Sabtu, 02 Februari 2013

PRADIGMA PENDIDIKAN IKHWANUL MUSLIMIN


Oleh: Ach. Sayyid, S.Pd.I
  A.    Latar Belakang Masalah
Pendidikan dipercaya sebagai pondasi peradaban manusia. Mutu dan kualitas pendidikan sangat menentukan peradaban manusia. Pendidikan yang bermutu akan melahirkan peradaban manusia yang intelek, terdidik dan beradab. Sebaliknya pendidikan yang tidak bermutu atau bahkan tidak sesuai dengan spirit agama akan mengalami kepincangan.
 Pendidikan yang hanya memprioritaskan segi kognitif dan mengesampingkan segi afektif dan psikomotoriknya akan melahirkan generasi yang hanya berotak cerdas tetapi tidak berkepribadian. Sebaliknya, pendidikan yang hanya memprioritaskan segi afektif dan psikomotiknya akan melahirkan output-output yang berwawasan  sempit dan gagap terhadap perubahan zaman.
Pendidikan integrasi antara ketiga komponen pendidikan yaitu; aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik yang harus dipreraktikkan di dalam pendidikan dewasa ini. Hal ini bertujuan untuk mencetak generasi bangsa yang tidak hanya mempunyai otak cerdas, berwawasan luas dan responsif terhadap perubahan zaman, akan tetapi juga memiliki kepribadian luhur, religus, dan taat beragama. Itulah cita-cita pendidikan di negara ini yang masih dalam tataran konsep dan proses aplikasi dengan berbagai macam problem yang dihadapinya.
Problem dalam pendidikan adalah hal yang tidak bisa dihindarkan, mengingat hidup di dunia ini, semua akan menghadapi masalah sesuai dengan kapabilitas seseorang dalam menghadapinya. Negara ini tengah menghadapi masalah pelik dalam pendidikan. Tiga komponen pendidikan; aspek  kognitif, afektif, dan psikomotorik masih hanya dalam tataran konsep. Asumsi dasar dari terjadinya hal tersebut adalah bahwa terdapat banyak pendidik yang belum atau sama sekali tidak mengerti secara komprehensip metode dan stretegi aplikasi tiga aspek pendidikan tersebut. Hal ini yang mejadi sebab mengapa siswa yang mendapat nilai 9 dalam PAI (Pendidikan Agama Islam) di sekolahnya, akan tetapi dikehidupan sehari-hari siswa tersebut melakukan hal-hal yang tidak mencerminkan kehidupan yang religius. Banyak siswa yang dapat pelajaran tentang toleransi, menghargai sesama, kejujuran, disiplain, dan sebagainya, akan tetapi masih jauh dari invironment kehidupan seperti apa yang mereka pahami, dalam arti bahwa pendidikan yang mereka peroleh masih dalam taraf pemahaman, belum sampai pada taraf aplikasi atau bahkan pembentukan karakter (caracter building).
Oleh karena itu, sebagai spirit pembaharuan dan pengayaan wawasan tentang model dan paradigma pendidikan, dianggap perlu melakukan komparasi atau bahkan analisis komprehenif dan radikal terhadap paradigma pendidikan organisasi-organisasi islam yang berhaluan tertentu. Diantara organisasi islam tersebut adalah Ikhwanul Muslimin yang mana organisasi ini didirikan oleh Hasan al-Banna dengan tujuan untuk mengembalikan spirit keislaman yang mulai luntur karena dominasi penjajahan eropa.
Secara umum, tujuan pendidikan Ikhwanul Muslimin adalah mencetak generasi yang beriman kepada Allah dan tidak hanya memandang cukup pendidikan tentang keagamaan seperti sholat, zakat, puasa, haji, dan lain-lain. akan tetapi generasi muslim yang -meminjam kata- kata Yusuf Qordhowi- bergejolak hatinya seperti bergejolaknya air mendidih di atas tungku dan hatinya lebut seperti leburnya garam dalan air. Lalu kemudian keprihatinan dan gejolak itu melahirkan kekuatan dahsyat yang akan mendorongnya melakukan perubahan dan perbaikan ke arah yang lebih baik.[1]
Oleh karena itu, pendidikan integritas antara keimanan dan ilmu pengetahuan dan sains serta menafikan dikotomi ilmu pengetahuan ala Ikhwanul Muslimin akan Penulis bahas dan analisis secara komprehensif dan mendalam dalam makalah ini.
InsyaAllahu Ta’ala…

