Sabtu, 02 Februari 2013

TAFSIR SUFI NADHARI


Oleh: Ach. Sayyid, S.Pd.I
A.       PENDAHULUAN
Kita sudah mengetahui, bahwa tafsir merupakan pengetahuan yang membahas maksud-maksud Allah yang terkandung dalam al-Qur’an sesuai dengan kemampuan manusia. Oleh karena itulah, tafsir merupakan salah satu ilmu yang paling agung dan tinggi kedudukannya, disebabkan obyek pembahasannya yaitu kalamullah yang sangat mulia dan banyak dibutuhkan orang.
Adanya corak-corak penafsiran yang beragam adalah sebagai bukti akan kebebasan penafsiran al-Qur’an. Corak-corak tafsir yang ada atau dikenal selama ini adalah corak bahasa , corak filsafat dan teologi, corak penafsiran ilmiah, corak fiqih, tasawuf dan corak sastra budaya dan kemasyarakatan dan yang lainnya.
Seiring berkembangnya aliran sufi. Merekapun menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan faham sufi yang mereka anut. Pada umumnya kaum sufi memahami ayat-ayat al-Qur’an bukan sekedar dari lahir yang tersurat saja. Namun mereka memahaminya secara bathin atau yang tersirat.
Namun penulis, di dalam makalah ini akan mencoba lebih fokus membahas corak  tafsir yang bercorak TAFSIR SUFI NADHARI”. Selamat berdiskusi, yang saya harapkan dari teman-teman kritik dan saran yang bisa menyempurnakan tulisan makalah ini.
B.       PEMBAHASAN
1.         Pengertian Tafsir Sufi
Kata sufi ini mempunyai banyak pengertian salah satunya ialah bahwa sufi (صوف) berasal dari madli dan mudlari’ (صا ف-يصو ف ) yang mempunyai arti tenunan dari bulu domba (woll) merujuk pada jubah yang dikenakan oleh orang muslim yang bergaya hidup sederhana. Namun, tidak semua orang sufi memakai jubah atau pakaian dari wol.[1]
Sebagian ulama berpendapat bahwa kata sufi berasal dari madli dan mudlari’         صفا- يصفو yang mempunyai arti jernih, bersih. Hal ini menaruh penekanan pada memurnian hati dan jiwa. Dapat diambil kesimpulan dari dua pengertian di atas bahwa seorang sufi atau sufisme yaitu orang yang hidup sederhana, menjauhi urusan dunia (zuhud) dan memurnikan hati untuk mendekatkan diri kepada Allah.[2]
Tafsir sufi adalah penafsiran al-Qur’an yang berlainan dengan dzhahirnya ayat karena adanya petunjuk-petunjuk yang tersirat. Dan hal itu dilakukan oleh orang-orang sufi, orang yang berbudi luhur dan terlatih jiwanya (Mujahadah), diberi sinar oleh Allah SWT sehingga dapat menjangkau rahasia-rahasia al-Qur’an. Mereka menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan pembahasan dan pemikiran mereka yang berhunbungan dengan kesufian yang justru kadang-kadang berlawanan dengan “Syari’at Islam” dan kadang-kadang pemikiran mereka tertuju pada hal yang bukan tentang Islam.
2.         Sejarah Lahirnya Tafsir Sufi
Timbulnya tasawuf dalam Islam salah satunya dikarenakan adanya segolongan umat Islam yang belum merasa puas dengan pendekatan diri kepada Tuhan melalui ibadat, puasa dan haji. Mereka ingin merasa lebih dekat lagi dengan Tuhan dengan cara hidup menuju Allah dan membebaskan diri dari keterikan mutlak pada kehidupan duniawi, sehingga tidak diperbudak harta atau tahta, atau kesenangan dunia lainnya. Kecenderungan seperti ini secara umum terjadi pada kalangan kaum muslim angkatan pertama. Al-Dzahabi membenarkan bahwa praktik tasawuf semacam di atas telah dikenal sejak masa awal Islam, banyak diantara sahabat yang melakukan praktik tasawuf yaitu hidup dalam zuhud, ibadah dan yang lainnya, tetapi masa itu tidak dikenal istilah tasawuf.[3]
Selain itu pada generasi berikutnya sekitar abad ke-2 H, secara berangsur-berangsur terjadi pergeseran nilai sehingga orientasi kehidupan dunia menjadi lebih berat. Ketika itulah angkatan pertama kaum muslim yang mempertahankan pola hidup sederhana lebih dikenal dengan kaum sufiyah. Pada masa ini pulalah istilah tasawuf mulai dikenal. Dan orang yang dianggap pertama kali menggunakan istilah sufi adalah Hasyim al-Sufi yang wafat tahun 150 H.
Praktik-praktik zuhud yang dilakukan ulama generasi pertama dan kedua berlanjut sampai pada masa pemerintahan Abbasiyah, ketika itu umat Islam mengalami kemakmuran yang melimpah, sehingga dikalangan atas dan menengah terdapat pola kehidupan mewah. Pada masa itu gerakan tasawuf juga mengalami perkembangan yang tidak terbatas hanya pada praktik hidup sederhana saja, tetapi mulai ditandai dengan berkembangnya suatu cara penjelasan teoritis yang kelak menjadi suatu disiplin ilmu yang disebut dengan ilmu tasawuf.
Pada masa ini tasawuf telah mengalami percampuran dengan filsafat dan kalam, sehingga muncullah apa yang dikenal dengan tasawuf nadhari dan tasawuf ‘amali. Tasawuf nadhari yaitu yang menjadikan tasawuf sebagai kajian dan pembahasan.
C.       MACAM-MACAM TAFSIR SUFI
Seperti yang diketahui bersama, bahwa tasawuf itu sendiri terbagi menjadi dua, yaitu: tasawuf nadzari dan tasawuf ‘amali. Tasawuf nadhari adalah tasawuf yang didasarkan pada pengkajian keilmuan tasawuf, sedangkan tasawuf ‘amali adalah tasawuf yang didasarkan pada kehidupan yang meninggalkan kesenangnan duniawi, kezuhudan dan menggunakan seluruh waktu untuk melakukan ibadah kepada Allah. Masing-masing dari kedua bagian ini memiliki pengaruh terhadapa penafsiran al-Qur’an. Hal ini juga menyebabkan penafsiran sufistik terbagi dalam dua bagian, yaitu tafsir sufistik nadhari dan tafsir sufistik isyari (sufi).[4]
1.         Tafsir Sufi Nadhari
Tafsir Sufi Nadhari adalah tafsir sufi yang dibangun untuk mempromosikan dan memperkuat teori-teori mistik yang dianut mufassir. Dalam menafsirkannya itu mufassir membawa al-Qur’an melenceng jauh dari tujuan utamanya yaitu untuk kemaslahatan manusia, tetapi yang ada adalah penafisran pra konsepsi untuk menetapkan teori mereka. Az-Dzahabi mengatakan bahwa tafsir sufi nadhari dalam praktiknya adalah penafsiran al-Qur’an yang tidak memperhatikan segi bahasa serta apa yang dimaksudkan oleh syara’.[5]
Ulama yang dianggap kompeten dalam tafsir tasawuf teoritis (nadhari) yaitu Muhyiddin al-‘Arabi dianggap sebagai ulama tafsir sufi nadhari yang menyandarkan beberapa teori-teori tasawufnya dengan al-Qur’an. Karya tafsir Ibn al-‘Arabi adalah seorang sufi yang dikenal dengan paham wahdatul wujudnya. Wahdah al-wujud dalam teori sufi adalah paham adanya persatuan anatara manusia dengan Tuhan.

