Oleh: Ach. Sayyid, S.Pd.I
A.
Latar Belakang Masalah
Perkembangan Islam yang masuk ke Indonesia sejak abad ke-7 telah menciptakan
perubahan yang besar terhadap ideologi dan budaya bangsa. Perubahan itu
misalnya telah menyentuh aspek politik Indonesia dengan adanya sila pertama
”Ketuhanan Yang Maha Esa”, pengakuan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah berkat
rahmat Allah yang terdapat dalam teks proklamasi dan pembukaan
Undang-Undang 1945. Dalam aspek sosial, Islam telah diterima dandianut oleh
mayoritas penduduk Indonesia. Dan dewasa ini Islam juga membawa perubahan
dan perbaikan dalam aspek ekonomi, misalnya dengan munculnya bank-bank
syariah, asuransi syariah dan kurikulum ekonomi Islam.
Peran dan pengaruh Islam yang lebih menonjol terlihat dalam
aspek pendidikan dan budaya bangsa. Dalam bidang pendidikan, Islam
memberikan alternatif baru kepada para penganutnya. Dimulai dengan
membentuk pembelajaran sederhana antara guru dan murid di surau,
mesjid dan rumah, sampai mendirikan lembaga pendidikan Islam seperti pesantren.
Sedangkan dalam bidang budaya, Islam masuk dan berinterkasi dengan budaya
lokal secara damai, bersifat terbuka dan tidak eksklusif. Pertempuran yang
pernah dilakukan oleh pahlawan bangsa seperti Imam Bonjol dengan perang
paderinya, Pangeran Diponegoro, Tengku Cik Di Tiro, Sultan Hasanuddin dan
lain-lain, juga merupakan suatu usaha mempertahankan eksistensi agama Islam
dalam budaya daerah masing-masing.
Di era modernisasi, pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam
tidak hanya bisa diam dan menjalankan metode dan sistem pembelajaran yang
masih bersifat tradisional, jika tidak ingin tertinggal di belakang. Oleh
karena itu, pesantren membutuhkan banyak perubahan dalam memenuhi tuntutan
zaman. Berbagai ide dan opini pun bermunculan seiring dengan dimulainya
modernisasi di dunia pesantren. Namun, pesantren tetap tidak bisa
direkonstruksi secara penuh oleh paham modernisme di Indonesia. Karena
pesantren, selain sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia,
juga merupakan aset budaya bangsa yang bersifat religius. Hal ini terlihat
dari adanya unsur orisinalitas budaya, seperti bangunan pesantren, sistem
asrama, beberapa jenis pengajaran yang diserap dari budaya daerah tertentu
dan sebagainya. Jadi pesantren di era modernisasi menghadapi dilema yang sangat
berat, di satu sisi ia harus berusaha untuk menyesuaikan diri dengan
perubahan zaman yang menuntutnya meninggalkan sistem dan metode tradisional.
Dan di sisi lain ia harus mempertahankan budaya luhur bangsa yang identik
dengan religiusitas dan norma-norma agar tidak ikutdalam plagiatisasi budaya
barat.
B.
Pesantren sebagai Lembaga Pendidikan
Islam
Pondok pesantren secara etimologis terdiri dari pondok dan pesantren.
Kata pondok merupakan serapan dari bahasa Arab yaitu funduq yang berarti hotel atau
asrama.[1] Sedangkan dalam bahasa Indonesia pondok berarti madrasah
tempat belajar agama Islam. Dan kata pesantren berasal dari kata santri
yang dapat diartikan tempat santri. Kata santri berasal dari bahasa Sanskerta
yaitu cantrik yang berarti orang yang selalu mengikuti guru, yang kemudian
dikembangkan oleh Perguruan Taman Siswa dalam sistem asrama yang disebut
pawiyatan Glosari istilah santri juga ada dalam bahasa Tamil yang berarti guru
mengaji.[2]
Pengertian pesantren secara terminologi telah disampaikan oleh
beberapa pengamat pendidikan Islam, salah satu definisi yang lengkap dan
mencakup elemen-elemen pesantren adalah definisi yang dikemukakan oleh Imam
Zarkashi dan Zamakhsyari Dhofier. Menurut mereka pesantren adalah lembaga
pendidikan Islam dengan sistem asrama atau pondok, dimana kyai sebagai figur
sentralnya, mesjid sebagai pusat kegiatan yang menjiwainya, dan pengajaran
agama Islam dibawah bimbingan kyai yang diikuti santri sebagai kegiatan
utamanya.[3] Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa elemen-elemen pesantren
terdiri dari asrama atau pondok, kyai dan santri, serta mesjid dan pengajaran
agama Islam.
Berdirinya pesantren disebabkan oleh beragam faktor, yang paling dominan
adalah karena kebutuhan masyarakat atas pendidikan Islam itu sendiri, seperti
yang terjadi pada zaman penjajahan Belanda dan berdirinya sekolah-sekolah umum
yang menafikan eksistensi agama didalamnya. Atau karena sebab adanya seorang kyai
atau guru yang diakui intelektual keislamannya oleh masyarakat. Masyarakat
kemudian mempercayakan pembelajaran anak mudanya kepada guru tersebut hingga
berdirilah suatu lembaga pesantren.