  B.     Rumusan Malasah
1.      Apa landasan filosofis pemikikan pendidikan Islam ikhwanul Muslimin?
2.      Bagaimana Paradigma Pendidikan Ikhwanul Muslimin?
  C.    Tujuan
1.      Mendiskripsikan Organisasi Ikhwanul Muslimin
2.      Mendiskripsikan dan menganalisis Paradigma Pendidikan ikhwanul muslimin.
  D.    Penegasan Istilah
Sebelum masuk dalam pembahasan tentang peradigma pendidikan ikhwanul muslimin, penulis memandang perlu adanya penegasan keyword (kata kunti operasional) dalam makalah ini, diantaranya:
1.      Paradigma:
Menurut  analisis bahasa kata paradigma berasal dari bahasa inggris yaitu paradigm(n) yang berarti a very clear or typical example of something[2]. Dalam oxford dictionaries kata paradigm(n) berarti a world view underlying the theories and methodology of a particular scientific subject: the discovery of universal gravitation became the paradigm of successful science.[3] Dari dua pengertian tersebut, penulis menyimpulkan bahwa yang dimaksud paradigma dalam makalah ini adalah pendangan berfikir yang dibangun oleh teori dan metedologi terhadap subjek ilmu pengetahuan tertentu.
2.      Ikhwanul Muslimin.
Ikhwanul Muslimin adalah Jamaah atau gerakan yang berdiri di kota Ismailiyah, Mesir pada Maret 1928 dengan pendiri Hassan al-Banna, bersama keenam tokoh lainnya, yaitu Hafiz Abdul Hamid, Ahmad al-Khusairi, Fuad Ibrahim, Abdurrahman Hasbullah, Ismail Izz dan Zaki al-Maghribi. Ikhwanul Muslimin pada saat itu dipimpin oleh Hassan al-Banna. Pada tahun 1930, Anggaran Dasar Ikhwanul Muslimin dibuat dan disahkan pada Rapat Umum Ikhwanul Muslimin pada 24 September1930[3]. Pada tahun 1932, struktur administrasi Ikhwanul Muslimin disusun dan pada tahun itu pula, Ikhwanul Muslimin membuka cabang di Suez, Abu Soweir dan al-Mahmoudiya. Pada tahun 1933, Ikhwanul Muslimin menerbitkan majalah mingguan yang dipimpin oleh Muhibuddin Khatib.[4]

E.     Metode Penulisan
Adapun metode dalam penulisan ini, penulis menggunakan metode analisis isi (content analysis) terhadap buku karya Dr. Yusuf Qordhowy yang berjudul Al-Tarbiyatul Islamiyyah wa Madrasatu Hasan Al-Banna. Buku-buku lain tentang pendidikan Islam berposisi menjadi data sekunder dalam tulisan ini.