a.         Pengaruh Teori-teori Filsafat Terhadap (pemikiran) Ibn ‘Arabi
Sebagai contoh, Dia menafsirkan ayat yang sesuai dengan teori-teori filsafat kosmik. Ketika menafsirkan firman Allah SWT, tentang Nabi Idris as:                                                    
çm»oY÷èsùuur $ºR%s3tB $Î=tæ ÇÎÐÈ  
Dan kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi (QS. Maryam, 19:57).

Ia berkata, “kedudukan yang paling tinggi adalah tempat yang menjadi proses alam falak, yaitu falak matahari. Di sana ada maqam ruhani milik Nabi Idris as. Di bawahnya adalah tujuh falak dan di atasnya juga ada tujuh falak, dan falak matahari itu adalah falak ke lima belas.” Kemudian, Ia menyebutkan beberapa falak yang ada di bawahnya dan tujuh falak yang ada di atasnya. Ia berkata, “Adapun kedudukan yang tinggi, yaitu milik kita yakni umat Nabi Muhammad SAW, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT.



Ÿxsù (#qãZÎgs? (#þqããôs?ur n<Î) ÉOù=¡¡9$# ÞOçFRr&ur tböqn=ôãF{$# ª!$#ur öNä3yètB `s9ur óOä.uŽÏItƒ öNä3n=»uHùår& ÇÌÎÈ       
Janganlah kamu lemah dan minta damai padahal kamulah ang di atas dan Allah pun bersamamu dan Dia sekali-kali tidak akan mengurangi pahala amal-amal mu. (QS. Muhammad:35).

Ada di tempat yang tinggi ini. Ketinngian itu berkaitan dengan tempat, bukan berkaitan dengan kedudukan.[6]  

Dan contoh lain ketika menafsirkan firman Allah SWT. Dalam ayat 19-20 dari surah al-Rahman:
ylttB Ç`÷ƒtóst7ø9$# Èb$uÉ)tGù=tƒ ÇÊÒÈ   $yJåks]÷t/ Óˆyöt/ žw Èb$uÉóö7tƒ ÇËÉÈ  
Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu. Diantara keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing (al-Rahman:19-20).

Ia berkata, “Dia membiarkan dua lautan mengalir yaitu lautan materi utama jasmani (hayula jismani) yang rasanya asin dan lautan ruh murni (mujarrad) yang rasanya tawar yang keduanya kemudian bertemu dalam eksistensi manusia. Diantara keduanya ada batas yaitu nafsu hewani yang bukan dalam kejernihan dan kelembutan ruh murni, dan bukan pula dalam banyak dan kasatnya jasad-jasad materi pertama (ajsad hayula) yang tidak dilampaui oleh masing-masing yakni yang satu tidak melewati batas yang lain sehingga menguasainya dengan spesifikasinya, sehingga ruh tidak meninggalkan badan, tidak mengeluarkannya, dan tidak pula menjadikannya termasuk dari bagian jenisnya, dan badan pun tidak menjadikan ruh sebagai fisik dan menjadikannya materi ...Maha suci pencipta segenap makhluk dan Mahakuasa atas apapun yang dikehendaki-Nya.”[7]
b.         Pengaruh Teori Wahdah Al-Wujud dalam Tafsirnya
Demikian pula, kita melihat Ibn ‘Arabi, dalam menafsirkan al-Qur’an, terpengaruh oleh teori Wanhdah Al-Wujud yang merupakan unsur terpenting dalam bangunan tasawufnya. Kita sering menemukan dia menjelaskan beberapa ayat berdasarkan teori ini. Bahkan, dia menafsirkan ayat-ayat itu diluar konteks yang dikehendaki oleh Allah SWT.
Seperti contoh, ketika menafsirkan ayat pertama dari surah al-Nisa’:
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# (#qà)®?$# ãNä3­/u Ï%©!$# /ä3s)n=s{ `ÏiB <§øÿ¯R ;oyÏnºur t,n=yzur $pk÷]ÏB $ygy_÷ry £]t/ur $uKåk÷]ÏB Zw%y`Í #ZŽÏWx. [ä!$|¡ÎSur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# Ï%©!$# tbqä9uä!$|¡s? ¾ÏmÎ/ tP%tnöF{$#ur 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3øn=tæ $Y6ŠÏ%u ÇÊÈ 
Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari yang satu, dan darinya Allah menciptakan istrinya: dan dari keduanya Allah memperkembang-biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu (QS. Annisa:1).

Dia berkata, “bertakwalah kepa Tuhanmu yakni jadikanlah apa yang tampak pada kalian sebagai perlindungan bagi Tuhan kalian dan jadikanlah apa yang tersembunyi dari kalian yaitu Tuhan kalian sebagai perlindungan bagi kalian, karena suatu hal bisa menjadi tercela dan bisa juga menjadi terpuji. Maka jadikanlah perlindungan-Nya dari hal-hal yang tercela dan jadikanlah Dia dan perlindungan kalian dari hal-hal yang terpuji, niscaya kalian menjadi cerdik-cendekia.[8]
Dan ketika menafsirkan ayat 29-30 dari surat Al-Fajr yang berbunyi:
Í?ä{÷Š$$sù Îû Ï»t6Ïã ÇËÒÈ   Í?ä{÷Š$#ur ÓÉL¨Zy_ ÇÌÉÈ  
Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku. (QS. Al-Fajr:29-30).

