya: “apa yang kamu tangisi (‘Umar)” ? “saya menangisi bahwa
sesungguhnya kita telah bertambah dalam agama kita, maka ada tidak sesuatu yang
sempurna lagi kecuali tambah berkurang”.
Dan adapun contoh
tafsir sufi isyari seperti Tafsir al-Qur’ān al-Azhim, karya Sahl al-Tustari
(w.283 H). Haqa’iq al-Tafsir karya Abu Abd al-Rahman al-Sulamī (w.412 H).
Lata’if al-Isyarat karya al-Qusyairi, dan ‘Ara’is al-Bayan fī Haqa’iq al-Qur’ān
karya al-Syirazī (w.606).
D. PERBEDAAN ANTARA TAFSIR SUFI NADHARI DAN TAFSIR SUFI ISYARI
Az-Zahabi memeberikan penjelasan mengenai perbedaan antara tafsir sufi
nadzari dengan tafsir sufi isyari sebagai berikut.[14]
1) Tafsir sufi nadzari
dibangun atas dasar pengetahuan ilmu sebelumnya yang ada dalam seorang sufi
yang kemudian menafsirkan al-Qur’an yang dijadikan sebagai landasan tasawufnya.
Adapun tafsir sufi isyari bukan didasarkan pada adanya pengetahuan ilmu
sebelumnya, tetapi didasari oleh ketulusan hati seorang sufi yang mencapai
derajat tertentu sehingga tersingkapnya isyarat-isyarat al-Qur’an.
2) Dalam tafsir sufi
nadzari seorang sufi berpendapat bahwa semua ayat al-Qur’an mempunyai
makna-makna tertentu dan bukan makna lain yang di balik ayat. Adapun dalam
tafsir sufi isyari asumsi dasarnya bahwa ayat-ayat al-Qur’an mempunyai makna
lain yang ada di balik makna lahir. Dengan perkataan lain bahwa al-Qur’an
terdiri dari makna zahir dan batin.
Dalam sejarah tasawuf, pada sekitar abad keempat telah terjadi pergulatan
yang tajam antara ahli hakikat yang diperankan oleh para ahli tasawuf dan ahli
syariah yang dimainkan oleh para fuqaha. Tetapi setelah itu al-Ghazali berusaha
menyatukan kembali antara keduanya dengan menulis berbagai kitab, terutama yang
terkenal diantara kitabnya adalah Ihya ‘Ulumuddin. Al-Ghazali sebagai seorang
yang dulunya filosof berpendapat bahwa dalam Islam antara syariah dan hakikat tidak
bisa dipisahkan dan tidak bisa mengambil salah satu dari keduanya.
Dalam menafsirkan ayat-ayat fiqh, mereka juga menggunakan pendekatan
isyarat. Ayat-ayat tentang perintah seperti shalat, zakat dan yang lainnya,
tetap diterima sebagaimana para ahli fuqaha tetapi yang berbeda adalah bahwa
para ahli tasawuf tidak hanya sebatas mengetahui hal itu wajib atau tidak
tetapi menelusuri apa yang yang ada dibalik isyarat tersebut untuk menegtahui
hikamah-hikmahnya. Dan hal ini tidak bisa dilakukan oleh para fuqaha.
Contoh-contoh penafsiran ulama tasawuf tentang ayat-ayat syariah atau fiqh
di antaranya: Ayat-ayat tentang kewajiban menutupi aurat. Ibn al-‘Arabi dalam
kitabnya al-Futuhat al-Makkiyat sebagaimana dikutip oleh Ignaz Goldziher
menafsirkannya sebagai berikut. Beliau mengatakan bahwa secara syariah menutup
aurat adalah merupakan kewajiban, adapun makna batin dari syariah ini adalah
wajib bagi setiap orang berakal untuk menutupi rahasia Tuhan, dan apabila
membukakan rahasia Tuhan, dia bukan termasuk orang yang berakal dan berilmu.[15]
Dari contoh-contoh di atas, terlihat jelas bahwa ulama tasawuf tidak
menolak syariah. Mereka tetap berpegang pada syariah dan hakikat. Terhadap
orang-orang yang lebih mementingkan syariah, al-Gazali sangat kecewa, karena
mereka hanya memahami syariah (Islam) secara lahirnya saja tidak bisa
menelusuri isyarat-isyarat yang ada di balik perintah syariat dan
hikmah-hikmahnya. Para ahli tasawuf yang tetap menjalankan syariat-syariat
Islam mereka adalah tasawuf Islamy. Dikatakan tasawuf Islamy karena ada di
antara para sufi yang dalam praktiknya hanya mementingkan hakikat tanpa
meperhatikan syariat. Karena di dalam Islam syariat dan hakikat adalah seperti
dua mata uang yang tidak bisa dipisahkan.