Jika suatu pesantren sudah menjadi besar dan ternama, maka seringkali
lulusannya mendirikan cabang atau anak daru pesantren induk. Pola seperti ini
banyak terjadi dalam sejarah perkembangan pesantren di Indonesia. Perkembangan
ini tidak hanya terjadi hanya di pulau Jawa saja, namun juga di pulau lain
seperti Sulawesi, Kalimantan dan Sumatra. Di Sumatra Barat bahkan nama surau
Digantikan dengan nama pesantren, seperti Pesantren Modern Prof. Dr. Hamka.
Pola perkembangan pesantren lebih jelas lagi dapat dibagi dalam beberapa
bentuk berikut:
Pertama, pesantren yang hanya terdiri dari mesjid dan rumah kiyai.Pesantren ini
masih sangat sederhana di mana kyai menggunakan mesjid atau rumahnya untuk
mengajar. Santri berasal dari daerah sekitar pesantren tersebut. Kedua, Pesantren yang terdiri dari
mesjid, rumah kyai, pondok atau asrama. Pola ini telah dilengkapi dengan pondok
yang disediakan bagi para santri yang dating dari daerah lain. Ketiga, Pesantren yang terdiri dari
mesjid, rumah kyai, pondok atau asrama dan madrasah. Berbeda dengan yang
pertama dan kedua, pola ini telah memakai sistem yang klasial, santri mendapat
pengajaran di madrasah. Disamping itu, belajar mengaji, mengikuti pengajaran
yang diberikan oleh kyai di pondok. Keempat ,
pesantren yang telah berubah kelembagaannya yang terdiri dari mesjid, rumah
kyai, pondok atau asrama, madrasah dan tempat keterampilan. Pola ini dilengkapi
dengan tempat-tempat keterampilan agar santri terampil dengan pekerjaan
yang sesuai dengan sosial kemasyarakatannya, seperti
pertanian, peternakan, jahit-menjahit dan sebagainya. Kelima, pola ini sama halnya dengan pola keempat ditambah
dengan adanya universitas, gedung pertemuan, tempat olahraga dan sekolah umum.
Pada pola ini pesantren merupakan lembaga pendidikan yang telah berkembang
dan bisa dikatakan sebagai pesantren modern.[4]
Sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren pada dasarnya hanya mengajarkan
agama, sedangkan sumber kajian atau mata pelajarannya ialah kitab-kitab dalam
bahasa Arab. Kitab yang dikaji di pesantren umumnya kitab-kitab yang ditulis
dalam abad pertengahan, yaitu antara abad ke-12 sampai dengan abad ke-15 atau
lazim disebut dengan ”Kitab Kuning”. Adapun metode yang lazim digunakan dalam
pendidikan pesantren ialah wetonan, sorogan, dan hafalan. Metode wetonan adalah
metode kuliah dimana santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kyai
yang menerangkan pelajaran. Santri menyimak kitab masing-masing dan mencatat
jika perlu. Metode sorogan ialah suatu metode dimana santri menghadap guru atau
kyai seorang demi seorang dengan membawa kitab yang akan dipelajarinya.
Sedangkan metode hafalan ialah metode dimana santri menghafal teks atau kalimat
tertentu dari kitab yang dipelajarinya. Biasanya cara menghafal ini diajarkan
dalam bentuk sya’ir atau nazham. [5] Metode-metode ini masih berjalan ketat di beberapa pesantren saat ini,
namun banyak juga pesantren yang telah berhasil mengkombinasikan metode
pengajarannya dengan metode yang lebih modern dan komprehensif.
Berdasarkan materi pelajaran dan metode pengajaran, pesantren dibagi
dalam dua bentuk; pesantren konvensional (dikenal juga dengan salafiyyah)
dan pesantren kontemporer (dikenal dengan pesantren modern). Pesantren
konvensional tidak mengenal suatu bentuk kurikulum yang baku.
Pembelajaran biasanya berlangsung mengikuti pola pengajaran tuntas kitab
yang dijadikan rujukan utama suatu pondok pesantren sesuai dengan keahlian
kyainya. Dengan kata lain, pembelajaran yang dilangsungkan di pesantren
berdasar pada tamat nya suatu kitab yang dipelajari, bukan pada pemahaman
secara tuntas terhadap suatu topik bahasan dan juga tidak ditentukan lamanya
santri belajar di pondok sebagaimana yang terjadi pada pesantren modern
dengan sistem klasikalnya.
