Jumat, 01 Februari 2013

Tinjauan Kritis Tentang Pesantren: Antara Tuntutan Perubahan di Era Modernisasi dan Keharusan Menjaga Orisinalitas Budaya


Oleh: Ach. Sayyid, S.Pd.I

A.    Latar Belakang Masalah
Perkembangan Islam yang masuk ke Indonesia sejak abad ke-7 telah menciptakan perubahan yang besar terhadap ideologi dan budaya bangsa. Perubahan itu misalnya telah menyentuh aspek politik Indonesia dengan adanya sila pertama ”Ketuhanan Yang Maha Esa”, pengakuan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah berkat rahmat Allah yang terdapat dalam teks proklamasi dan pembukaan Undang-Undang 1945. Dalam aspek sosial, Islam telah diterima dandianut oleh mayoritas penduduk Indonesia. Dan dewasa ini Islam juga membawa perubahan dan perbaikan dalam aspek ekonomi, misalnya dengan munculnya bank-bank syariah, asuransi syariah dan kurikulum ekonomi Islam.
Peran dan pengaruh Islam yang lebih menonjol terlihat dalam aspek  pendidikan dan budaya bangsa. Dalam bidang pendidikan, Islam memberikan alternatif baru kepada para penganutnya. Dimulai dengan membentuk  pembelajaran sederhana antara guru dan murid di surau, mesjid dan rumah, sampai mendirikan lembaga pendidikan Islam seperti pesantren. Sedangkan dalam bidang budaya, Islam masuk dan berinterkasi dengan budaya lokal secara damai, bersifat terbuka dan tidak eksklusif. Pertempuran yang pernah dilakukan oleh pahlawan bangsa seperti Imam Bonjol dengan perang paderinya, Pangeran Diponegoro, Tengku Cik Di Tiro, Sultan Hasanuddin dan lain-lain, juga merupakan suatu usaha mempertahankan eksistensi agama Islam dalam budaya daerah masing-masing.
Di era modernisasi, pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tidak hanya bisa diam dan menjalankan metode dan sistem pembelajaran yang masih bersifat tradisional, jika tidak ingin tertinggal di belakang. Oleh karena itu, pesantren membutuhkan banyak perubahan dalam memenuhi tuntutan zaman. Berbagai ide dan opini pun bermunculan seiring dengan dimulainya modernisasi di dunia pesantren. Namun, pesantren tetap tidak bisa direkonstruksi secara penuh oleh paham modernisme di Indonesia. Karena pesantren, selain sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, juga merupakan aset budaya bangsa yang bersifat religius. Hal ini terlihat dari adanya unsur orisinalitas budaya, seperti bangunan pesantren, sistem asrama, beberapa jenis pengajaran yang diserap dari budaya daerah tertentu dan sebagainya. Jadi pesantren di era modernisasi menghadapi dilema yang sangat berat, di satu sisi ia harus berusaha untuk menyesuaikan diri dengan perubahan zaman yang menuntutnya meninggalkan sistem dan metode tradisional. Dan di sisi lain ia harus mempertahankan budaya luhur bangsa yang identik dengan religiusitas dan norma-norma agar tidak ikutdalam plagiatisasi budaya barat.