BAB II
Pembahasan

  A.    Landasan Filosofis Pemikiran Ikhwanul Muslimin tentang Pendidikan Islam
Berbicara masalah landasan filosofis, ada beberapa hal yang include di dalamnya, yaitu; ontology, epistemology, dan axiology. Tiga hal tersebut yang biasanya menjadi landasan bagi suatu paradigm pemikiran pendidikan setiap kelompok, golongan, dan organisasi.
Oleh karena itu dalam tulisan ini, akan dikupas pandangan Ikhwanul Muslimin tentang ontology yang terkait dengan pendidikan, seperti esensi ketuhanan, esensi alam, esensi kehidupan, esensi manusia, dan tujuan keberadaannya di dunia ini. Selain itu, akan dikupas juga aspek axiology nya, yaitu terkait dengan nilai-nilai dalam pandangan Ikhwanul Muslimin.
Dalam aspek ontology, pertama akan dibahas pendangan ikhwan tentang esensi tuhan. Menurut Hasan al-Banna, Ikhwan meyakini adanya dzat Tuhan, dan bahwa esensi-Nya terlalu agung untuk diketahui secara terperinci oleh akal manusia.[5] Pandangan pandangan Ikhwan tentang ketuhanan merupakan pandangan yang bersumber langsung dari teks al-Quran mengenainya. Mereka berpandangan bahwa penjelasan al-Quran tentang esensi ketuhanan tidak dimaksudkan untuk menegaskan eksistensiNya, akan tetapi untuk menjelaskan sifat-sifat alam wujud ini dengan sifat-sifat esensialnya, dan mengenalkan sifat-sifat itu kepada manusia dengan maksud untuk bertauhid.[6]
Adapun yang erat kaitannya dengan pendidikan adalah pemikiran Hasan Al-Banna yang merupakan tokoh  Ikhwanul Muslimin. Beliau mengatakan bahwa iman kepada ketuhanan memiliki pengaruh edukatif pada diri orang-orang yang beriman, yaitu:[7]
a.       Ia meluruskan akal manusia dengan menyelamatkannya dari kesesatan filsafat dan mengoreksi metode berfikirnya. Atinya, bagaimana manusia berfikir secara benar, sehingga ia mempertimbangkan akalnya untuk memikirkan hal-hal yang ada dalam jangkauannya, agar akal mengikuti petunjuk wahyu yang bersifat pasti dan tidak berpegang kepada dugaan-dugaan dalam urusan yang benar.
b.      Ia menumbuhkan ketenangan jiwa, kejelasan orientasi, dan mengarahkan seluruh potensi kepada satu tujuan tertentu.
c.       Ia memberikan nilai-nilai moral yang secara umum di dalam Islam terfokus pada apa yang dicintai dan diridhoi Allah untuk dilaksanakan.
d.      Kakrena itu, mereka mengakui bahwa orang-orang yang beriman kepada Allah, sifat-sifat, dan perbuatan-perbuatanNya, hendaklah melaksanakan apa yang menjadi konsekuensi dari unsure-unsur keyakinan ini.
Melihat beberapa pandangan Ikhwan terhadap Tuhan, maka penulis berfikir bahwa aspek ketuhanan ini yang akan mendapat porsi yang dominan dalam pendidikan Islam ala Ikhwanul Muslimin dengan tujuan untuk meluruskan cara berfikir dan memposisikan iman sebagai setir terhadap akal.
Kemudian, yang kedua adalah masalah esensi manusia. Tujuan keberadaan dan karakternya. Adapun esensi manusia menurut Ikhwan adalah bahwa manusia berposisi sebagai makhluk yang mempunyai eksistensi yang istimewa, dengan berpadunya unsure-unsur yang membentuk dirinya, yaitu tanah dan ruh. Ia adalah kholifah di muka bumi yang dibekali dengan karakter-karakter yang selaras dengan fungsi kekhalifahannya. Potensi tersebut adalah pengetahuan yang bisa berkembang dan siap menerima pengaruh-pengaruh alam, bereaksi terhadapnya, dan respek kepadanya. Dari beberapa reaksi dan responnya itu, lahirlah aktifitas untuk memakmurkan dan bumi dan melaksanakan tugas kekhalifahan ini.[8]
Selain itu, Ikhwan juga berpandangan bahwa manusia adalah makhluk yang dimuliakan dengan potensi pengetahuan yang berkembang, dan potensi memikul amanah.[9] Lebih lanjut sayid Qutub mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang dibekali -oleh Allah- dengan ruh, akal pikiran, dan indera, agar mampu melakukan interaksi dengan dengan alam yang lain, dengan Allah, dengan alam dan segala yang ada di dalamnya, para malaikat dan jin, jiwa dan berbagai potensi yang ada di dalamnya, serta seluruh makhluk hidup.[10]
Pandangan Ikhwan terhadap esensi manusia, menurut hemat penulis dapat diambil beberapa kata kunci, yaitu manusia adalah makhluk yang dikaruniai potensi kepemimpinan, pengetahuan, akal pikiran, indera, dan ruh. Beberapa potensi tersebut yang akan menjadi sasaran untuk dilakukan pengembangan-pengembangan agar potensi tersebut dapat berkembang secara maksimal.