Menurut tafsirannya adalah masuklah ke dalam diri kamu (manusia) untuk mengetahui Tuhanmu karena Tuhan itu adalah diri kamu sendiri (manusia). Manusia untuk bisa mengetahui Tuhan yang ada pada dirinya adalah dengan menyingkap penutup yang ada pada diri manusia yaitu nafsu insaniyah. Jika kamu telah masuk ke dalam surga-Nya maka kamu telah masuk dalam diri kamu, dan mengetahui akan Tuhan yaitu ada dalam dirimu. Dengan perkataan lain bahwa kamu (manusia) adalah Tuhan dan dan kamu juga adalah hamba.
Sementara itu ad-Dzahabi juga menjelaskan karakteristik atau ciri-ciri dalam penafsiran nadhari yang dapat diringkas sebagai berikut:
Pertama, dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an tafsir nadhari sangat besar dipengaruhi oleh filsafat. Az-Zahabi memberikan contoh tafsir nadhari yang dipengaruhi filasafat yaitu penafsiran Ibn al-’Arabi terhadap ayat 57 dari surat Maryam : ورفعناه مكانا عليا Menurut az-Zahabi penafsiran Ibn al-’Arabi tersebut sangat dipengaruhi oleh pemikiran filasafat alam yaitu dengan menafsirkan lafazh makanan ‘aliyyan dengan antariksa (alam bintang).
Kedua, di dalam tafsir nadhari, hal-hal yang gaib dibawa ke dalam sesuatu yang nyata atau tampak dengan perkataan lain meng-qiyas-kan yang gaib pada nyataan.
Ketiga, terkadang tidak memperhatikan kaidah-kaidah nahwu dan hanya menafsirkan apa yang sejalan dengan ruh dan jiwa sang mufassir.
2.    Tafsir Sufi Isyari
Tafsir Isyari adalah penakwilan ayat-ayat Al-Quran dengan makna yang berbeda dari makna lahiriahnya berdasarkan tuntutan isyarat-isyarat tersembunyi yang tampak kepada para penempuh jalan spiritual (arbab al-suluk). Mungkin juga makna batiniah dan makna lahiriah itu diaplikasikan secara bersama-sama.[9] Yang menjadi asumsi dasar mereka dengan menggunakan tafsir isyari adalah bahwa al-Qur’an mencakup apa yang zhahir dan batin. Makna lahir (zhahir) dari al-Qur’an adalah teks ayat sedangkan makna batinnya adalah makna isyarat yang ada dibalik makna tersebut.
Seorang ulama sufi Nasiruddin Khasr mengatakan bahwa penafsiran nash al-Qur’an yang hanya melihat zhahir-nya, hanya merupakan badan atau pakaian akidah sehingga diperlukan tafsir atau penafsiran yang dalam dengan menelusuri di balik makna lahir tersebut dan itu adalah ruhnya, sehingga bagaimana mungkin badan bisa hidup tanpa ruh. Dan begitu, bukan berarti ulama tasawuf menolak makna lahir, mereka tetap menerima makna lahir dan menelusuri makna batin untuk mengetahui hikmah-hikmah yang ada di balik makna lahir tersebut. Imam al-Gazali seorang ulama tasawuf, beliau tidak menolak secara mutlak apa yang ada dari makna lahir. Untuk bisa memahami makna batin tidak bisa dilakukan oleh akal atau ra’yi, sehingga beliau sangat menolak yang namanya tafsir dengan ra’yi (akal).[10]
Metode yang dipakai dalam tafsir tasawuf secara umum adalah metode isyarat (Isyarah). Isyarat di sini maksudnya adalah menyingkap apa yang ada di dalam makna lahir suatu ayat untuk mengetahui hikmah-hikmahnya. Mereka menggunakan kata “Isyarat” adalah untuk membedakannya dari ta’wil yang selalu dinisbatkan kepada tujuan buruk. Padahal metode isyarah yang digunakan oleh mereka dalam praktiknya lebih banyak sama dengan takwil. Para ulama sufi juga berpendapat bahwa hasil penafsiran mereka terhadap al-Qur’an tidak disebut sebagai tafsir, karena hal itu sama saja dengan membatasi makna al-Qur’an dengan cara pemaknaan dan penafsiran, dan mereka lebih menyebutnya dengan “isyarah”.