B.     Pesantren sebagai Lembaga Pendidikan Islam
Pondok pesantren secara etimologis terdiri dari pondok dan pesantren. Kata pondok merupakan serapan dari bahasa Arab yaitu funduq yang berarti hotel atau asrama.[1] Sedangkan dalam bahasa Indonesia pondok berarti madrasah tempat belajar agama Islam. Dan kata pesantren berasal dari kata santri yang dapat diartikan tempat santri. Kata santri berasal dari bahasa Sanskerta yaitu cantrik yang berarti orang yang selalu mengikuti guru, yang kemudian dikembangkan oleh Perguruan Taman Siswa dalam sistem asrama yang disebut pawiyatan Glosari istilah santri juga ada dalam bahasa Tamil yang berarti guru mengaji.[2]
Pengertian pesantren secara terminologi telah disampaikan oleh beberapa pengamat pendidikan Islam, salah satu definisi yang lengkap dan mencakup elemen-elemen pesantren adalah definisi yang dikemukakan oleh Imam Zarkashi dan Zamakhsyari Dhofier. Menurut mereka pesantren adalah lembaga pendidikan Islam dengan sistem asrama atau pondok, dimana kyai sebagai figur sentralnya, mesjid sebagai pusat kegiatan yang menjiwainya, dan pengajaran agama Islam dibawah bimbingan kyai yang diikuti santri sebagai kegiatan utamanya.[3] Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa elemen-elemen pesantren terdiri dari asrama atau pondok, kyai dan santri, serta mesjid dan pengajaran agama Islam.
Berdirinya pesantren disebabkan oleh beragam faktor, yang paling dominan adalah karena kebutuhan masyarakat atas pendidikan Islam itu sendiri, seperti yang terjadi pada zaman penjajahan Belanda dan berdirinya sekolah-sekolah umum yang menafikan eksistensi agama didalamnya. Atau karena sebab adanya seorang kyai atau guru yang diakui intelektual keislamannya oleh masyarakat. Masyarakat kemudian mempercayakan pembelajaran anak mudanya kepada guru tersebut hingga berdirilah suatu lembaga pesantren.
Jika suatu pesantren sudah menjadi besar dan ternama, maka seringkali lulusannya mendirikan cabang atau anak daru pesantren induk. Pola seperti ini banyak terjadi dalam sejarah perkembangan pesantren di Indonesia. Perkembangan ini tidak hanya terjadi hanya di pulau Jawa saja, namun juga di pulau lain seperti Sulawesi, Kalimantan dan Sumatra. Di Sumatra Barat bahkan nama surau Digantikan dengan nama pesantren, seperti Pesantren Modern Prof. Dr. Hamka. Pola perkembangan pesantren lebih jelas lagi dapat dibagi dalam beberapa bentuk  berikut:
Pertama, pesantren yang hanya terdiri dari mesjid dan rumah kiyai.Pesantren ini masih sangat sederhana di mana kyai menggunakan mesjid atau rumahnya untuk mengajar. Santri berasal dari daerah sekitar pesantren tersebut. Kedua, Pesantren yang terdiri dari mesjid, rumah kyai, pondok atau asrama. Pola ini telah dilengkapi dengan pondok yang disediakan bagi para santri yang dating dari daerah lain. Ketiga, Pesantren yang terdiri dari mesjid, rumah kyai, pondok atau asrama dan madrasah. Berbeda dengan yang pertama dan kedua, pola ini telah memakai sistem yang klasial, santri mendapat pengajaran di madrasah. Disamping itu, belajar mengaji, mengikuti pengajaran yang diberikan oleh kyai di pondok. Keempat , pesantren yang telah berubah kelembagaannya yang terdiri dari mesjid, rumah kyai, pondok atau asrama, madrasah dan tempat keterampilan. Pola ini dilengkapi dengan tempat-tempat keterampilan agar santri terampil dengan pekerjaan yang sesuai dengan sosial kemasyarakatannya, seperti pertanian, peternakan, jahit-menjahit dan sebagainya. Kelima, pola ini sama halnya dengan pola keempat ditambah dengan adanya universitas, gedung pertemuan, tempat olahraga dan sekolah umum. Pada pola ini pesantren merupakan lembaga pendidikan yang telah berkembang dan bisa dikatakan sebagai pesantren modern.[4]
Sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren pada dasarnya hanya mengajarkan agama, sedangkan sumber kajian atau mata pelajarannya ialah kitab-kitab dalam bahasa Arab. Kitab yang dikaji di pesantren umumnya kitab-kitab yang ditulis dalam abad pertengahan, yaitu antara abad ke-12 sampai dengan abad ke-15 atau lazim disebut dengan ”Kitab Kuning”. Adapun metode yang lazim digunakan dalam pendidikan pesantren ialah wetonan, sorogan, dan hafalan. Metode wetonan adalah metode kuliah dimana santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kyai yang menerangkan pelajaran. Santri menyimak kitab masing-masing dan mencatat jika perlu. Metode sorogan ialah suatu metode dimana santri menghadap guru atau kyai seorang demi seorang dengan membawa kitab yang akan dipelajarinya. Sedangkan metode hafalan ialah metode dimana santri menghafal teks atau kalimat tertentu dari kitab yang dipelajarinya. Biasanya cara menghafal ini diajarkan dalam bentuk sya’ir atau nazham. [5] Metode-metode ini masih berjalan ketat di beberapa pesantren saat ini, namun banyak juga pesantren yang telah berhasil mengkombinasikan metode pengajarannya dengan metode yang lebih modern dan komprehensif.
Berdasarkan materi pelajaran dan metode pengajaran, pesantren dibagi dalam dua bentuk; pesantren konvensional (dikenal juga dengan salafiyyah) dan pesantren kontemporer (dikenal dengan pesantren modern). Pesantren konvensional tidak mengenal suatu bentuk kurikulum yang baku. Pembelajaran biasanya berlangsung mengikuti pola pengajaran tuntas kitab yang dijadikan rujukan utama suatu pondok pesantren sesuai dengan keahlian kyainya. Dengan kata lain, pembelajaran yang dilangsungkan di pesantren berdasar pada tamat nya suatu kitab yang dipelajari, bukan pada pemahaman secara tuntas terhadap suatu topik bahasan dan juga tidak ditentukan lamanya santri belajar di pondok sebagaimana yang terjadi pada pesantren modern dengan sistem klasikalnya.
Kitab yang dipakai biasanya tidak dilengkapi dengan syakl atau harakah. Penjenjangan berdasarkan kitab yang dipelajari santri, dalam pelaksanaanya tidaklah menjadi suatu kemutlakan. Suatu pesantren dapat saja memberikan tambahan atau melakukan inovasi atau mengajarkan kitab-kitab yang lebih populer dan efektif. Adapun alokasi waktu dan mata pelajaran atau kitab yang diajarkan sehari-hari dapat ditentukan oleh kyai atau ustadz yang bertanggung jawab dalam bidang pendidikan dengan memperhatikan keadaan atau kondisi pesantren dari segi penyelenggaraan dan sumber daya manusia.[6] Metode yang biasa digunakan oleh pesantren ini adalah wetonan, sorogan dan hafalan.
Pada era globalisasi dan modernisasi mulai lahir dan berkembang pembaharuan pesantren. Produk dari pembaharuan ini adalah pesantren kontemporer. Pesantren ini merupakan reaksi terhadap menjamurnya sistem pendidikan yang diadopsi dari pemerintah kolonial Belanda.
Gerakan reformis muslim yang menemukan momentum sejak awal abad ke-20 berpendapat bahwa untuk menjawab tantangan kolonialisme dan kristenisasi diperlukan reformasi pendidikan Islam. Dalam konteks inilah dapat disaksikan munculnya dua bentuk lembaga pendidikan modern Islam. Pertama ,sekolah-sekolah umum model Belanda tetapi diberi muatan pengajaran Islam. Kedua, madrasah-madrasah modern yang secara terbatas mengadopsi substansi dan metodologi pendidikan modern Belanda. Dalam bentuk pertama dapat disebut, misalnya, Sekolah Adabiyah yang didirikan Abdullah Ahmad di Padang pada tahun 1909 dan sekolah-sekolah Muhammadiyah, sedangkan pada bentuk kedua ditemukan Sekolah Diniyah Zainuddin Labay el-Yunusi atau Sumatra Thawalib.[7]
Proses transformasi pesantren seperti ini banyak terjadi di era modernisasi. Para tokoh muslim berpendapat bahwa pendidikan Islam tidak boleh tertinggal di belakang hanya karena tidak mau melakukan pembaharuan. Selanjutnya pemakalah akan memberikan pembahasan tentang bagaimana pesantren berinteraksi dengan modernisasi di Indonesia.