Kitab yang dipakai biasanya tidak dilengkapi dengan syakl atau
harakah. Penjenjangan berdasarkan kitab yang dipelajari santri, dalam
pelaksanaanya tidaklah menjadi suatu kemutlakan. Suatu pesantren dapat saja
memberikan tambahan atau melakukan inovasi atau mengajarkan kitab-kitab yang
lebih populer dan efektif. Adapun alokasi waktu dan mata pelajaran atau
kitab yang diajarkan sehari-hari dapat ditentukan oleh kyai atau ustadz yang
bertanggung jawab dalam bidang pendidikan dengan memperhatikan keadaan
atau kondisi pesantren dari segi penyelenggaraan dan sumber daya manusia.[6] Metode yang biasa digunakan oleh pesantren ini adalah wetonan,
sorogan dan hafalan.
Pada era globalisasi dan modernisasi mulai lahir dan
berkembang pembaharuan pesantren. Produk dari pembaharuan ini adalah
pesantren kontemporer. Pesantren ini merupakan reaksi terhadap menjamurnya
sistem pendidikan yang diadopsi dari pemerintah kolonial Belanda.
Gerakan reformis muslim yang menemukan momentum sejak awal abad ke-20
berpendapat bahwa untuk menjawab tantangan kolonialisme dan kristenisasi
diperlukan reformasi pendidikan Islam. Dalam konteks inilah dapat disaksikan
munculnya dua bentuk lembaga pendidikan modern Islam. Pertama ,sekolah-sekolah
umum model Belanda tetapi diberi muatan pengajaran Islam. Kedua,
madrasah-madrasah modern yang secara terbatas mengadopsi substansi dan
metodologi pendidikan modern Belanda. Dalam bentuk pertama dapat disebut,
misalnya, Sekolah Adabiyah yang didirikan Abdullah Ahmad di Padang pada
tahun 1909 dan sekolah-sekolah Muhammadiyah, sedangkan pada bentuk kedua
ditemukan Sekolah Diniyah Zainuddin Labay el-Yunusi atau Sumatra Thawalib.[7]
Proses transformasi pesantren seperti ini banyak terjadi di era
modernisasi. Para tokoh muslim berpendapat bahwa pendidikan Islam tidak boleh
tertinggal di belakang hanya karena tidak mau melakukan pembaharuan.
Selanjutnya pemakalah akan memberikan pembahasan tentang bagaimana
pesantren berinteraksi dengan modernisasi di Indonesia.
C.
Pesantren dan Modernisasi
Modernisasi, yang dalam bentuk umum di Indonesia dalam dasawarsa terakhir
lebih dikenal dengan istilah ”pembangunan” (development ) adalah proses multi-dimensional
yang komplek. Dalam kaitannya dengan dunia pendidikan modernisasi umumnya
dilihat dari dua segi. Pada satu segi, pendidikan dipandang sebagai suatu
variabel modernisasi. Tanpa pendidikan yang memadai akan sulit bagi
masyarakat manapun untuk mencapai tujuan. Sedangkan pada segi
lain, pendidikan sering dianggap sebagai obyek modernisasi. Dalam konteks
ini, pendidikan pada umumnya dipandang masih terbelakang dalam berbagai
hal, dan karena itulah pendidikan harus diperbaharui, dibangun kembali atau dimodernisasi.
Sistem pendidikan madrasah atau pondok pesantren yang memang secara tradisional
merupakan merupakan kelembagaan pendidikan Islam indigeneus, juga
dimodernisasi.[8]
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, modernisasi pesantren di Indonesia diawali
oleh gerakan kaum reformis pada awal abad ke-20, sebagai reaksi terhadap
modernisasi yang pernah dilakukan oleh Belanda terhadap sistem pendidikan
Indonesia. Jika pada masa penjajahan, lahirnya pesantren merupakan respon
masyarakat muslim Indonesia terhadap ketiadaan pengajaran agama Islam di
sekolah-sekolah Belanda, maka modernisasi pesantren pasca kemerdekaan adalah
bentuk respon yang lebih tajam terhadap modernisasi yang dominan berbau
westernisasi. Indonesia pada dasarnya adalah negara yang menginginkan adanya modernisasi,
tapi tetap menganggap bahwa westenisasi bukanlah syarat untuk mencapai
modernisme.
Isu-isu pembaharuan pesantren sebenarnya telah diprakarsai oleh beberapa ulama
muslim, diantaranya adalah K.H. Imam Zarkasyi, K.H. A. Wahid Hasyimdan K.H.
Ahmad Dahlan. Di masa ini, masyarakat menaruh harapan yang sangat besar
terhadap pesantren, seiring dengan visi dan misi pesantren untuk
mendidik dan mengahsilkan insan kamil. Hanya saja, perjalanan pesantren
dalam menjawab tantangan modernisme tidaklah mulus, banyak masalah yang sampai
saat ini masih menjadi ganjalan untuk melangkah maju.
