Minggu, 03 Februari 2013

Analisis Kurikulum Pendidikan Nasional 2013 “Kaca Pandang Filsafat Pendidikan”


Oleh: Ach. Sayyid, S.Pd.I

    A.    Pendahuluan
Secara etimologis, istilah kurikulum (curriculum) berasal dari bahasa yunani, yaitu curir yang artinya pelari dan curere yang berarti tempat berpacu. Istilah kurikulum berasal dari dunia olahraga, terutama dalam bidang atletik pada zaman romawi kuno yang Yunani. Dalam bahasa prancis, istilah kurikulum berasal dari kata courier  yang berarti berlari (to run). Kurikulum berari suatu jarak yang yang harus ditempuh oleh seorang pelari dari garis start sampai garid finish untuk memperoleh medali atau penghargaan. Jarak yang harus ditempuh tersebut kemudian diubah menjadi program sekolah dan semua orang yang terlibat di dalamnya. Adapun secara terminologis istilah kurikulum dalam pendidikan adalah sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau diselesaikan peserta didik di sekolah untuk memperoleh ijazah.[1]
Adapun pengertian kurikulum secara oprasional menurut perspektif yuridis-formal, yaitu menurut UU.No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional bahwa Kurikulum adalah seperangkat rencana dan  pengaturan mengenai tujuan,isi, dan bahan pelajaran, serta cara yang digunakan sebagai pedoman dalam penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.[2] Melihat pengertian oprasional dari sisdiknnas tersebut, dapat dipahami bahwa kurikulum adalah hal yang sangat urgen dalam pendidikan. Suatu pendidikan yang memiliki rencana yang matang, dalam arti mengembangkan kurikulum dengan matang, akan lebih dekat dengan keberhasilan untuk mencapai pada tujuan yang diinginkan jika dibandingkan dengan suatu lembaga pendidikan yang sama sekali tidak memiliki recana, dan terkesan hanya mengikuti arus air dari hulu ke hilir.
 Dalam kurikulum 2006, yaitu Kurikulum Tingkat Satuan pendidikan, fungsi dan kegiatan guru adalah sebagai pengembang kurikulum di sekolah, baik dalam dimensi rencana, dimensi kegiaatan, maupun dimensi hasil. Hal ini karena KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan. Penyusunan KTSP dilakukan oleh setiap satuan pendidikan dengan memperhatikan dan berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang dikembangkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).[3] Lebih lanjut pada pasal selanjutnya adalah bahwa pengembangan kurikulum mengacu pada pada Standar Nasional Pendidikan untuk mewujudkan Tujuan Pendidikan Nasional. Selain itu, kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik.[4]
  secara umum, KTSP adalah kurikulum yang memberikan kewenangan dan otoritas seluas-luasnya kepada setiap satuan pendidikan untuk mengembangkan kurikulumnya dengan memperhatikan dan berdasarkan SK dan KD yang dirumuskan oleh BSNP dan sekaligus memperhatikan kondisi karakteristik dan potensi daerah dan peserta didik. KTSP, menurut kaca mata penulis sangatlah baik sekali jika benar-benar dikembangkan dengan prosedur yang  benar. Hal ini karena KTSP memberikan otoritas yang luas kepada setiap satuan pendidikan untuk mengembangkan kurikulum sesuai kebutuhan. Sekolah-sekolah dikota, misalkan dapat mengembangkan kurikulumnya dengan kebutuhan yang ada, seperti penguatan penuasaan teknologi kepada peserta didik, sedangkan sekolah yang berada di daerah yang memiliki potensi alam yang melimpah dapat mengembangkan kurikulumnya dengan memberikan mata pelajaran yang dapat menunjang kea rah pengolahan SDA yang dimiliki.
Selain hal positif dalam KTSP, terdapat juga poin negatifnya, yaitu sekolah-sekolah yang tidak bisa memahami dan mengembangkan kurikulum, hanya akan copy-paste kepada kurikulum yang diwarkan pemerintah. Hal ini jauh sekali dari cita-cita KTSP. Akan tetapi, terlepas dari poin positif dan negative KTSP, kurikulum ini haruslah selalu dievaluasi untuk meminimalisir problem-problem yang tercover dalam implementasi KTSP selama sekitas 6 tahun ini.
Evaluasi KTSP ternyata bukanlah opsi yang dipilih oleh Menteri Kemendikbud, Muhammad Nuh dalam upaya melakukan perbaikan kualitas pendidikan di Indonesia. Muhammad Nuh, selaku menteri Pendidikan di negri ini memutuskan untuk merumuskan kurikulum baru yang rencananya akan mulai diterapkan pada semua jenjang pendidikan dari SD s/d SMA pada tahun ajan 2013/2014, tepatnya pada sekitar bulan Juli mendatang.
Respon terhadap kurikulum 2013 ini sangatlah variatif, mulai dari yang mendukung, tidak memberikan komentar sama sekali, sampai pada kalangan yang menolak dengan keras terhadap kurikulum ini. Berbagai macam alasan dijadikan argumentasi ide masing-masing kalangan baik yang mendukung ataupun menolak. Di sisi lain, pihak Kemendikbut juga melakukan uji public dan berbagai macam persiapan yang dilakukan untuk mensukseskan rencana kurikulum tersebut. Implikasinya adalah anggaran yang sangat besar harus dipersiapkan. Sumber dari Metro tv menyebutkan bahwa anggran yang dibutuhkan adalah sekitar Rp. 680 Miliyar. Dana yang sangat besar sekali. Dana yang besar tersebut semakin menyulut api-api prasangka buruk kalangan yang tidak setuju dengan adanya kurikulum 2013 ini. Namun, terlepas dari berbagai macam kontrofersi terhadap kurikulum ini, Penulis berusaha untuk menganalisa Kurikulum tersebut dari sisi filsafat pendidikannya. Semoga Allah memberikan hidayah dan inayahnya, sehingga tulisan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.  