C.    Pesantren dan Modernisasi
Modernisasi, yang dalam bentuk umum di Indonesia dalam dasawarsa terakhir lebih dikenal dengan istilah ”pembangunan” (development ) adalah proses multi-dimensional yang komplek. Dalam kaitannya dengan dunia pendidikan modernisasi umumnya dilihat dari dua segi. Pada satu segi, pendidikan dipandang sebagai suatu variabel modernisasi. Tanpa pendidikan yang memadai akan sulit bagi masyarakat manapun untuk mencapai tujuan. Sedangkan pada segi lain, pendidikan sering dianggap sebagai obyek modernisasi. Dalam konteks ini, pendidikan pada umumnya dipandang masih terbelakang dalam berbagai hal, dan karena itulah pendidikan harus diperbaharui, dibangun kembali atau dimodernisasi. Sistem pendidikan madrasah atau pondok pesantren yang memang secara tradisional merupakan merupakan kelembagaan pendidikan Islam indigeneus, juga dimodernisasi.[8]
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, modernisasi pesantren di Indonesia diawali oleh gerakan kaum reformis pada awal abad ke-20, sebagai reaksi terhadap modernisasi yang pernah dilakukan oleh Belanda terhadap sistem pendidikan Indonesia. Jika pada masa penjajahan, lahirnya pesantren merupakan respon masyarakat muslim Indonesia terhadap ketiadaan pengajaran agama Islam di sekolah-sekolah Belanda, maka modernisasi pesantren pasca kemerdekaan adalah bentuk respon yang lebih tajam terhadap modernisasi yang dominan berbau westernisasi. Indonesia pada dasarnya adalah negara yang menginginkan adanya modernisasi, tapi tetap menganggap bahwa westenisasi bukanlah syarat untuk mencapai modernisme.
Isu-isu pembaharuan pesantren sebenarnya telah diprakarsai oleh beberapa ulama muslim, diantaranya adalah K.H. Imam Zarkasyi, K.H. A. Wahid Hasyimdan K.H. Ahmad Dahlan. Di masa ini, masyarakat menaruh harapan yang sangat besar terhadap pesantren, seiring dengan visi dan misi pesantren untuk mendidik dan mengahsilkan insan kamil. Hanya saja, perjalanan pesantren dalam menjawab tantangan modernisme tidaklah mulus, banyak masalah yang sampai saat ini masih menjadi ganjalan untuk melangkah maju.
Permasalahan itu antara lain; pertama, pendanaan yang merupakan masalah paling serius di pesantren. Berbeda dengan sekolah umum atau perguruan tinggi, permasalahan pendanaan pesantren selain lokal-lokal balajar dan asrama, juga mencakup sarana konsumsi seperti dapur dan ruang makan menjadi agenda tambahan, lahan bermain, serta sarana olah raga, transportasi, sarana kesehatan,ruang inap tamu yang semuanya semakin memperluas medan kebutuhan pesantren sesuai dengan tuntutan zaman dan pola hidup yang berkembang dimasyarakat. Sedangkan pola swadaya pesantren dalam pembangunan biasanya menghidupkan kegiatan infaq dan shadaqoh dari kalangan masyarakat, wali santri dan bahkan dari pengelola pesantren sendiri. Kedua, pencitraan di mata umat dan bangsa. Pencitraan tersebut biasanya dikaitkan dengan kebersihan dan penataan lingkungan. Pencitraan lainnya adalah karena kegiatan pengumpulan dan pembangunan dengan pola jaringan dan delegasi pengumpul derma keliling kekampung-kampung juga meninggalkan kesan pesantren dan santri selalu”mengemis”. Dan ketiga, informasi dan publikasi yang agak tertinggal di pesantren.[9] Ini merupakan bentuk umum permasalah pesantren di era modernisasi.
Disamping itu, perlu ditegaskan bahwa pesantren tetap akan melakukan perubahan dan pembaharuan. Hal ini didukung oleh karakteristik pesantren yang khas dalam mengahadapi perubahan zaman, karakteristik tersebut adalah:
1.      Keilmuan pesantren muncul sebagai upaya pencerahan bagi kelangsungan peradaban manusia di dunia. Ini dapat dilakukan dengan upaya menafsirkan teks-teks Islam menjadi shālihun li kulli zamān, dinamis dan terbuka. Masalah-masalah keagamaan yang semula berada dalam wilayah yang tak terpikirkan (unthinkable) berubah menjadi wilayah yang terpikirkan (thinkable). Disamping itu keilmuan pesantren menolak terhadap upaya pensakralan pemikiran keagamaan (taqdīr al-afkār al-dīni).
2.       Karena pesantren dipandang sebagai lembaga pendidikan, maka kurikulum pengajarannya setidaknya memiliki orientasi terhadap dinamika kekinian. Maksudnya adalah keilmuan pesantren juga penting mengadopsi metode yang dikembangkan ilmu-ilmu sosial. Karenanya asumsi bahwa pendidikan pesantren itu melulu dengan doktrin itu dapat ditolak secara dini. Di pesantren, kajian mengenai doktrin keagamaan didekati melalui dua pendekatan yaitu normativitas dan historisitas. Misalnya disamping mempelajari ilmu fiqih, tafsir dan hadits juga dipelajari ushul al-fiqh, ’ulumal-tafsir dan ’ulum al-hadits.[10]
Karakteristik pesantren diatas bukan menjadi satu-satunya faktor yang mendukung semangat modernisasi pesantren, tetapi peran para ilmuan dan cendikiawan muslim di Indonesia pun memberi dukungan yang besar. Sedikitnya terdapat tiga tipologi para pemikir Islam kontemporer dalam merespon tradisi dan modernitas. Pertama, pemikir Islam konservatif. Kelompok ini memiliki paradigma pemikiran yang ideal-totalistik. Dalam memandang peradaban Islam menjadi idiologi yang paling ideal, dan karenanya menolak unsur-unsur asing yang datang dari Barat. Islam dipandang sudah final dan tidak memerlukan metode atau teori-teori import dari Barat. Hukum Islam dipahami sebagai hokum yang tertulis sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an dan hadits. Nalar yang dikendalikan oleh kelompok ini tidak lain adalah nalar tekstualis.