  B.     Paradigma Pendidikan Ikhwanul Muslimin
Pendidikan Islam (al-Tarbiyatul Islamiyyah) menurut pengertian Ikhwanul Muslimin dan penerepannya mempunyai cirri-ciri khas yang menonjol, yang terpenting adalah sebagai berikut;[11]
a.    Tekanan pada segi Ketuhanan
b.    Sempurna dan Lengkap
c.    Keserasian dan Keseimbangan
d.   Kreatif dan Membina
e.    Persaudaraan dan Kesetiakawanan
f.     Beridentitas dan Berdikari
Beberapa cirri khas pendidikan Islam menurut Ikhwanul Muslimin tersebut di atas akan dijabarkan lebih lanjut menurut perspektif Dr. Yusuf Qordhowy dalam bukunya al-Tarbiyatul Islamiyyah wa Madrasatu Hasan al-Banna. Selanjutnya pada setiap poin, Penulis akan melakukan analisis komparatif dan kombinatif dengan pendidikan modern.
a.         Ketuhanan
Aspek ketuhanan atau keimanan dalam pendidikan Islam seperti difahami dan diterapkan oleh Ikhwanul Muslimin adalah aspek yang yang paling penting dan paling mendalam pengaruhnya. Hal ini karena tujuan pertama pendidikan Islam adalah membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah.
Hal yang tidak bisa dipisahkan dari ketuhanan adalah keimanan. Iman menurut faham organisasi ini adalah bukan hanya sekedar kata-kata yang diucapkan atau semboyan yang dipertahankan, tetapi ia adalah suatu hakikat yang meresap ke dalam akal, menggugah perasaan dan menggerakkan kemauan. Apa yang diyakini dalam hati dibuktikan kebenarannya dengan amal perbuatan.[12]
Seorang muslim yang memiliki iman yang kokoh akan berperilaku sesuai dengan apa yang ia yakini. Maka statement rasulullah saw benar adanya bahwa dalam diri setiap manusia terdapat segumpal darah yang apabila segumpal darah tersebut bagus, maka seluruh amal perbuatannya akan bagus pula, begitu sebaliknya. Oleh karena itu, ketika iman hanya sekedar kata-kata dan tidak tertancap dalam hati yang paling dalam (al-Lubb), maka iman tersebut tidak lebih dari hanya sebatas pengakuan identitas semata sebagai seorang muslim. Hal ini sebetulnya telah terjadi beberapa abad silam ketika Islam masi mengalami masa pertumbahan bersama Rasulullah saw. Pada masa tersebut terdapat seorang sosok yang bernama Abdullah Ibn Ubay yang beriman dan memeluk Islam hanya karena mencari aman saja. Hal ini disinggung dalam al-Quran Surah Al-Baqarah ayat 8-20.[13]
Berbicara tentang iman, maka terdapat satu bagian dalam diri setiap manusia yang oleh Rasulullah dalam Hadits diistilah dengan mudhghoh ayng berarti al-Qolb. Hati adalah poros, core (inti) dalam diri manusia. Hati lah yang mengirimkan sinyal kepada otak lalu kemudian dikiramkan kepada setiap anggota badan, yang pada akhirnya akan tercipta suatu pekerjaan/perbuatan.  Maka, ketika hati dalam kondisi baik, maka instruksi yang dikirimkan kepada anggota badan adalah instruksi-intruksi yang baik pula, sebaliknya ketika hati dalam kondisi yang jelek karna dipengaruhi oleh hawa nafsu, maka hati tidak dapat mengirimkan sinyal-sinyal positif, yang terkirim hanyalah sinyal negative yang dipengaruhi oleh hawa nafsu. Inilah yang dijelaskan oleh Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin. Beliau menganalogikan hati dengan Raja, dan anggota badan adalah rakyatnya. Beliau menjelaskan bahwa seyogyanya hati menjadi Amir/ Raja yang dipatuhi oleh rakyatnya, yaitu anggota badan. Adapaun suatu keadaan dimana seorang Amir/Raja tidak lagi dipatuhi oleh rakyatnya, maka kata beliau, itu adalah sebuah kejadian yang terbalik, dimana hati yang seharusnya memimpin, maka dalam kondisi tersebut ia diperintah dan disetir oleh yang seharusnya disetir yaitu anggota badan dan hawa nafsu. Maka keadaan tersebut menurut imam al-Ghozali adalah keadaan dimana kondisi hati benar-benar telah mengidap penyakit kronis dan tidak berfungsi sebagai mana mestinya.[14]
Oleh karena itu, dalam pendidikan Islam ala Ikhwanul Muslimin, Hati yang hidup adalah tiang pendidikan. Hati yang hidup berarti bahwa hati yang berhubungan dengan Allah SWT, meyakini pertemuan dengan-Nya, hisab-hisab-Nya, mengharap Rahmat-Nya dan takut akan siksa-siksa-Nya. Menurut Yusuf Qordhowy hakikat manusia bukanlah terletak pada bentuk fisiknya yang terdiri dari sel-sel dan jaringtan, tulang dan otot-otot. Akan tetapi, hakikatnya terletak pada jiwa yang bersemi pada fisik itu yang dapat menggerakkannya, menyuruh dan melarangnya. Hakikat tersebut adalah segumpal darah, yaitu Hati.[15]
Berangkat dari itu, tujuan pendidikan Ikhwanul Muslimin adalah untuk menghidupkan hati, agar ia tidak mati, dan memperbaikinya agar ia tidak rusak, serta memperhalusnya agar ia tidak kasar dan keras.