Permasalahan itu antara lain; pertama, pendanaan yang merupakan masalah
paling serius di pesantren. Berbeda dengan sekolah umum atau perguruan tinggi,
permasalahan pendanaan pesantren selain lokal-lokal balajar dan
asrama, juga mencakup sarana konsumsi seperti dapur dan ruang makan
menjadi agenda tambahan, lahan bermain, serta sarana olah raga, transportasi,
sarana kesehatan,ruang inap tamu yang semuanya semakin memperluas medan
kebutuhan pesantren sesuai dengan tuntutan zaman dan pola hidup yang
berkembang dimasyarakat. Sedangkan pola swadaya pesantren dalam pembangunan
biasanya menghidupkan kegiatan infaq dan shadaqoh dari kalangan masyarakat,
wali santri dan bahkan dari pengelola pesantren sendiri. Kedua, pencitraan di
mata umat dan bangsa. Pencitraan tersebut biasanya dikaitkan dengan
kebersihan dan penataan lingkungan. Pencitraan lainnya adalah karena kegiatan
pengumpulan dan pembangunan dengan pola jaringan dan delegasi pengumpul
derma keliling kekampung-kampung juga meninggalkan kesan pesantren dan santri
selalu”mengemis”. Dan ketiga, informasi dan publikasi yang agak tertinggal
di pesantren.[9] Ini merupakan bentuk umum permasalah pesantren di era modernisasi.
Disamping itu, perlu ditegaskan bahwa pesantren tetap akan
melakukan perubahan dan pembaharuan. Hal ini didukung oleh karakteristik
pesantren yang khas dalam mengahadapi perubahan zaman, karakteristik tersebut
adalah:
1. Keilmuan pesantren muncul sebagai
upaya pencerahan bagi kelangsungan peradaban manusia di dunia. Ini dapat
dilakukan dengan upaya menafsirkan teks-teks Islam menjadi shālihun li kulli
zamān, dinamis dan terbuka. Masalah-masalah keagamaan yang semula berada dalam
wilayah yang tak terpikirkan (unthinkable) berubah menjadi wilayah yang
terpikirkan (thinkable). Disamping itu keilmuan pesantren menolak terhadap
upaya pensakralan pemikiran keagamaan (taqdīr al-afkār al-dīni).
2. Karena pesantren dipandang sebagai lembaga
pendidikan, maka kurikulum pengajarannya setidaknya memiliki orientasi
terhadap dinamika kekinian. Maksudnya adalah keilmuan pesantren juga penting
mengadopsi metode yang dikembangkan ilmu-ilmu sosial. Karenanya asumsi bahwa
pendidikan pesantren itu melulu dengan doktrin itu dapat ditolak secara dini.
Di pesantren, kajian mengenai doktrin keagamaan didekati melalui
dua pendekatan yaitu normativitas dan historisitas. Misalnya disamping mempelajari
ilmu fiqih, tafsir dan hadits juga dipelajari ushul al-fiqh, ’ulumal-tafsir dan
’ulum al-hadits.[10]
Karakteristik pesantren diatas bukan menjadi satu-satunya faktor yang
mendukung semangat modernisasi pesantren, tetapi peran para ilmuan dan cendikiawan
muslim di Indonesia pun memberi dukungan yang besar. Sedikitnya terdapat tiga
tipologi para pemikir Islam kontemporer dalam merespon tradisi dan modernitas. Pertama, pemikir Islam konservatif.
Kelompok ini memiliki paradigma pemikiran yang ideal-totalistik. Dalam
memandang peradaban Islam menjadi idiologi yang paling ideal, dan karenanya
menolak unsur-unsur asing yang datang dari Barat. Islam dipandang sudah final
dan tidak memerlukan metode atau teori-teori import dari Barat. Hukum Islam
dipahami sebagai hokum yang tertulis sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an dan
hadits. Nalar yang dikendalikan oleh kelompok ini tidak lain adalah nalar
tekstualis.
Kedua, Islam progresif. Kelompok ini dalam cara kerja
intelektualnya cenderung menggunakan metode transformasi sosial. Proyek besar
yang hendak digarap adalah reformasi dengan penafsiran-penafsiran baru
yang lebih hidup dan lebih cocok dengan tuntutan zaman. Terdapat dua hal yang
dikedepankan oleh kelompok ini, yakni; melihat tradisi dengan perspektif
pembangunan kembali dan metode dekonstruktif, pembingkaran tradisi dalam rangka
menampilkan tradisi baru pembentuk.
Ketiga, reformasi moderat. Kelompok ini merepresentasikan pemikiran
Islam yang lebih maju dari yang dimunculkan oleh para pioner pertamanya (konservatif).
Mereka beralih dari dari budaya tradisional patriakal kepada masyarakat
rasional dan ilmiah. Mereka menolak cara pandang agama dan kecenderungan mistis
yang tidak berdasarkan nalar praktis, serta menganggap agama dan tradisi masa
lalu sudah tidak relevan lagi dengan tuntutan zaman sekarang, oleh karenanya
harus ditinggalkan.[11]
Ketiga
kelompok ini meskipun terdapat sedikit pertentangan, namun sama-sama telah
memberikan sumbangan semangat kepada modernisasi pesantren tanpa menyimpang
dari ajaran-ajaran Islam.