Lahir-Batin merupakan konsep yang dipergunakan oleh kaum sufi untuk melandasi pemikirannya dalam menafsirkan al-Qur’an khusunya dan melihat dunia pada umumnya. Pola sistem berpikir mereka adalah berangkat dari yang zhahir menuju yang batin. Bagi mereka batin adalah sumber pengetahuan sedangkan zhahir (teks) adalah penyinar. Al-Gazali sendiri menegaskan bahwa selain yang zahir, al-Qur’an memiliki makna batin. Abdullah (Al-Muhasibi) memberikan penjelasan pernyataan tersebut, bahwa yang dimaksud dengan yang zahir adalah bacaannya, dan yang batin adalah takwilnya. Sementara Abu Abdurrahman mengatakan bahwa yang dimaksud dengan zhahir adalah bacaanya sementara yang batin adalah pemahamannya.
Baik makna zhahir ataupun makna batin pada al-Qur’an adalah dari Allah. Lahir adalah turunnya (tanzil) al-Quran dari Allah kepada para nabi dengan bahasa umatnya, sedangkan batin adalah adanya pemahaman di hati sebagian orang mukmin (hati al-arifin), yang berasal dari Allah. Oleh karena itu dulisme lahir-batin dalam wacana Al-Qur’an, pemahaman dan penakwilannya tidak dikembalikan kepada manusia, tetapi kepada Allah. Sebab Allah menjadikan segala sesuatu (makhluk) memiliki dimensi zhahir dan batin (dan al-Qur’an termasuk makhluk). Yang zhahir adalah bentuk yang bisa diindera (al-Shurah al-Hissiyah) dan yang batin adalah al-Ruh al-Ma’nawi.
Semua tafsir isyari tidak bisa begitu saja diterima tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang tidak boleh ditinggalkan oleh mufsir. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut.[11]
1. Penafsiran Isyari tidak boleh menafikan apa yang dimaksudkan makna zhahir.
2. Harus ada nas lain yang menguatkannya.
3. Tidak bertentangan dengan syara’ dan akal.
4. Harus diawali dengan penafsiran terhadap makna lahir, dan memungkinkan adanya makna lain selain makan zhahir.[12]
Contoh penafsiran isyari yang dapat diterima karena telah memenuhi syarat-syarat tersebut di atas, yaitu penafsiran al-Tastary ketika menafsirkan ayat 22 dari surat al-Baqarah :
Ï%©!$#( Ÿxsù (#qè=yèøgrB ¬! #YŠ#yRr& öNçFRr&ur šcqßJn=÷ès? ÇËËÈ 
Janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.
Beliau al-Tastary menafsirkan andadan yaitu nafsu amarah yang jelek.[13] Jadi maksud andadan disini bukan hanya patung-patung, setan atau jiwa tetapi nafsu amarah yang sering dijadikan Tuhan oleh manusia adalah perihal yang dimaksud dari ayat tersebut, karena manusia selalu menyekutukan Tuhannya dengan selalu menjadi hamba bagi nafsu amarahnya.
Menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan melihat isyarat yang ada di dalamnya telah banyak dilakukan oleh para sahabat Nabi, diantaranya penafsiran isyari sahabat yaitu ketika para sahabat mendengar ayat pertama dari surat al-Nasr ayat 1 yang bunyinya:
#sŒÎ) uä!$y_ ãóÁtR «!$# ßx÷Gxÿø9$#ur ÇÊÈ  
Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan (QS. An-Nashr:1)
Diantara mereka ada yang mencoba memberikan penafsiran ayat tersebut dengan mengatakan bahwa ayat tersebut memerintahkan kepada mereka untuk bersyukur kepada Allah dan meminta ampunannya. Tetapi berbeda dengan Ibn Abbas yang mengatakan bahwa ayat tersebut adalah sebagai tanda ajal Rasulullah saw. Contoh lainnya adalah ayat tiga dari surat al-Maidah yang dianggap oleh sebagian ulama sebagai ayat yang terakhir diturunkan. ‘Umar ibn al-Khatab ketika mendengar ayat tersebut beliau menangis tidak seperti sahabat yang lain yang ketika mendengar ayat ini sangat gembira. Dalam sebuah riwayat Ibnu Abi Syaibah menyatakan bahwa ketika ayat ini diturunkan ‘Umar ibn al-Khatab menangis, lantas Nabi bertanya: “apa yang kamu tangisi (‘Umar)” ? “saya menangisi bahwa sesungguhnya kita telah bertambah dalam agama kita, maka ada tidak sesuatu yang sempurna lagi kecuali tambah berkurang”.
Dan adapun contoh tafsir sufi isyari seperti Tafsir al-Qur’ān al-Azhim, karya Sahl al-Tustari (w.283 H). Haqa’iq al-Tafsir karya Abu Abd al-Rahman al-Sulamī (w.412 H). Lata’if al-Isyarat karya al-Qusyairi, dan ‘Ara’is al-Bayan fī Haqa’iq al-Qur’ān karya al-Syirazī (w.606).