Adapun upaya-upaya untuk merealisasikan tujuan mulya tersebut adalah dengan hal-hal sebagaimana berikut;
1)      Ibadah
Ibadah –dalam pengertian umum- ialah suatu nama yang mencakup segala apa yang disukai dan diridhoi oleh Allah, berupa perkataan dan perbuatan. Akan tetapi yang dimaksud oleh Ikhwan adalah ibadah dalam pengertian khusus, yaitu beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan syira-syiar-Nya, berdzikir dan bersyukur kepada-Nya.[16]
Ibadah-ibadah yang dimaksud berupa 1) tetap mengikuti sunnah dan menjauhi bid’ah, 2) mengutamakan ibadah-ibadah fardhu, 3) gemar shalat jama’ah, 4) gemar amalan sunnah, 5) gemar Dzikir kepada Allah.[17]
2)      Jadwal al-Muhasabah (jadwal intropeksi)
Adalah suatu jadwal yang dicetak, berisi pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan seseorang kepada dirinya, dan ia harus menjawabnya dengan “iya” atau “tidak”. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana ia melaksanakan atau mengabaikan kewajibannya. Yang demikian itu, dilakukan ketika hendak tidur, agar diketahui hasil pekerjaannya hari itu. Intropeksi tersebut dilakukan sendiri, tidak memerlukan pengawas selain Allah SWT.[18]
Diantara pertanyaan-pertanyaan tersebut seperti; apakah engkau telah melaksanakan shalat pada waktunya? Apakah engkau telah melaksanakannya dengan berjama’ah? Apakah engkau telah membaca wirid harianmu dari al-Qur’an? Apakah engkau telah membaca doa’doamu yang ma’tsur? Apakah engkau menjenguk saudaramu karena Allah? Dan lain sebagainya.[19]
Melihat kedua metode yang dipakai Ikhwan dalam rangka mewujudkan tjuan mulianya, Penulis berfikir bahwa kedua metode tersebut memiliki sisi positif dan negatif. Sisi positif kedua metode tersebut adalah anggota Ikhwan benar-benar akan melalu proses yang amat dan sangat ketat dalam upaya untuk menghidupkan hatinya. Mereka akan mengikuti program-program ibadah yang diformat dan dirancang dengan sangat bagus sekali oleh gerakan Ikhwan, tidak hanya itu hal yang menjadi poin plus adalah adanya evaluasi ibadah mereka dengan muhasabah (intropeksi diri) yang dilakukan setiap akan tidur malam. Hal ini -menurut pandangan penulis- adalah suatu ibadah yang terformat dan terencana secara sistematis, sehingga kalaupun ada keinginan untuk lalai dan meninggalkan ibadah, seseorang akan merasa malu pada dirinya sendiri pada waktu ia melakukan muhasabah.
Ibarat dua mata pisau, keduanya memiliki sisi positif dan negatif. Maka menurut hemat Penulis, metode muhasabah memiliki celah pada sisi kesadaran dari anggota Ikhwan. Metode tersebut hanya berimplikasi positif pada anggota yang telah memiliki kesadaran penuh untuk melakukan tazkiyatu al-nafsi, sedangkan bagi yang tidak, meraka akan lalai bukan hanya pada iabdahnya, tapi pada sisi evaluasinya.
b.      Sempurna dan lengkap
Melihat pandangan Ikhwan terhadap esensi manusia, maka jelaslah bahwa pendidikan yang akan digagasnya tidak hanya cukup pada pengetahuan keagamaan. Seperti halnya apa yang dikatakan oleh Yusuf Qordhowy bahwa pendidikan Islam tidaklah terbatas pada memperhatikan satu segi saja dari segi-segi manusia seperti yang diutamakan oleh ahlinya masing masing. Pendidikan Islam tidak menghususkan perhatiannya pada aspek rohani atau akhlak saja seperti yang dipentingkan oleh ahli sufi dan ahli akhak, dan tidak pula membatasi usahanya pada pemahaman akal dan fikiran seperti yang dipentingkan oleh ahli filsafat dan orang-orang yang mengutamakan akal. Begitu pula tidak menjadikan cita-citanya yang utama pada latihan ketentaraan seperti yang dikinginkan oleh ahli-ahli di bidang kemiliteran, dan kegiatannya tidak pula terbatas pada pendidikan kemasyarakatan seperti yang dilakukan oleh penganjur perbaikan social. Akan tetapi pendidikan Islam haruslah keseluruh aspek-aspek ini dan ingin mewujudkannya secara utuh.[20]
Berangkat dari hal tersebut, maka pendidikan yang diterapkan oleh Ikhwanul Muslim tidak hanya pada aspek bathiniyah berupa usaha untuk menghidupkan hati, akan tetapi hal tersebut juga dilengkapi dengan aspek-aspek yang lain seperti; aspek akal, jasmani, jihad, politik dan sosial.[21]
Sifat syumuliyah Ikhwanul Muslimin selaras dengan karakteristik perkembangannya di masa awal, dimana Ikhwan tidak hanya memiliki pandangan universalitas dalam masalah pendidikan, akan tetapi lebih jauh dari itu mereka berpandangan bahwa dengan karakteristik Islam yang universal,[22] maka gerakan Ikhwanul muslimin juga haruslah sejalan dengan karekteristik tersebut. Ikhwan harus bergerak dalam segala aspek kehidupan seperti; dakwah, pendidikan, sosial,politik, dan ekonomi.[23]