D. KESIMPULAN
1. Tafsir shufi adalah tafsir yang ditulis oleh para sufi yang mereka lebih
mementingkan bathinnya lafal daripada lahirnya.
2. Dalam tafsir shufi terdapat dua corak tafsir, yaitu; tafsir sufi nazhari
dan tafsir sufi isy’ari.
3. Tafsir sufi nazhari adalah tafsir produk sufi teoritis, sedangkan tafsir
sufi isyari adalah tafsir produk sufi praktis.
4. Tafsir
sufi seharusnya steril dari dimensi sektarianisme, karena ia diklaim bersumber
dari Tuhan yang adalah sumber dari segala kebenaran.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Dzahabi, Muhammad Huseyn, al-Tafsir wa Mufassirun,
(Kairo:Mu’assasah at-Tariqh al-‘arabiyah, 1396H/ 1976 M) juz II cet. II
Al-Suyuti, Jalaludin, Al-Itqan fil ‘Ulum Al-Qur’an, (Beirut: Dar
al-Fikr, 1951)
Al-Ghazali,
Abi Hamid Muhamamd bin Muhammad, Ihya ‘Ulul Al-Din, (Beirut;Dar Ihya
Turas Al-‘Arabi)
Faudah, Mahmud Basuni, Tafsir-tafsir Al-quran
Perkenalan dengan Metode Tafsir, (Bandung Penerbit Pustaka, 1987)
Ignaz goldziher, Madzhab
Tafsir, terj. Alaika Salamulah et.al Yogya: eLSAQ Press, 2006.
Muqaddimah Ibn Khaldûn
Muhyi al-Din ibn al-‘Arabi, Al-Futûhât Al-Makkiyyah, makkah :
1202-1231
Sahl al-Tustari ,Tafsîr Al-Qur’ân Al-‘Azhim
Muhyi al-Din ibn al-‘Arabi, Tafsir Ahkam al-Qur’an , Darul KUtub
ilmiyah Beirut volume : 4
Muhyi al-Din ibn al-‘Arabi,Fushûsh Al-Hikam ,damaskus :1229
[1] Juhaya S.
Praja, Tafsir Hikmah, hal. 13.
[2] Muhammad
Huseyn al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Kairo: Mu’assasah al-Tarikh
al-‘arabiyah, 1396 H/1976 M). Juz II, cet. II hlm. 236.
[3] Muhammad
Huseyn al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Kairo: Mu’assasah al-Tarikh
al-‘arabiyah, 1396 H/1976 M). Juz II, cet. II hlm. 251
[4] Ibid,
hlm, 237.
[5] Ibid,
hlm 238.
[6] Fushush
al-Hiikam: 1/26
[7] Tafsir Ibn
‘Arabi, Juz 2, hlm. 280.
[8] Al-Fushush,
juz 1, hlm. 50
[9] Muhammad
Huseyn al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Kairo: Mu’assasah al-Tarikh
al-‘arabiyah, 1396 H/1976 M). Juz II, cet. II hlm. 245.
[10] Abi Hamid
Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulul Al-Din, (Beirut; Dar Ihya
Turas Al-‘Arabi)
[11] Muhammad Huseyn
al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Kairo: Mu’assasah al-Tarikh
al-‘arabiyah, 1396 H/1976 M). Juz II, cet. II hlm. 263.
[12] Manna’ Khalil
al-Qattan, Al-Itqon fi Ulumil Qur’an, juz 2, hlm. 184
[13] Tafsir Qur’an
al-‘adzhim li At-Tastary, hlm 14
[14] Muhammad
Huseyn al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Kairo: Mu’assasah al-Tarikh
al-‘arabiyah, 1396 H/1976 M). Juz II, cet. II hlm. 267
[15] Ignas,
Goldziher, Madzahib at-Tafsir, ter. Abdul Halim al-Najar, Dar Iqra’,
Beirut, 1983, hlm. 32
0 komentar:
Posting Komentar