Setelah adanya semangat modernisasi di kalangan pesantren, perlu dirumuskan
beberapa hal yang menyangkut tuntutan modernisasi tersebut. Azyumardi Azra
menjelaskan beberapa variabel yang dapat dterapkan dalam agenda modernisasi
pesantren Pada khususnya dan pendidikan Islam pada umumnya:
a. Modernisasi administratif:
Modernisasi menuntut differensiasi sistem pendidikan untuk mengantisipasi
dan mengakomodasi berbagai kepentingan differensiasi sosial, teknik dan manajerial.
Antisipasi dan akomodasi tersebut haruslah dijabarkan dalam bentuk formulasi,
adopsi dan implementasi kebijaksanaan pendidikan dalam tingkat nasional,
regional dan lokal. Dalam konteks modernisasi administratif ini, sistem dan
lembaga pendidikan Islam,khususnya pesantren, pada umumnya baru mampu melakukan
reformasi dan modernisasi administratif secara terbatas. Kebanyakan masih
berpegang pada kerangka ”administrasi tradisional”, termasuk dalam
aspek kepemimpinan, sehingga pesantren tidak mampu mengembangkan diri secara
baik.
b. Differensiasi struktural:
Pembagian dan difersifikasi lembaga-lembaga pendidikan sesuai dengan
fungsi-fungsi yang akan dimainkannya. Dengan demikian, dalam masyarakat yang
tengah mengalami proses modernisasi,lembaga pendidikan yang bersifat umum saja
tidak lagi memadai. Lebih khusus lagi, sistem pendidikan Islam seperti
pesantren, haruslah membrikan peluang dan bahkan mengharuskan pembetukan
lembaga-lembaga pendidikan khusus yang diarahkan untuk mengantisipasi
differensiasi sosial-ekonomi yang terjadi. Sitem pendidikan Islam, khususnya
pesantren, sejauh ini kelihatannya belum mempunyai arah yang pasti tentang
differensiasi struktural yang harus dilakukan; apakah tetap dalam differensiasi
keagamaannya – yang dilihat dalam kerangka modernisasi mungkin
tidak memadai lagi – atau mengembangkan differensiasi diluar bidang itu, misalnya
melalui ”pesantren pertanian”, pesantren agro-bisnis”,
pesantren politeknik”, dan lain-lain.
c. Ekspansi kapasitas: Perluasan
sistem pendidikan untuk menyediakan pendidikan begi sebanyak-banyak
peserta didik sesuai kebutuhan yang dikehendaki berbagai sektor masyarakat.
Pada satu segi, sistem dan kelembagaan pendidikan Islam sebenarnya sudah sejak
lama melakukan ekspansi kapasitas – termasuk dengan terus berdirinya banyak
pesantren baru di berbagai tempat –sehingga pesantren dari sudut ini dapat
disebut sebagai ”pendidikan rakyat” yang cukup memassal. Tetapi pada pihak
lain, ekspansi kapasitas itu terjadi tanpa memperhitungkan kebutuhan berbagai sektor
masyarakat, khususnya menyangkut lapangan kerja yang tersedia. Akibatnya,
banyak tamatan pesantren yang tidak mampu menemukan tempatnya yang ”pas” dalam
masyarakat.[12]
Melihat tuntutan modernisasi yang begitu berat, pesantren setidaknya harus
berani mencoba terobosan-terobosan baru dalam sistem pendidikannya, diantaranya:
pertama, membuat kurikulum terpadu, gradual, sistematik, egaliter dan
bersifat button up (tidak top down). Artinya, penyusunan kurikulum tidak
lagi didasarkan pada konsep plain for student tetapi plain by student.
Kedua ,melengkapi sarana penunjang proses pembelajaran, seperti perpustakaan
buku- buku klasik dan kontemporer, majalah, sarana berorganisasi, sarana
olah raga, internet dan lain sebagainya. Ketiga, memberikan kebebasan kepada
santri yang ingin mengembangkan talenta mereka masing-masing, baik yang
berkenaan dengan pemikiran, ilmu pengetahuan, teknologi maupun kewirausahaan.
Keempat, menyediakan wahana aktualisasi diri di tengah-tengah masyarakat. [13]
Di masa ini, pesantren tidak hanya menghadapi tantangan modernisasi yang cukup
kompleks, tetapi juga harus mempertahankan budaya dan tradisi pesantren. Kereligiusan
pesantren merupakan ciri khas yang tidak dimiliki lembaga pendidikan Islam
lain, baik itu sekolah Islam ataupun madrasah. Oleh karena itu perlu
dipahami bagaimana seharusnya sikap pesantren dalam mempertahankan tradisinya
ini.
D.
