Oleh:
Ach. Sayyid, S.Pd.I
A.
Latar Belakang Masalah
Pendidikan
dipercaya sebagai pondasi peradaban manusia. Mutu dan kualitas pendidikan
sangat menentukan peradaban manusia. Pendidikan yang bermutu akan melahirkan
peradaban manusia yang intelek, terdidik dan beradab. Sebaliknya pendidikan
yang tidak bermutu atau bahkan tidak sesuai dengan spirit agama akan mengalami
kepincangan.
Pendidikan yang hanya memprioritaskan segi
kognitif dan mengesampingkan segi afektif dan psikomotoriknya akan melahirkan
generasi yang hanya berotak cerdas tetapi tidak berkepribadian. Sebaliknya,
pendidikan yang hanya memprioritaskan segi afektif dan psikomotiknya akan
melahirkan output-output yang berwawasan
sempit dan gagap terhadap perubahan zaman.
Pendidikan
integrasi antara ketiga komponen pendidikan yaitu; aspek kognitif, afektif, dan
psikomotorik yang harus dipreraktikkan di dalam pendidikan dewasa ini. Hal ini
bertujuan untuk mencetak generasi bangsa yang tidak hanya mempunyai otak
cerdas, berwawasan luas dan responsif terhadap perubahan zaman, akan tetapi
juga memiliki kepribadian luhur, religus, dan taat beragama. Itulah cita-cita
pendidikan di negara ini yang masih dalam tataran konsep dan proses aplikasi
dengan berbagai macam problem yang dihadapinya.
Problem
dalam pendidikan adalah hal yang tidak bisa dihindarkan, mengingat hidup di
dunia ini, semua akan menghadapi masalah sesuai dengan kapabilitas seseorang
dalam menghadapinya. Negara ini tengah menghadapi masalah pelik dalam
pendidikan. Tiga komponen pendidikan; aspek
kognitif, afektif, dan psikomotorik masih hanya dalam tataran konsep.
Asumsi dasar dari terjadinya hal tersebut adalah bahwa terdapat banyak pendidik
yang belum atau sama sekali tidak mengerti secara komprehensip metode dan
stretegi aplikasi tiga aspek pendidikan tersebut. Hal ini yang mejadi sebab
mengapa siswa yang mendapat nilai 9 dalam PAI (Pendidikan Agama Islam) di
sekolahnya, akan tetapi dikehidupan sehari-hari siswa tersebut melakukan
hal-hal yang tidak mencerminkan kehidupan yang religius. Banyak siswa yang
dapat pelajaran tentang toleransi, menghargai sesama, kejujuran, disiplain, dan
sebagainya, akan tetapi masih jauh dari invironment kehidupan seperti
apa yang mereka pahami, dalam arti bahwa pendidikan yang mereka peroleh masih
dalam taraf pemahaman, belum sampai pada taraf aplikasi atau bahkan pembentukan
karakter (caracter building).
Oleh
karena itu, sebagai spirit pembaharuan dan pengayaan wawasan tentang model dan
paradigma pendidikan, dianggap perlu melakukan komparasi atau bahkan analisis komprehenif
dan radikal terhadap paradigma pendidikan organisasi-organisasi islam yang
berhaluan tertentu. Diantara organisasi islam tersebut adalah Ikhwanul Muslimin
yang mana organisasi ini didirikan oleh Hasan al-Banna dengan tujuan untuk
mengembalikan spirit keislaman yang mulai luntur karena dominasi penjajahan
eropa.
Secara
umum, tujuan pendidikan Ikhwanul Muslimin adalah mencetak generasi yang beriman
kepada Allah dan tidak hanya memandang cukup pendidikan tentang keagamaan
seperti sholat, zakat, puasa, haji, dan lain-lain. akan tetapi generasi muslim
yang -meminjam kata- kata Yusuf Qordhowi- bergejolak hatinya seperti
bergejolaknya air mendidih di atas tungku dan hatinya lebut seperti leburnya
garam dalan air. Lalu kemudian keprihatinan dan gejolak itu melahirkan kekuatan
dahsyat yang akan mendorongnya melakukan perubahan dan perbaikan ke arah yang
lebih baik.[1]
Oleh
karena itu, pendidikan integritas antara keimanan dan ilmu pengetahuan dan sains
serta menafikan dikotomi ilmu pengetahuan ala Ikhwanul Muslimin akan Penulis
bahas dan analisis secara komprehensif dan mendalam dalam makalah ini.