c.       Positif dan membangun
Pendidikan Islam menurut Ikhwanul Muslimin selain berteraskan penekanan dari segi keimanan atau Ketuhanan dan saling melengkapi dan menyeluruh dalam segi pendidikan, juga ditekankan pula dengan ciri  penting yaitu bersifat positif dan membangun.
Hasan  Al-Banna, pengasas gerakan itu, adalah benar-benar seorang pembangun bukan seorang  penghancur, seorang yang suka bekerja bukan tukang bicara dan seorang yang realistik bukan seorang yang berangan-angan. Kerana itu ia mengerahkan tenaganya dan tenaga kawan-kawan sekitarnya kepada hal-hal yang positif dan membangun, bukan tenggelam dalam omongan sia-sia, ucapan     indah yang enak didengar bersifat kekanak-kanakan dan mencari kesalahan     orang lain. Berbahagialah orang yang sedar memikirkan kesalahannya dan tidak membicarakan kesalahan orang lain.[24]


d.      Keserasian dan Keseimbangan
Di    antara  ciri  khas   pendidikan     Islam,   seperti  yang    dikatakan    oleh  Hasan    Al Banna     dan    diajarkannya     kepada    pengikut-pengikut-nya        adalah:   serasi,   atau katakanlah: seimbang atau pertengahan.
Manakala      kaum    muslimin     merupakan      umat    pertengahan     di  antara  umat- umat     dan   Islam   agama     pertengahan     di  antara   agama-agama,       Ahlus    Sunnah merupakan golongan pertengahan di antara firqah-firqah (mazhab-mazhab), maka Ikhwanul Muslimin merupakan golongan     pertengahan di   antara   golongan- golongan. Mereka menjaga keseimbangan       antara   akal  dan   perasaan, antara  benda  dan   ruh,  antara   teori   dan   praktek,    antara   individu    dan   masyarakat,     antara  musyawarat dan ta'at, antara hak dan kewajiban dan antara yang lama dan yang baru.[25]
Gerakan itu  memanfaatkan  seluruh warisan (peninggalan) Islam.   Dari  ulama syari'at mereka mengambil sikap mengutamakan nas dan hukum,    dari ulama Ilmu Kalam sikap mementingkan dalil akal dan menolak yang syubhat dan dari ulama tasawuf perhatian terhadap pendidikan hati dan penyucian jiwa, serta berusaha   keras   menyingkirkan   campuran   dan   tambahan   yang   melekat   pada   peninggalan  ini  dan  kembali  kepada   sumber     yang   bersih, yaitu Kitabullah dan  Sunnah Rasul-Nya. Terhadap   warisan   di   bidang   fikih   dengan   mazhab-mazhabnya, Hasan Al-Banna tidaklah bersikap menolak secara mutlak dan tidak pula  menerima secara   mutlak,    seperti  yang   dilakukan     oleh  orang   lain.   Beliau tidak mewajibkan  taklid   kepada      mazhab-mazhab  itu dan juga tidak mengharamkannya   bagi   semua   orang.   Tetapi   mem-   bolehkannya   bagi   sebahagian orang   dengan   batasan-batasan   dan   syarat-syarat,   iaitu   sebagai   tujuan   dalam   sikap pertengahan.[26]