 Kedua, Islam progresif. Kelompok ini dalam cara kerja intelektualnya cenderung menggunakan metode transformasi sosial. Proyek besar yang hendak digarap adalah reformasi dengan penafsiran-penafsiran baru yang lebih hidup dan lebih cocok dengan tuntutan zaman. Terdapat dua hal yang dikedepankan oleh kelompok ini, yakni; melihat tradisi dengan perspektif pembangunan kembali dan metode dekonstruktif, pembingkaran tradisi dalam rangka menampilkan tradisi baru pembentuk.
 Ketiga, reformasi moderat. Kelompok ini merepresentasikan pemikiran Islam yang lebih maju dari yang dimunculkan oleh para pioner pertamanya (konservatif). Mereka beralih dari dari budaya tradisional patriakal kepada masyarakat rasional dan ilmiah. Mereka menolak cara pandang agama dan kecenderungan mistis yang tidak berdasarkan nalar praktis, serta menganggap agama dan tradisi masa lalu sudah tidak relevan lagi dengan tuntutan zaman sekarang, oleh karenanya harus ditinggalkan.[11] Ketiga kelompok ini meskipun terdapat sedikit pertentangan, namun sama-sama telah memberikan sumbangan semangat kepada modernisasi pesantren tanpa menyimpang dari ajaran-ajaran Islam.
Setelah adanya semangat modernisasi di kalangan pesantren, perlu dirumuskan beberapa hal yang menyangkut tuntutan modernisasi tersebut. Azyumardi Azra menjelaskan beberapa variabel yang dapat dterapkan dalam agenda modernisasi pesantren Pada khususnya dan pendidikan Islam pada umumnya:
a.    Modernisasi administratif: Modernisasi menuntut differensiasi sistem pendidikan untuk mengantisipasi dan mengakomodasi berbagai kepentingan differensiasi sosial, teknik dan manajerial. Antisipasi dan akomodasi tersebut haruslah dijabarkan dalam bentuk formulasi, adopsi dan implementasi kebijaksanaan pendidikan dalam tingkat nasional, regional dan lokal. Dalam konteks modernisasi administratif ini, sistem dan lembaga pendidikan Islam,khususnya pesantren, pada umumnya baru mampu melakukan reformasi dan modernisasi administratif secara terbatas. Kebanyakan masih berpegang pada kerangka ”administrasi tradisional”, termasuk dalam aspek kepemimpinan, sehingga pesantren tidak mampu mengembangkan diri secara baik.
b.    Differensiasi struktural: Pembagian dan difersifikasi lembaga-lembaga pendidikan sesuai dengan fungsi-fungsi yang akan dimainkannya. Dengan demikian, dalam masyarakat yang tengah mengalami proses modernisasi,lembaga pendidikan yang bersifat umum saja tidak lagi memadai. Lebih khusus lagi, sistem pendidikan Islam seperti pesantren, haruslah membrikan peluang dan bahkan mengharuskan pembetukan lembaga-lembaga pendidikan khusus yang diarahkan untuk mengantisipasi differensiasi sosial-ekonomi yang terjadi. Sitem pendidikan Islam, khususnya pesantren, sejauh ini kelihatannya belum mempunyai arah yang pasti tentang differensiasi struktural yang harus dilakukan; apakah tetap dalam differensiasi keagamaannya – yang dilihat dalam kerangka modernisasi mungkin tidak memadai lagi – atau mengembangkan differensiasi diluar bidang itu, misalnya melalui ”pesantren pertanian”, pesantren agro-bisnis”, pesantren politeknik”, dan lain-lain.
c.    Ekspansi kapasitas: Perluasan sistem pendidikan untuk menyediakan pendidikan begi sebanyak-banyak peserta didik sesuai kebutuhan yang dikehendaki berbagai sektor masyarakat. Pada satu segi, sistem dan kelembagaan pendidikan Islam sebenarnya sudah sejak lama melakukan ekspansi kapasitas – termasuk dengan terus berdirinya banyak pesantren baru di berbagai tempat –sehingga pesantren dari sudut ini dapat disebut sebagai ”pendidikan rakyat” yang cukup memassal. Tetapi pada pihak lain, ekspansi kapasitas itu terjadi tanpa memperhitungkan kebutuhan berbagai sektor masyarakat, khususnya menyangkut lapangan kerja yang tersedia. Akibatnya, banyak tamatan pesantren yang tidak mampu menemukan tempatnya yang ”pas” dalam masyarakat.[12]
Melihat tuntutan modernisasi yang begitu berat, pesantren setidaknya harus berani mencoba terobosan-terobosan baru dalam sistem pendidikannya, diantaranya: pertama, membuat kurikulum terpadu, gradual, sistematik, egaliter dan bersifat button up (tidak top down). Artinya, penyusunan kurikulum tidak lagi didasarkan pada konsep plain for student tetapi plain by student. Kedua ,melengkapi sarana penunjang proses pembelajaran, seperti perpustakaan buku- buku klasik dan kontemporer, majalah, sarana berorganisasi, sarana olah raga, internet dan lain sebagainya. Ketiga, memberikan kebebasan kepada santri yang ingin mengembangkan talenta mereka masing-masing, baik yang berkenaan dengan pemikiran, ilmu pengetahuan, teknologi maupun kewirausahaan. Keempat, menyediakan wahana aktualisasi diri di tengah-tengah masyarakat. [13]