     B.     Paparan Data dan Analisis
1.      Landasan Pengembangan Kurikulum,
a.       Filosofis
1)      Filosofi pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai luhur, nilai akademik, kebutuhan peserta didik dan masyarakat
2)      Kurikulum berorientasi pada pengembangan kompetensi
Dari aspek filosofis, Nampak terlihat jelas bahwa rancangan kurikulum ini berlandaskan pada filsafat pragmatis, yang kemudian dalam pendidikan dikenal aliran progresif. Aliran ini menentang dan menolak otoritarisme dan absolutism dalam pendidikan,[5] sebagai implikasi dari fahamnya adalah bahwa pendidikan haruslah dirancang sesuai kebutuhan subjek didik[6] dan kebutuhan masyarakat dan lingkungan.
b.      Yuridis
1)      RPJM 20120-2014 Sektor Pendidikan
·         Perubahan metodologi pembelajaran
·         Penataan kurikulum
Menurut hemat Penulis, produk pemikiran tentang landasan filosofis tadi adalah hasil pemikiran dari orang-orang yang memiliki wewenang dalam menentukan kebijakan dalam pendidikan di Indonesia. Lalu kemudian, lahirlah RPJM yang di dalamnya memuat aturan untuk mereformulasi metodologi pembelajaran dalam sekolah. Sesuai dengan landasan filosofis, maka meode pembelajaran yang akan digunakan adalah model student sentries, yaitu model pembelajaran yang terfokus pada siswa. Hal ini akan kita temukan pada poin rasionalitas penambahan jam pelajaran, di mana di dalamnya terdapat suatu ide tentang perubahan proses pembelajaran (dari siswa diberi tahu menjadi siswa mencari tahu). Model pembelajaran semacam ini kita kenal dengan metode pembelajaran inkuiri. Strategi pembelajaran inkuiri ini berangkat dari asumsi bahwa sejak manusia lahir ke dunia, menusia memiliki dorongan untuk menemukan sendiri pengetahuannya. Rasa ingin tahu tentang keadaan alam di sekelilingnya merupakan kodrat manusia sejak ia lahir ke dunia.[7]
2)      INPRES nomor 1 tahun 2012
·         Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional: penyempurnaan Kurikulum dan Metode Pembelajaran aktif berdasarkan nilai-nilai budaya bangsa untuk membentuk daya saing karakter bangsa
c.       Konseptual
1)      Relevansi
2)      Model kurikulum berbasis kompetensi
3)      Kurikulum lebih dari sekedar dokumen
4)      Proses pembelajaran
5)      Penilaian
Secara umum, kurikulum 2013 berlandaskan pada tiga hal, yaitu aspek filosofis, yuridis, dan konseptual. Hasil analisa Penulis memberika suatu kesimpulan umum bahwa kurikulum ini akan melakukan perubahan dalam hal materi, metode pembelajaran, pengembangan kompetensi, relevansi dengan kodisi masyarakat tiap satuan pendidikan, proses pembelajaran (input, proses, output), dan sistem evaluasi dan penilaian.
Selanjutnya akan dibahas masalah strategi pengembangan kurikulum ini, kira-kira langkah-langkah dan strategi pengembangan pendidikan di Indonesia.
2.      Strategi Pengembangan Pendidikan
a.       Peningkatan efektifitas belajar
Melihat pemaparan data di atas, terlihat jelas bahwa pendidikan Indonesia akan lebih mengandalkan efektifitas baik dalam interaksi pembelajaran, pemahaman, penyerapan, dan transformasi nilai yang secara keseluruhan dibungkus oleh sistem nilai yaitu nilai universal, nasional, dan lokal.
Dalam aspek  interaksi, perbaikan manajemen dan kepemimpinan akan lebih diperhatikan lagi. Interaksi antar sesama guru, guru dengan kepada sekolah, guru dengan siswa, dan interaksi antara pihak sekolah dan masyarakat. Kemudian dalam aspek pemahaman, proses pembelajaran akan dirancang sedemikian rupa untuk mencapai pemahaman siswa yang efektif, yaitu proses pembelajaran yang mengedepankan pengalaman personal melalui observasi (menyimak, melihat, membaca, mendengar), asosiasi, bertanya, menyimpulkan, mengkomunikasikan, menemukan (inkuiri) dan lain-lain. Dengan demikian, proses pembelajaran akan jauh dari kesan teacer sentries yang selama ini banyak dipraktekkan dalam pembelajaran secara umum di sekolah-sekolah, sebaliknya model pembelajaran ini lebih terfokus pada siswa, sementara guru –dengan berbagai pengalaman yang dimilikinya- hanyalah bertugas sebagai fasilitator, motivator, pengarah, pembimbing, dan penasehat.
Kemudian, dalam hal penyerapan, proses pembelajaran pada kurikulum ini, tidak hanya menekankan pada sisi kognitif saja, seperti halnya yang sering dialami sekarang, akan tetapi lebih dari itu, sisi afektif dan psikomotorik juga mendapat perhatian. Hal ini dilakukan dengan usaha maksimal dalam proses penyerapan dan tranfirmasi nilai.
b.      Rasionalitas penambahan jam pelajaran
Penambahan jam adalah konsekuensi logis sebuah usaha untuk lebih memperhatikan kognitif, afektif, dan psikomotik. Selain alasan itu, ada beberapa argumentasi dan rasionalitas penambahan jam pelajaran sebagaimana berikut;
1)      Perubahan proses pembelajaran [dari siswa diberi tahu menjadi siswa mencari tahu] dan proses penilaian [dari berbasis output menjadi berbasis proses dan output] memerlukan penambahan jam pelajaran (Progresif)
2)      Kecenderungan akhir-akhir ini banyak negara menambah jam pelajaran [KIPP di AS, Korea Selatan]
3)      Perbandingan dengan negara-negara lain menunjukkan jam pelajaran di Indonesia relatif lebih singkat
4)      Walaupun pembelajaran di Finlandia relatif singkat, tetapi didukung dengan pembelajaran tutorial 