e.       Persaudaraan dan Jama’ah
Di antara pengertian dasar yang ditanamkan oleh Ikhwanul Muslimin      adalah persaudaraan dan rasa kasih sayang karena Allah. Tidak diragukan lagi,   namanya sendiri yaitu "Al-Ikhwan" telah mengandung pengertian ini. Imam Al-Banna menjadikan "Al-Ukhuwwah" (Persaudaraan) sebagai salah satu rukun      bai'at yang sepuluh dan ditafsirkannya dengan kata-katanya: "Bahwa hati dan jiwa terjalin dengan  jalinan akidah, dan akidah adalah penjalin yang lebih kuat    dan lebih tinggi nilainya. Persaudaraan adalah sama dengan iman, sedang      perpecahan adalah sama dengan kufur. Serendah-rendah kekuatan adalah      kekuatan persatuan, dan persatuan tidaklah akan terjelma tanpa kasih sayang.   Serendah- rendah kasih sayang adalah bersihnya hati dan setinggi-tinggi kasih sayang ialah mengutamakan orang lain.[27]
Berangkat dari pemahaman ukhuwah tersebut, pendidikan Ikhwanul Muslimin berusaha untuk memenghilangkan dan menghapus segala perbedaan yang memisahkan antar manusia baik suku, ras, bangsa, tanah air, bahasa, warna kulit, dan status sosial.

  C.    Kesimpulan
Landasan filosofis terhadap tuhan dan manusia mempengaruhi terhadap paradigma pendidikan Ikhwanul Muslimin. Pandangan Ikhwan terhadap ketuhanan memengaruhi  paradigma pendidikannya, yaitu  menjadikan dimensi ketuhanan mendapat porsi yang lebih dominan dalam pendidikan Islam ala Ikhwanul Muslimin dengan tujuan untuk meluruskan cara berfikir dan memposisikan iman sebagai setir terhadap akal. Pandangan Ikhwan terhadap esensi Manusia,  manusia adalah makhluk yang dikaruniai potensi kepemimpinan, pengetahuan, akal pikiran, indera, dan ruh. Beberapa potensi tersebut yang akan menjadi sasaran untuk dilakukan pengembangan-pengembangan agar potensi tersebut dapat berkembang secara maksimal.