Pesantren dan Orisinalitas Budaya
Secara sederhana kultur sekolah didefenisikan sebagai satuan pendidikan dengan
’cara kita berbuat di sini’. Jika
ditranformasi ke pesantren, definisi ini dapat dikemukakan menjadi ’cara kita
berprilaku di dalam atau sekitar pesantren’, yaitu hanya akan berbuat
berdasarkan nilai dan keyakinan tertentu yang telah disepakati di dalamnya.
Indikator budaya pesantren dapat bersifat kasat mata (tangible) dan yang tidak
kasat mata (intangible). Oleh karenanya, kultur pesantren harus
dipahami secara komprehensif. Hal ini berarti bahwa melihat sebagian unsur
pesantren tidak dapat dijadikan generalisasi terhadap pesantren secara
keseluruhan. Misalnya penampilan bangunan fisik pesantren yang sederhana tidak
berarti menunjukkan kekerdilan berpikir pengasuh, guru atau santrinya. Banyak
santri dengan prestasi yang tinggi dalam pentas nasional dating dari lembaga
pesantren yang terlihat kumuh, sederhana dan miskin. Belum lagi jika
melihat, bagaimana besarnya kontribusi pesantren tersebut dalam membangun
lingkungan sekitar, khususnya lingkungan sosial. Dalam hal ini,sering pesantren
berperan sebagai katalisator dan motor penggerak pembangunan.
Mengacu kepada makna kultur pesantren di atas, merupakam pemikiran yang
sangat picik jika melihat kultur sebuah pesantren hanya berdasarkan pada” yang
nampak oleh mata”. Di balik itu masih terdapat khazanah yang dapat diungkap
atau dikaji, termasuk ragam spiritualitas yang ada. Wujud budaya yang nampak
misalnya, pilihan kata yang digunakan, tradisi dan ritual yang diikuti, gedung,
fasilitas dan artifak lain yang menjadi bagian dari institusi pesantren. Diantara
ciri khas budaya pesantren terletak pada penampilan kyai, guru, dan santrinya
dengan busana dan atribut-atribut islami.[14]
Pesantren di era modernisasi dituntut mempertahankan kultur
khas pesantren. Kultur tersebut ada yang menyangkut elemen-elemn pesantren
dan ada juga yang berkaitan dengan nilai kultur pesantren itu sendiri.
Kultur pesantren yang berkaitan dengan elemennya adalah sebagai berikut:
Pertama, pondokan. Pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan
Islam tradisional di mana para santrinya tinggal bersama dan belajar
di bawah bimbingan kyai. Asrama letaknya di dalam komplek pesantren.
Kecil besarnya asrama tergantung jumlah santrinya. Faktor urgensi asrama
diantaranya mayoritas pesantren berada di desa, dimana tidak ada akomodasi yang
cukup menampung santri-santri.
Kedua, mesjid yang merupakan elemen yang tak dapat dipisahkan
dengan pesantren dan dianggap sebagai tempat yang paling tepat untuk
mendidik para santri. Kedudukan mesjid sebagai pusat pendidikan dalam tradisi
pesantren merupakan manifestasi universalisme dari sistem pendidikan Islam
tradisional.
Ketiga, Pengajaran
kitab-kitab Islam klasik. Dan keempat, santri yaitu siswa yang tinggal di
pesantren guna menyerahkan diri. Dalam pesantren santri diajarkan hidup dalam
suasana kejujuran, jauh dari sifat serakah, apalagi menghalalkan segala cara.
Dalam sistem pendidikan tradisional, hubungan santridan kyai sangat
erat. Kelima, kyai. Pesantren adalah lembaga pendidikan yang ciri-cirinya dipengaruhi
dan ditentukan oleh pribadi pendiri dan pimpinannya. Disinilah signifikansi
kyai. Kyai merupakan elemen yang paling esensial dalam pesantren, sebab umumnya
kyai menjadi pendirinya.[15] Sedangkan kultur pesantren yang terkait dengan nilai adalah; (a)
kemandirian, (b) pemberdayaan, (c) kepercayaan,(d) sinergi dan (e) tanggung
jawab.[16]
Secara global, kemajuan pesantren erat hubungannya dengan dua hal yaitu aktualisme
dan orisinalitas. Aktualisme pesantren berperan besar dalam proses modernisasi
dan berhubungan dengan aspek pembenahan kurikulum dan metodologi pengajaran
serta penigkatan fasilitas pembelajaran sebagaimana yang telah dibahas dalam
pembahasan tentang pesantren dan modernisasi. Sedangkan orosinalitas pesantren
erat kaitannya dengan pelestarian budaya di pesantren.
Yang dimaksud dengan orosinalitas pesantren disini ialah
keaslian pendidikan Islam itu sendiri dari segi materi dan spiritnya.