3.      Rasional pengembangan kurikulum
a.       Permasalahan kurikulum 2006
1)      Konten kurikulum masih terlalu padat yang ditunjukkan dengan banyaknya matapelajaran dan banyak materi yang keluasan dan tingkat kesukarannya melampaui tingkat perkembangan usia anak.
2)      Kurikulum belum sepenuhnya berbasis kompetensi sesuai dengan tuntutan fungsi dan tujuan pendidikan nasional.
3)      Kompetensi belum menggambarkan secara holistik domain sikap, keterampilan, dan pengetahuan.
4)      Beberapa kompetensi yang dibutuhkan sesuai dengan perkembangan kebutuhan (misalnya pendidikan karakter, metodologi pembelajaran aktif, keseimbangan soft skills dan hard skills, kewirausahaan) belum terakomodasi di dalam kurikulum.
5)      Kurikulum belum peka dan tanggap terhadap perubahan sosial yang terjadi pada tingkat lokal, nasional, maupun global.
6)      Standar proses pembelajaran belum menggambarkan urutan pembelajaran yang rinci sehingga membuka peluang penafsiran yang beraneka ragam dan berujung pada pembelajaran yang berpusat pada guru.
7)      Standar penilaian belum mengarahkan pada penilaian berbasis kompetensi (proses dan hasil) dan belum secara tegas menuntut adanya remediasi secara berkala.
8)      Dengan KTSP memerlukan dokumen kurikulum yang lebih rinci agar tidak menimbulkan multi tafsir.