Di masa ini, pesantren tidak hanya menghadapi tantangan modernisasi yang cukup kompleks, tetapi juga harus mempertahankan budaya dan tradisi pesantren. Kereligiusan pesantren merupakan ciri khas yang tidak dimiliki lembaga pendidikan Islam lain, baik itu sekolah Islam ataupun madrasah. Oleh karena itu perlu dipahami bagaimana seharusnya sikap pesantren dalam mempertahankan tradisinya ini.

D.    Pesantren dan Orisinalitas Budaya
Secara sederhana kultur sekolah didefenisikan sebagai satuan pendidikan dengan ’cara kita berbuat di sini’.  Jika ditranformasi ke pesantren, definisi ini dapat dikemukakan menjadi ’cara kita berprilaku di dalam atau sekitar pesantren’, yaitu hanya akan berbuat berdasarkan nilai dan keyakinan tertentu yang telah disepakati di dalamnya. Indikator budaya pesantren dapat bersifat kasat mata (tangible) dan yang tidak kasat mata (intangible). Oleh karenanya, kultur  pesantren harus dipahami secara komprehensif. Hal ini berarti bahwa melihat sebagian unsur pesantren tidak dapat dijadikan generalisasi terhadap pesantren secara keseluruhan. Misalnya penampilan bangunan fisik pesantren yang sederhana tidak berarti menunjukkan kekerdilan berpikir pengasuh, guru atau santrinya. Banyak santri dengan prestasi yang tinggi dalam pentas nasional dating dari lembaga pesantren yang terlihat kumuh, sederhana dan miskin. Belum lagi jika melihat, bagaimana besarnya kontribusi pesantren tersebut dalam membangun lingkungan sekitar, khususnya lingkungan sosial. Dalam hal ini,sering pesantren berperan sebagai katalisator dan motor penggerak pembangunan.
Mengacu kepada makna kultur pesantren di atas, merupakam pemikiran yang sangat picik jika melihat kultur sebuah pesantren hanya berdasarkan pada” yang nampak oleh mata”. Di balik itu masih terdapat khazanah yang dapat diungkap atau dikaji, termasuk ragam spiritualitas yang ada. Wujud budaya yang nampak misalnya, pilihan kata yang digunakan, tradisi dan ritual yang diikuti, gedung, fasilitas dan artifak lain yang menjadi bagian dari institusi pesantren. Diantara ciri khas budaya pesantren terletak pada penampilan kyai, guru, dan santrinya dengan busana dan atribut-atribut islami.[14]