D. PERBEDAAN ANTARA TAFSIR SUFI NADHARI DAN TAFSIR SUFI ISYARI
Az-Zahabi memeberikan penjelasan mengenai perbedaan antara tafsir sufi nadzari dengan tafsir sufi isyari sebagai berikut.[14]
1) Tafsir sufi nadzari dibangun atas dasar pengetahuan ilmu sebelumnya yang ada dalam seorang sufi yang kemudian menafsirkan al-Qur’an yang dijadikan sebagai landasan tasawufnya. Adapun tafsir sufi isyari bukan didasarkan pada adanya pengetahuan ilmu sebelumnya, tetapi didasari oleh ketulusan hati seorang sufi yang mencapai derajat tertentu sehingga tersingkapnya isyarat-isyarat al-Qur’an.
2) Dalam tafsir sufi nadzari seorang sufi berpendapat bahwa semua ayat al-Qur’an mempunyai makna-makna tertentu dan bukan makna lain yang di balik ayat. Adapun dalam tafsir sufi isyari asumsi dasarnya bahwa ayat-ayat al-Qur’an mempunyai makna lain yang ada di balik makna lahir. Dengan perkataan lain bahwa al-Qur’an terdiri dari makna zahir dan batin.
Dalam sejarah tasawuf, pada sekitar abad keempat telah terjadi pergulatan yang tajam antara ahli hakikat yang diperankan oleh para ahli tasawuf dan ahli syariah yang dimainkan oleh para fuqaha. Tetapi setelah itu al-Ghazali berusaha menyatukan kembali antara keduanya dengan menulis berbagai kitab, terutama yang terkenal diantara kitabnya adalah Ihya ‘Ulumuddin. Al-Ghazali sebagai seorang yang dulunya filosof berpendapat bahwa dalam Islam antara syariah dan hakikat tidak bisa dipisahkan dan tidak bisa mengambil salah satu dari keduanya.
Dalam menafsirkan ayat-ayat fiqh, mereka juga menggunakan pendekatan isyarat. Ayat-ayat tentang perintah seperti shalat, zakat dan yang lainnya, tetap diterima sebagaimana para ahli fuqaha tetapi yang berbeda adalah bahwa para ahli tasawuf tidak hanya sebatas mengetahui hal itu wajib atau tidak tetapi menelusuri apa yang yang ada dibalik isyarat tersebut untuk menegtahui hikamah-hikmahnya. Dan hal ini tidak bisa dilakukan oleh para fuqaha.
Contoh-contoh penafsiran ulama tasawuf tentang ayat-ayat syariah atau fiqh di antaranya: Ayat-ayat tentang kewajiban menutupi aurat. Ibn al-‘Arabi dalam kitabnya al-Futuhat al-Makkiyat sebagaimana dikutip oleh Ignaz Goldziher menafsirkannya sebagai berikut. Beliau mengatakan bahwa secara syariah menutup aurat adalah merupakan kewajiban, adapun makna batin dari syariah ini adalah wajib bagi setiap orang berakal untuk menutupi rahasia Tuhan, dan apabila membukakan rahasia Tuhan, dia bukan termasuk orang yang berakal dan berilmu.[15]
Dari contoh-contoh di atas, terlihat jelas bahwa ulama tasawuf tidak menolak syariah. Mereka tetap berpegang pada syariah dan hakikat. Terhadap orang-orang yang lebih mementingkan syariah, al-Gazali sangat kecewa, karena mereka hanya memahami syariah (Islam) secara lahirnya saja tidak bisa menelusuri isyarat-isyarat yang ada di balik perintah syariat dan hikmah-hikmahnya. Para ahli tasawuf yang tetap menjalankan syariat-syariat Islam mereka adalah tasawuf Islamy. Dikatakan tasawuf Islamy karena ada di antara para sufi yang dalam praktiknya hanya mementingkan hakikat tanpa meperhatikan syariat. Karena di dalam Islam syariat dan hakikat adalah seperti dua mata uang yang tidak bisa dipisahkan.
D.    KESIMPULAN
1. Tafsir shufi adalah tafsir yang ditulis oleh para sufi yang mereka lebih mementingkan bathinnya lafal daripada lahirnya.
2. Dalam tafsir shufi terdapat dua corak tafsir, yaitu; tafsir sufi nazhari dan tafsir sufi isy’ari.
3. Tafsir sufi nazhari adalah tafsir produk sufi teoritis, sedangkan tafsir sufi isyari adalah tafsir produk sufi praktis.
4. Tafsir sufi seharusnya steril dari dimensi sektarianisme, karena ia diklaim bersumber dari Tuhan yang adalah sumber dari segala kebenaran.


