b.      Alasan pengembangan kurikulum
Data-data tentang alasan pengembangan kurikulum, ketika penulis coba korelasikan dengan filsafat pendidikan, akan semakin jelas dan memberikan justifikasi terhadap landasan filosofis kurikulum ini. Filsafat progresif senantiasa responsive pada perkembangan zaman, berorientasi pada need subjek didik dan kondisi lingkungan masyarakat. Akan tetapi, terlepas dari landasan filosofis tersebut, poin plus dari kurikulum ini adalah pembentukan karakter yang terencana.[8] Hal ini berbeda dengan kurikulum KTSP, yang mana hal tersebut tidak berjalan dengan lancer, pembelajaran terkesan hanya terfokus pada sisi kognitif saja, belum menyentuh ranah afektif dan psikomotorik.





c.       Identifikasi kesenjangan kurikulum




4.      Kerangka Kerja Pengembangan kurikulum
5.      Elemen Perubahan
Hal penting yang selama ini menjadi sorotan banyak kalangan, terutama kalangan yang menolak adanya kurikulum baru ini terletak pada poin pendekatan tematik integrative dalam mata pelajaran. Sorotan dan penolakan dari beberapa pakar pendidikan terletak pada integrasi mata pelajaran bahasa Indonesia dalam IPA pada jenjang Sekolah Dasar. Salah satu tokoh pendidikan bernama Yohanes mengatakan bahwa tidak mungkin akan terealisasi adanya rencana integrasi Bahasa Indonesia ke dalam IPA, karena terdapat perbedaan indikator dalam kedua mata pelajaran tersebut. Jika hal ini terpaksa direalisasikan, maka yang akan terjadi adalah banyak materi yang akan hilang. Akan tetapi, beliau memberikan solusi dari problem ini, menurut beliau, integrasi Bahasa Indonesia ke dalam IPA dapat dilakukan di SD kelas 1 sampai 3, adapun kelas 4 sampai 6,harus terpisah antara mata pelajaran Bahasa Indonesia dan IPA.[9]
Selanjutnya, sebagai implikasi dari landasan filosofis tersebut di atas, akan terlihat perubahan-perubahan signifikan pada Standar Kompetensi Lulusan (SKL), dan Struktur Kurikulum.[10]

     C.    Tanggapan terhadap Kebijakan Perubahan Kurikulum
Sebelum penulis memberikan kesimpulan secara umum terkait kurikulum 2013 ini, penulis akan memaparkan respon dan tanggapan penulis terkait kebijakan Kemendikbut tentang kurikulum baru.
Melihat content berkas Uji Publik Kurikulum 2013 ini, pertanyaan yang muncul di benak penulis adalah apa kira-kira yang berbeda di kurikulum ini? Kenapa kurikulum KTSP harus “dirombak” atau bahkan “dirubah”? poin-poin di dalam KTSP yang dirasa masih banyak poin negative yang selanjutnya harus dilakukan perubahan, bukan evaluasi? Dan pertanyaan-pertanyaan esensial lainnya. Namun, setelah membaca dengan seksama, akhirnya penulis menemukan jawaban-jawaban dari pertanyaan tersebut, sekaligus respon-respon penulis.
Adapun respon penulis antara lain adalah, pertama terkait masalah anggran yang begitu besar, yaitu mencapai kurang lebih Rp.680 Miliyar. Dana yang cukup banyak itu disiapkan untuk merealisasikan perubahan kurikulum baru. Jika disorot dari segi efektifitas dan ekonomis, penulis berfikir, kenapa kemendikbud tidak memilih untuk melakukan evaluasi dari Kurikulum 2006, yaitu KTSP, wong problemnya sudah teridentifikasi, kan tinggal cari solusi dari problem tersebut, daripada merumuskan kurikulum baru dengan anggaran yang banyak sekali dan dengan persiapan-persiapan panjang yang harus dilalui, seperti buku pedoman dan mempersiapkan penggunak kurikulum, yaitu guru. Menurut hemat penulis, dengan alasan efektifitas dan efisiensi waktu, serta alasan anggaran, seharusnya Kemendikbud memilih untuk melakukan evaluasi terhadap KTSP, melakukan identifikasi terhadap problem-problem yang ada,lalu kemudian memberikan solving problem terhadap KTSP.
Kedua, terlepas dari respon Penulis pada poin pertama, kurikulum baru ini, tidak hanya melalui proses uji public ansih, akan tetapi harus ada uji coba terlebih dahulu pada satu lembaga pendidikan, hingga dapat teridentifikasi poin positif dan negatifnya. Hasil identifikasi tersebut, kemudian menjadi bahan untuk evalusi sebelum kurikulum baru ini diterapkan secara nasional pada setiap satuan pendidikan. Adapun setelah adanya evaluasi, maka kurikulum baru ini dapat diterapkan secara nasional pada setiap satuan pendidikan di setiap daerah di seluruh penjuru negri ini.
Ketiga, terkait masalah implementasi kurikulum, hal penting yang dapat menjadi suksesi implementasi kurikulum adalam pengguna kurikulum, dalam hal ini adalah guru. Sebelum mengimplementasian kurikulum ini, guru haruslah benar-benar memahami dan mampu menerapkan kurikulum ini. Hal ini haruslah melalui proses yang cukup panjang,mengingat guru harus dibeikan pelatihan-pelatihan untuk mengimplementasikan kurikulum ini. Oleh karena itu,perlu ada rencana konkrit dari Kemendikbut tentang proses menyiapkan guru dalam rangka mensukseskan implementasi kurikulum baru ini.