Sudah menjadi sebuah kemestian bahwa pondok pesantren tidak akan pernah bisa
melepaskan diri dari akar sosialnya yang menanamkan sendi keislaman yang plus
ke dalam jiwa dengan semangat generasi didiknya. Kebersahajaan dan
kesederhanaan adalah karakter yang tak boleh dikesampingkan. Di tengah, ingar
bingar modernitas, kesederhanaan menjadi semacam amunisi berharga sehingga
perilaku berlebihan dapat dihindari. Kebersahajaan dan kesederhanaan yang
dimaksud bukah hanya terbatas dalam performa keseharian, tetapi juga dalam
ranah pola pikir.[17]
Dilihat dari segi kesederhanaan atau non-materialistis ini, pesantren bisa
memberikan sumbangsih yang amat berharga kepada bangsa,
meskipun jangkauannya untuk masa depan yang cukup jauh. Sekarang ini sudah
mulai disadari bahwa pembangunan yang hanya berorientasi pada segi materi
saja bukanlah jaminan bagi keberhasilan pembangunan secara keseluruhan.
Justru kehidupan materialistik modern di Barat sendiri menunjukkan
gejala-gejala destruktif yang diikuti masalah-masalah sosial yang makin
kompleks, dan sedang dicari jalan keluarnya. Tetapi sikap non-materialistik
dalam pesantren ini harus dipertanyakan dengan sungguh-sungguh sampai dimana
kesejatiannya. Non-materialisme yang asketik dan ”austere ”, sederhana, prasojo
dan zuhud agaknya terjadi di pesantren sebagai akibat tidak langsung dari
kondisi sosial masyarakat secara umum. Apakah suasana umum yang meliputi
pesantren itu hanya merupakan refleksi keadaan sosial-ekonomis masyarakat yang
diwakilinya saja (yaitu masyarakat pedesaan, meskipun ada yang kaya tapi masih
bersifat agraris dan kurang terpelajar). Ataukah betul-betul merupakan
perwujudan dari konsep yang sadar penuh niat.[18]
Disamping konsep non-materilistis, pesantren juga mempunyai unsur
yang paling menonjol lainnya yaitu, asrama. Asrama dalam pesantren bisa
dikatakan sebagai edukasi alternatif bagi pendidikan Islam lainnya. Terdapat
beberapa sisi positif dari asrama yang bisa diambil dan diadopsi oleh
lembaga-lembaga pendidikan lainnya, yaitu: pertama, alasan spiritual. Sumber daya yang unggul tidak saja
tinggi dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), tetapi juga
kuat dalam iman dan taqwa (IMTAQ). Manusia yang demikinlah barangkali yang
dimaksud dan diinginkan dalam RUU Sisdiknas 2003 tentang hak peserta
didik untuk memperoleh pendidikan agama dari guru yang seagama. Sebab,
perjalanan hidup dan kehidupan di depan tidak saja membutuhkan insan yang
cerdas, berkualitas, kreatif dan produktif, tetapi juga memiliki kemampuan akidah
dan kedalaman spiritual serta keluhuran akhlak.
Kedua, alasan ekonomi objektif. Bahwa kesinambungan hanya dapat diperoleh
apabila pertumbuhan ekonomi dapat dipertahankan atau ditingkatkan. Pembicaraan
mengenai anggaran pendidikan dari APBN (pemerintah) yang sering dipertanyakan
karena terlalu kecil, sistem asrama barangkali merupakan salah
satu jawaban untuk meminimalisir kekurangan yang sering dipersoalkan oleh
setiap penyelenggara pendidikan. Dimana dengan sistem asrama ini,
efesiensi dan efektivitas pengelolaan dana pendidikan dapat dilakukan.Ketiga, alasan kompetensi global.
Memasuki era globalisasi tidak terhindarkan adanya persaingan yang
terbuka.[19] Keempat, asrama juga dapat dijadikan sarana dalam pembelajaran dan
pengembangan teladan dan cara bergaul yang baik bagi santri. Karena pada
dasarnya asrama memiliki peraturan dan ketentuan sendiri
terhadap pengendalian moral dan akhlak, yang tentunya memiliki sangsi dan
hukuman untuk setiap pelanggaran.
Aspek lain yang perlu diperhatikan dalam kultur pesantren
adalah pergaulan antar santri. Secara umum, kultur pergaulan dalam
pesantren telah banyak dibahas, baik dari segi akhlak seamanya dan kepada
masyarakat. Oleh karena itu, pada bagian ini akan dipaparkan permasalahan yang
dihadapi pesantren terkait dengan pergaulan pesantren. Diantaranya adalah dari
sisi santri terlihat beberapa fenomena yang unik, mulai dari pakaian,
kondisi kesehatan, prilaku dan penyimpangan-penyimpangan yang mereka
lakukan. Cara berpakaian misalnya, umumnya para santri tidak bisa membedakan
antara pakaian untuk belajar, dalam kamar, ke luar pondok pesantren, bahkan
untuk tidur pun tidak berbeda. Kemudian menyangkut tingkah laku santri, sudah
menjadi rahasia umum bahwa para santri mengidap penyakit rasa rendah diri
dalam pergaulan ketika harus bersosialisasi dengan masyarakat di luar
mereka. Ada terlihat ketidkkonsistenan dalam tingkah laku ini, sebab untuk
lingkungan interrn mereka sangat liberal, ini ditunjukkan dengan sikap termasuk
pembicaraan mereka yang hampir-hampir seenaknya. Tetapi, ketika mereka
berhadapan dengan orang luar, sikap ini tidak tampak.