DAFTAR PUSTAKA
Al-Dzahabi, Muhammad Huseyn, al-Tafsir wa Mufassirun, (Kairo:Mu’assasah at-Tariqh al-‘arabiyah, 1396H/ 1976 M) juz II cet. II
Al-Suyuti, Jalaludin, Al-Itqan fil ‘Ulum Al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1951)
Al-Ghazali, Abi Hamid Muhamamd bin Muhammad, Ihya ‘Ulul Al-Din, (Beirut;Dar Ihya Turas Al-‘Arabi)
Faudah, Mahmud Basuni, Tafsir-tafsir Al-quran Perkenalan dengan Metode Tafsir, (Bandung Penerbit Pustaka, 1987)
Ignaz goldziher, Madzhab Tafsir, terj. Alaika Salamulah et.al Yogya: eLSAQ Press, 2006.
Muqaddimah Ibn Khaldûn
Muhyi al-Din ibn al-‘Arabi, Al-Futûhât Al-Makkiyyah, makkah : 1202-1231
Sahl al-Tustari ,Tafsîr Al-Qur’ân Al-‘Azhim
Muhyi al-Din ibn al-‘Arabi, Tafsir Ahkam al-Qur’an , Darul KUtub ilmiyah Beirut volume : 4
Muhyi al-Din ibn al-‘Arabi,Fushûsh Al-Hikam ,damaskus :1229