Pesantren di era modernisasi dituntut mempertahankan kultur khas pesantren. Kultur tersebut ada yang menyangkut elemen-elemn pesantren dan ada juga yang berkaitan dengan nilai kultur pesantren itu sendiri. Kultur pesantren yang berkaitan dengan elemennya adalah sebagai berikut:
Pertama, pondokan. Pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional di mana para santrinya tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan kyai. Asrama letaknya di dalam komplek pesantren. Kecil besarnya asrama tergantung jumlah santrinya. Faktor urgensi asrama diantaranya mayoritas pesantren berada di desa, dimana tidak ada akomodasi yang cukup menampung santri-santri.
Kedua, mesjid yang merupakan elemen yang tak dapat dipisahkan dengan pesantren dan dianggap sebagai tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri. Kedudukan mesjid sebagai pusat pendidikan dalam tradisi pesantren merupakan manifestasi universalisme dari sistem pendidikan Islam tradisional.
 Ketiga, Pengajaran kitab-kitab Islam klasik. Dan keempat, santri yaitu siswa yang tinggal di pesantren guna menyerahkan diri. Dalam pesantren santri diajarkan hidup dalam suasana kejujuran, jauh dari sifat serakah, apalagi menghalalkan segala cara. Dalam sistem pendidikan tradisional, hubungan santridan kyai sangat erat. Kelima, kyai. Pesantren adalah lembaga pendidikan yang ciri-cirinya dipengaruhi dan ditentukan oleh pribadi pendiri dan pimpinannya. Disinilah signifikansi kyai. Kyai merupakan elemen yang paling esensial dalam pesantren, sebab umumnya kyai menjadi pendirinya.[15] Sedangkan kultur pesantren yang terkait dengan nilai adalah; (a) kemandirian, (b) pemberdayaan, (c) kepercayaan,(d) sinergi dan (e) tanggung jawab.[16]
Secara global, kemajuan pesantren erat hubungannya dengan dua hal yaitu aktualisme dan orisinalitas. Aktualisme pesantren berperan besar dalam proses modernisasi dan berhubungan dengan aspek pembenahan kurikulum dan metodologi pengajaran serta penigkatan fasilitas pembelajaran sebagaimana yang telah dibahas dalam pembahasan tentang pesantren dan modernisasi. Sedangkan orosinalitas pesantren erat kaitannya dengan pelestarian budaya di pesantren.
Yang dimaksud dengan orosinalitas pesantren disini ialah keaslian pendidikan Islam itu sendiri dari segi materi dan spiritnya. Sudah menjadi sebuah kemestian bahwa pondok pesantren tidak akan pernah bisa melepaskan diri dari akar sosialnya yang menanamkan sendi keislaman yang plus ke dalam jiwa dengan semangat generasi didiknya. Kebersahajaan dan kesederhanaan adalah karakter yang tak boleh dikesampingkan. Di tengah, ingar bingar modernitas, kesederhanaan menjadi semacam amunisi berharga sehingga perilaku berlebihan dapat dihindari. Kebersahajaan dan kesederhanaan yang dimaksud bukah hanya terbatas dalam performa keseharian, tetapi juga dalam ranah pola pikir.[17]
Dilihat dari segi kesederhanaan atau non-materialistis ini, pesantren bisa memberikan sumbangsih yang amat berharga kepada bangsa, meskipun jangkauannya untuk masa depan yang cukup jauh. Sekarang ini sudah mulai disadari bahwa pembangunan yang hanya berorientasi pada segi materi saja bukanlah jaminan bagi keberhasilan pembangunan secara keseluruhan. Justru kehidupan materialistik modern di Barat sendiri menunjukkan gejala-gejala destruktif yang diikuti masalah-masalah sosial yang makin kompleks, dan sedang dicari jalan keluarnya. Tetapi sikap non-materialistik dalam pesantren ini harus dipertanyakan dengan sungguh-sungguh sampai dimana kesejatiannya. Non-materialisme yang asketik dan ”austere ”, sederhana, prasojo dan zuhud agaknya terjadi di pesantren sebagai akibat tidak langsung dari kondisi sosial masyarakat secara umum. Apakah suasana umum yang meliputi pesantren itu hanya merupakan refleksi keadaan sosial-ekonomis masyarakat yang diwakilinya saja (yaitu masyarakat pedesaan, meskipun ada yang kaya tapi masih bersifat agraris dan kurang terpelajar). Ataukah betul-betul merupakan perwujudan dari konsep yang sadar penuh niat.[18]