Daftar Pustaka

Al-Ghozali, 2004, Mukhtashor Ihya’ Ulumuddin, Kairo, Dar al-Kutb al-Islamy
Ali Abdul Halim, 2005, Perangkat-perangkat Tarbiyah Ikhwanul Muslimin, Solo, Era Intermedia,
Hasan al-Banna, 1977, Allah fi Al-Aqidah Al-Islamiyyah, kairo, Dar Asy-Syihab
-------------------,1978, Risalah Al-Aqaid, Kairo, Dar Al-Syihab.
--------------------, Hadits Ats-Tsulasa’(ceramah-seramah hari selasa), Kairo Maktabah Al-Qur’an
Longman Group UK, 1998, Longman Dictionary of Contemporary, UK
OxfordDictionariesonline.http://oxforddictionaries.com/definition/english/paradigm?q=paradigm. Diakses tgl 29 September 2012
Sayid Qutub, 1986, Muqawwimat At-Tashawwur Al-Islamy, Beirut, Kairo, Dar al-Syuruq
-----------------, 1981, Fi Zhilal Al-Qur’an, Jilid 1 juz 1, Beirut, Kairo, Dar al-Syuruq
Utsman Abdul Mu’iz Ruslan, 2000, Tarbiyah Siyasiyah, Terj. Jasima DKK, Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin, Solo, Era Intermedia
Wikipedia, http://id.wikipedia.org/wiki/Ikhwanul_Muslimin. diakses tgl 02 Desember 2012
Yusuf Qordowi, At-Tarbiyatul Islamiyah wa Madrasatu Hasan al-Banna


[1] Yusuf Qordowi, At-Tarbiyatul Islamiyah wa Madrasatu Hasan al-Banna, hal. 7
[2] Longman Group UK, 1998, Longman Dictionary of Contemporary, UK
[3] Oxford Dictionaries online.http://oxforddictionaries.com/definition/english/paradigm?q=paradigm. Diakses tgl 29 September 2012
[4] Wikipedia, http://id.wikipedia.org/wiki/Ikhwanul_Muslimin. diakses tgl 02 Desember 2012
[5] Hasan al-Banna, 1977, Allah fi Al-Aqidah Al-Islamiyyah, kairo, Dar Asy-Syihab, hal. 9
[6] Sayid Qutub, Muqawwimat At-Tashawwur Al-Islamy, hal. 267-272
[7] Hasan Al-Banna, Risalah Al-Aqaid, hal. 76-77
[8] Hasan Al-Banna, Hadits Ats-Tsulasa’ (ceramah-seramah hari selasa), Kairo Maktabah Al-Qur’an. Hal. 10
[9] Sayid Qutub, Fi Zhilal Al-Qur’an, Jilid 1 juz 1 hal.60
[10] Sayyid Qutub, Muqawwimat At-Tashawwur Al-Islamy, hal. 326
[11] Yusuf Qordowi, At-Tarbiyatul Islamiyah wa Madrasatu Hasan al-Banna, hal. 9
[12] Ibid.
[13] Ayat ini menurut beberapa ahli tafsir turun kepada beberapa muslim “KTP” pada zaman Nabi, seperti Abdullah Ibn Ubayy dan lain-lain.
[14] Al-Ghozali, 2004, Mukhtashor Ihya’ Ulumuddin, Kairo, Dar al-Kutb al-Islamy, hal. 115
[15] Yusuf Qordowi, At-Tarbiyatul Islamiyah wa Madrasatu Hasan al-Banna, hal. 10
[16] Yusuf Qordowi, At-Tarbiyatul Islamiyah wa Madrasatu Hasan al-Banna, hal. 17
[17] Ibid, hal. 17-21
[18] Ibid, hal. 22
[20] Yusuf Qordowi, At-Tarbiyatul Islamiyah wa Madrasatu Hasan al-Banna,
[21] Ibid
[22] Pemimpin Ikhwanul Muslimin, Hasan Al-Banna meyakini bahwa hokum dan ajaran Islam itu komprehensif, mengatur seluruh urusan manusia di dunia dan akhirat. Beliau berpandangan bahwa Islam adalah aqidah dan ibadah, tanah air dan kebangsaan, agama dan Negara, spritualisme dan gerakan serta mushaf dan perang. (lihat: Ali Abdul Halim, 2005, Perangkat-perangkat Tarbiyah Ikhwanul Muslimin, Solo, Era Intermedia, hal. 109-110)
[23] Utsman Abdul Mu’iz Ruslan, 2000, Tarbiyah Siyasiyah, Terj. Jasima DKK, Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin, Solo, Era Intermedia, hal. 187-188
[24] Ibid, At-Tarbiyatul Islamiyah wa Madrasatu Hasan al-Banna, hal.71

[25] Ibid, At-Tarbiyatul Islamiyah wa Madrasatu Hasan al-Banna, hal. 81
[26] Ibid.
[27] Ibid, At-Tarbiyatul Islamiyah wa Madrasatu Hasan al-Banna, hal. 95

0 komentar:

Posting Komentar