    D.    Kesimpulan

Muhammad Nuh, menteri Pendidikan dan kebudayaan menyatakan bahwa “Kurikulum 2013 menekankan pada Kreatifitas Inovasi dan Karakter.” Kukikulum ini bertujuan untuk menyeimbangkan antara aspek akademis dan karakter anak-anak Indonesia. Sistem pembelajaran dalam setiap satuan pendidikan berbasis pada penguatan penalaran, bukan sekedar hafalan. Hal ini derealisasikan dengan pengembangan metode pembelajaran yang berpusat pada siswa (Student centris). Selain itu, aspek kreatifitas siswa lebih diperhatikan, tidak hanya soft skill, tetapi juga hard skill, demi merespon perkembangan zaman. Hal yang tak kalah pentingnya, dan menjadi poin plus dalam kurikulum ini adalah pembentukan karakter. Hal ini direalisasikan dengan perencanaan-perencanaan yang matang yang tentu berbeda dengan kurikulum sebelumnya. Semua ini memberikan justifikasi bahwa filsafat progressif menjadi landasan pengembangan kurikulum 2013 ini.

          Daftar Pustakan
Arifin, Zainal, 2012, Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum, Bandung, PT Remaja Rosdakarya
E. Mulyasa, 2006, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Bandung, PT Remaja Rosadakarya,
George R. Knight, 2007, Filsafat Pendidikan, terj Mahmud Arif, Yogyakarta, Gama Media,
Sanjaya, Wina, 2011, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, Jakarta, Kencana Prenada Media
Zuhairini DKK, 1991, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta, Bumi Aksara
Wawancara ekslufif antara Najwa dan Yohanes dalam program “Terkungkung Kurikulum” di Metro TV, Rabu, 09 Januari 2013 jam 21.30


[1] Pengertian ini tergolong tradisional, akan tetapi paling tidak, secara realita, orang-orang melihat bahwa esensi kurikulum adalah hal tersebut yang sampai sekarang masih digunakan di Indonesia. Lebih lanjut lihat; Zainal Arifin, 2012, Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, hlm. 2-3
[2] UU. No. 20 tentang SISDIKNAS tahun 2003 bab 1 pasal 1 ayat 19
[3] UU. No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 36 ayat 1, lebih lanjut lihat E. Mulyasa, 2006, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Bandung, PT Remaja Rosadakarya, hlm. 19
[4] UU. No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 36 ayat 2
[5] Zuhairini DKK, 1991, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta, Bumi Aksara, Hlm. 21, lihat juga George R. Knight, 2007, Filsafat Pendidikan, terj Mahmud Arif, Yogyakarta, Gama Media, hlm.145-156
[6] Subyek didik adalah istilah dalam aliran progressif. Istilah ini lebih memberikan kesan bahwa pendidikan pembelajran tidak teacher sentries (berpusat pada guru), tetapi student sentries (berpusat pada murid), murid lah yang berperan aktif dalam proses pembelajaran, sementara guru hanya lah berperan sebagai pengarah, pembimbing, penasehat, dll.
[7] Wina Sanjaya, 2011, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, Jakarta, Kencana Prenada Media, hlm. 196
[8] Hal ini dapat dilihat pada poin tentang Kurikulum sebagai integrator sistem nilai, pengetahuan dan keterampilan.
[9] Kesimpilan dari wawancara ekslufif antara Najwa dan Yohanes dalam program “Terkungkung Kurikulum” di Metro TV, Rabu, 09 Januari 2013 jam 21.30
[10] Lihat sub-judul tentang SKL dan Struktur Kurikulum, bandingkan dengan KTSP.

0 komentar:

Posting Komentar