Disamping konsep non-materilistis, pesantren juga mempunyai unsur yang paling menonjol lainnya yaitu, asrama. Asrama dalam pesantren bisa dikatakan sebagai edukasi alternatif bagi pendidikan Islam lainnya. Terdapat beberapa sisi positif dari asrama yang bisa diambil dan diadopsi oleh lembaga-lembaga pendidikan lainnya, yaitu: pertama, alasan spiritual. Sumber daya yang unggul tidak saja tinggi dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), tetapi juga kuat dalam iman dan taqwa (IMTAQ). Manusia yang demikinlah barangkali yang dimaksud dan diinginkan dalam RUU Sisdiknas 2003 tentang hak  peserta didik untuk memperoleh pendidikan agama dari guru yang seagama. Sebab, perjalanan hidup dan kehidupan di depan tidak saja membutuhkan insan yang cerdas, berkualitas, kreatif dan produktif, tetapi juga memiliki kemampuan akidah dan kedalaman spiritual serta keluhuran akhlak.
Kedua, alasan ekonomi objektif. Bahwa kesinambungan hanya dapat diperoleh apabila pertumbuhan ekonomi dapat dipertahankan atau ditingkatkan. Pembicaraan mengenai anggaran pendidikan dari APBN (pemerintah) yang sering dipertanyakan karena terlalu kecil, sistem asrama barangkali merupakan salah satu jawaban untuk meminimalisir kekurangan yang sering dipersoalkan oleh setiap penyelenggara pendidikan. Dimana dengan sistem asrama ini, efesiensi dan efektivitas pengelolaan dana pendidikan dapat dilakukan.Ketiga, alasan kompetensi global. Memasuki era globalisasi tidak terhindarkan adanya persaingan yang terbuka.[19] Keempat, asrama juga dapat dijadikan sarana dalam pembelajaran dan pengembangan teladan dan cara bergaul yang baik bagi santri. Karena pada dasarnya asrama memiliki peraturan dan ketentuan sendiri terhadap pengendalian moral dan akhlak, yang tentunya memiliki sangsi dan hukuman untuk setiap pelanggaran.
Aspek lain yang perlu diperhatikan dalam kultur pesantren adalah pergaulan antar santri. Secara umum, kultur pergaulan dalam pesantren telah banyak dibahas, baik dari segi akhlak seamanya dan kepada masyarakat. Oleh karena itu, pada bagian ini akan dipaparkan permasalahan yang dihadapi pesantren terkait dengan pergaulan pesantren. Diantaranya adalah dari sisi santri terlihat beberapa fenomena yang unik, mulai dari pakaian, kondisi kesehatan, prilaku dan penyimpangan-penyimpangan yang mereka lakukan. Cara berpakaian misalnya, umumnya para santri tidak bisa membedakan antara pakaian untuk belajar, dalam kamar, ke luar pondok pesantren, bahkan untuk tidur pun tidak berbeda. Kemudian menyangkut tingkah laku santri, sudah menjadi rahasia umum bahwa para santri mengidap penyakit rasa rendah diri dalam pergaulan ketika harus bersosialisasi dengan masyarakat di luar mereka. Ada terlihat ketidkkonsistenan dalam tingkah laku ini, sebab untuk lingkungan interrn mereka sangat liberal, ini ditunjukkan dengan sikap termasuk pembicaraan mereka yang hampir-hampir seenaknya. Tetapi, ketika mereka berhadapan dengan orang luar, sikap ini tidak tampak. Penyimpangan-penyimpangan ini dianggap sangat wajar terjadi, mengingat di pesantren tidak diberlakukan sistem pergaulan dengan jenis kelamin lain. Namun, barangkali hal itu sangat jarang terjadi oleh karena beberapa faktor.
 Pertama, pada umumnya para santri sangat menghayati nilai-nilai akhlak yang mereka pelajari di pesantren. Kedua, para santri pada umumnya belum mencapai usia puberitas, sehingga konsentrasi mereka hanya terfokus untuk mengaji dan ibadah. Walaupun ada santri yang tingkat aliyah (sudah mencapai usia remaja), biasanya mereka secara tidak langsung harus memperlihatkan pribadi yang baik (terpuji, anutan), mengingat mereka adalah wakil kyai (asisten) atau guru bantu di pondok. Ketiga, para santri sedikit sekali mendapat rangsangan dari luar, baik dari lawan jenis maupun rangsangan lain seperti media masa, lingkungan dan lain-lain. Sebab pergaulan santri akan dibatasi oleh lingkungannya sendiri.[20]