Penyimpangan-penyimpangan ini dianggap sangat wajar terjadi, mengingat di
pesantren tidak diberlakukan sistem pergaulan dengan jenis kelamin lain. Namun,
barangkali hal itu sangat jarang terjadi oleh karena beberapa faktor.
Pertama, pada umumnya
para santri sangat menghayati nilai-nilai akhlak yang mereka pelajari di
pesantren. Kedua, para santri pada
umumnya belum mencapai usia puberitas, sehingga konsentrasi mereka hanya
terfokus untuk mengaji dan ibadah. Walaupun ada santri yang tingkat aliyah
(sudah mencapai usia remaja), biasanya mereka secara tidak langsung harus
memperlihatkan pribadi yang baik (terpuji, anutan), mengingat mereka
adalah wakil kyai (asisten) atau guru bantu di pondok. Ketiga, para santri sedikit sekali mendapat rangsangan dari luar,
baik dari lawan jenis maupun rangsangan lain seperti media masa, lingkungan dan
lain-lain. Sebab pergaulan santri akan dibatasi oleh lingkungannya sendiri.[20]
E.
Penutup
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pesantren memiliki tugas
dan beban yang lebih berat dibandingkan dengan lembaga pendidikan lainnya. Pesantren
sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, dituntut
untuk seimbang dalam mengupayakan modernisasi pesantren dan mempertahankan
orosinalitas budaya dan tradisinya. Makalah ini diharapkan dapat mendeskripsikan
kondisi pesantren saat ini dan upayanya dalam melangkah kemasa depan, sehingga
dapat memberi motivasi kepada generasi muda Islam untuk mewujudkan visi
dan misi pesantren sebenarnya.
[1] Atabik Ali, Kamus
Kontemporer Arab-Indonesia cet. ke-2, (Yogyakarta: Yayasan Ali Ma’shum,
1997), h.1408
[2] Abdul Mukti Bisri, ed., Pembelajaran Pesantren: Suatu Kajian Komparatif (Jakarta:
t.p,t.t), h. 4
[3] Amir Hamzah Wirosukarto, K.H. Imam Zarkasyi dari
Gontor Merintis Pesantren Modern (Ponorogo:
Gontor Press, 1996), h. 56
[4] Ahmad Syafi’i Noer, “Pesantren: Asal-Usul dan Pertumbuhan
Kelembagaan”, dalam Abuddin Nata, ed.,
Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di
Indonesia (Jakarta: PT Grasindo, 2001), h. 96
[5] Lihat Hasan Basri, “Pesantren: Karakteristik dan Unsur-unsur Kelembagaan”,
dalamAbuddin Nata, ed.,
Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan
Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia
, h.
107-108
[6] Mundzier Suparta, Perubahan
Orientasi Pondok Pesantren Salafiyah terhadap Perilaku Keagamaan
Masyarakat (Jakarta: Asta Buana Sejahtera, 2009), h. 62
[7] Mundzier Suparta, Perubahan
Orientasi Pondok Pesantren Salafiyah terhadap Perilaku Keagamaan
Masyarakat, h.69
[8] Ridwan Abawihda, “Kurikulum Pendidikan Pesantren dan
Tantangan PerubahanGlobal”, dalam Ismail SM, dkk.,Dinamika Pesantren dan Madrasah ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2002), h. 91
[9] Rohadi Abdul Fatah, dkk, Rekonstruksi Pesantren Masa Depan
(Jakarta:Listafariska Putra, 2005), h. 207, 213
[10]Amin
Haedari, Masa Depan Pesantren dalam
Tantangan Modernitas dan Tantangan Komplesitas Global (Jakarta:
IRD Press, 2004), h. 79
[11] Ibid hal. 72-74
[13] Amin Haedari, Masa
Depan Pesantren dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Komplesitas Global ,
h. 86
[14] Sulthon Masyhud dkk.,Manajemen Pondok Pesantren (Jakarta:
Diva Pustaka, 2005), h.26
[15] Amin Haedari, Transformasi Pesantren (Jakarta: LekDis
dan Media Nusantara, 2006) h. 12
[16] Sulthon Masyhud dkk., Manajemen Pondok Pesantren, h. 28
[17]Amin
Haedari, Masa Depan Pesantren dalam
Tantangan Modernitas dan Tantangan Komplesitas Global h. 126
[18] Nurcholis Madjid, Bilik-bilik Pesantren (Jakarta:
Paramadina, 1997), h. 99
[19] Imam Tholkhah dan Ahmad
Barizi, Membuka Jendela Pendidikan
(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), h. 11
[20] Yasmadi, Modernisasi Pesantren (Jakarta: Ciputat
Press, 2002), h. 108
0 komentar:
Posting Komentar