[1] Juhaya S. Praja, Tafsir Hikmah, hal. 13.
[2] Muhammad Huseyn al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Kairo: Mu’assasah al-Tarikh al-‘arabiyah, 1396 H/1976 M). Juz II, cet. II hlm. 236.
[3] Muhammad Huseyn al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Kairo: Mu’assasah al-Tarikh al-‘arabiyah, 1396 H/1976 M). Juz II, cet. II hlm. 251
[4] Ibid, hlm, 237.
[5] Ibid, hlm 238.
[6] Fushush al-Hiikam: 1/26
[7] Tafsir Ibn ‘Arabi, Juz 2, hlm. 280.
[8] Al-Fushush, juz 1, hlm. 50
[9] Muhammad Huseyn al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Kairo: Mu’assasah al-Tarikh al-‘arabiyah, 1396 H/1976 M). Juz II, cet. II hlm. 245.
[10] Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulul Al-Din, (Beirut; Dar Ihya Turas Al-‘Arabi)
[11] Muhammad Huseyn al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Kairo: Mu’assasah al-Tarikh al-‘arabiyah, 1396 H/1976 M). Juz II, cet. II hlm. 263.

[12] Manna’ Khalil al-Qattan, Al-Itqon fi Ulumil Qur’an, juz 2, hlm. 184
[13] Tafsir Qur’an al-‘adzhim li At-Tastary, hlm 14
[14] Muhammad Huseyn al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Kairo: Mu’assasah al-Tarikh al-‘arabiyah, 1396 H/1976 M). Juz II, cet. II hlm. 267

[15] Ignas, Goldziher, Madzahib at-Tafsir, ter. Abdul Halim al-Najar, Dar Iqra’, Beirut, 1983, hlm. 32

0 komentar:

Posting Komentar