E.     Penutup
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pesantren memiliki tugas dan beban yang lebih berat dibandingkan dengan lembaga pendidikan lainnya. Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, dituntut untuk seimbang dalam mengupayakan modernisasi pesantren dan mempertahankan orosinalitas budaya dan tradisinya. Makalah ini diharapkan dapat mendeskripsikan kondisi pesantren saat ini dan upayanya dalam melangkah kemasa depan, sehingga dapat memberi motivasi kepada generasi muda Islam untuk mewujudkan visi dan misi pesantren sebenarnya.








[1] Atabik Ali, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia cet. ke-2, (Yogyakarta: Yayasan Ali Ma’shum, 1997), h.1408
[2] Abdul Mukti Bisri, ed., Pembelajaran Pesantren: Suatu Kajian Komparatif (Jakarta: t.p,t.t), h. 4
[3] Amir Hamzah Wirosukarto, K.H. Imam Zarkasyi dari Gontor Merintis Pesantren Modern  (Ponorogo: Gontor Press, 1996), h. 56
[4] Ahmad Syafi’i Noer, “Pesantren: Asal-Usul dan Pertumbuhan Kelembagaan”, dalam Abuddin Nata, ed., Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: PT Grasindo, 2001), h. 96
[5] Lihat Hasan Basri, “Pesantren: Karakteristik dan Unsur-unsur Kelembagaan”, dalamAbuddin Nata, ed.,
Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia
, h. 107-108
[6] Mundzier Suparta, Perubahan Orientasi Pondok Pesantren Salafiyah terhadap Perilaku Keagamaan Masyarakat  (Jakarta: Asta Buana Sejahtera, 2009), h. 62
[7] Mundzier Suparta, Perubahan Orientasi Pondok Pesantren Salafiyah terhadap Perilaku Keagamaan Masyarakat, h.69
[8] Ridwan Abawihda, “Kurikulum Pendidikan Pesantren dan Tantangan PerubahanGlobal”, dalam Ismail SM, dkk.,Dinamika Pesantren dan Madrasah ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 91

[9] Rohadi Abdul Fatah, dkk, Rekonstruksi Pesantren Masa Depan (Jakarta:Listafariska Putra, 2005), h. 207, 213
[10]Amin Haedari, Masa Depan Pesantren dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Komplesitas Global (Jakarta: IRD Press, 2004), h. 79

[11] Ibid hal. 72-74
[12] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 34
[13] Amin Haedari, Masa Depan Pesantren dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Komplesitas Global , h. 86

[14] Sulthon Masyhud dkk.,Manajemen Pondok Pesantren (Jakarta: Diva Pustaka, 2005), h.26

[15] Amin Haedari, Transformasi Pesantren (Jakarta: LekDis dan Media Nusantara, 2006) h. 12
[16] Sulthon Masyhud dkk., Manajemen Pondok Pesantren, h. 28
[17]Amin Haedari, Masa Depan Pesantren dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Komplesitas Global  h. 126
[18] Nurcholis Madjid, Bilik-bilik Pesantren (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 99
[19] Imam Tholkhah dan Ahmad Barizi, Membuka Jendela Pendidikan (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), h. 11


[20] Yasmadi, Modernisasi Pesantren (Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 108


0 komentar:

Posting Komentar