InsyaAllahu Ta’ala…
B.
Rumusan Malasah
1.
Apa
landasan filosofis pemikikan pendidikan Islam ikhwanul Muslimin?
2.
Bagaimana
Paradigma Pendidikan Ikhwanul Muslimin?
C.
Tujuan
1.
Mendiskripsikan
Organisasi Ikhwanul Muslimin
2.
Mendiskripsikan
dan menganalisis Paradigma Pendidikan ikhwanul muslimin.
D.
Penegasan Istilah
Sebelum masuk dalam pembahasan tentang peradigma pendidikan
ikhwanul muslimin, penulis memandang perlu adanya penegasan keyword (kata
kunti operasional) dalam makalah ini, diantaranya:
1.
Paradigma:
Menurut analisis bahasa kata paradigma berasal dari
bahasa inggris yaitu paradigm(n) yang berarti a very clear or
typical example of something[2].
Dalam oxford dictionaries kata paradigm(n) berarti a world view underlying the
theories and methodology of a particular scientific subject: the discovery of
universal gravitation became the paradigm of successful science.[3]
Dari dua pengertian tersebut, penulis menyimpulkan bahwa yang dimaksud
paradigma dalam makalah ini adalah pendangan berfikir yang dibangun oleh teori
dan metedologi terhadap subjek ilmu pengetahuan tertentu.
2.
Ikhwanul
Muslimin.
Ikhwanul Muslimin adalah Jamaah atau gerakan yang berdiri di kota Ismailiyah, Mesir pada Maret 1928 dengan pendiri Hassan al-Banna, bersama keenam tokoh lainnya, yaitu Hafiz Abdul Hamid,
Ahmad al-Khusairi, Fuad Ibrahim, Abdurrahman Hasbullah, Ismail Izz dan Zaki
al-Maghribi. Ikhwanul Muslimin pada saat itu dipimpin oleh Hassan al-Banna.
Pada tahun 1930, Anggaran Dasar Ikhwanul Muslimin dibuat dan disahkan pada
Rapat Umum Ikhwanul Muslimin pada 24 September1930[3]. Pada tahun 1932,
struktur administrasi Ikhwanul Muslimin disusun dan pada tahun itu pula,
Ikhwanul Muslimin membuka cabang di Suez, Abu Soweir dan al-Mahmoudiya. Pada tahun 1933, Ikhwanul Muslimin menerbitkan majalah
mingguan yang dipimpin oleh Muhibuddin Khatib.[4]
E.
Metode Penulisan
Adapun metode dalam penulisan ini,
penulis menggunakan metode analisis isi (content analysis) terhadap buku
karya Dr. Yusuf Qordhowy yang berjudul Al-Tarbiyatul Islamiyyah wa Madrasatu
Hasan Al-Banna. Buku-buku lain tentang pendidikan Islam berposisi menjadi data
sekunder dalam tulisan ini.
BAB
II
Pembahasan
A.
Landasan Filosofis Pemikiran Ikhwanul Muslimin tentang Pendidikan
Islam
Berbicara
masalah landasan filosofis, ada beberapa hal yang include di dalamnya,
yaitu; ontology, epistemology, dan axiology. Tiga hal tersebut yang biasanya
menjadi landasan bagi suatu paradigm pemikiran pendidikan setiap kelompok,
golongan, dan organisasi.
Oleh
karena itu dalam tulisan ini, akan dikupas pandangan Ikhwanul Muslimin tentang
ontology yang terkait dengan pendidikan, seperti esensi ketuhanan, esensi alam,
esensi kehidupan, esensi manusia, dan tujuan keberadaannya di dunia ini. Selain
itu, akan dikupas juga aspek axiology nya, yaitu terkait dengan nilai-nilai
dalam pandangan Ikhwanul Muslimin.
Dalam
aspek ontology, pertama akan dibahas pendangan ikhwan tentang esensi tuhan.
Menurut Hasan al-Banna, Ikhwan meyakini adanya dzat Tuhan, dan bahwa esensi-Nya
terlalu agung untuk diketahui secara terperinci oleh akal manusia.[5]
Pandangan pandangan Ikhwan tentang ketuhanan merupakan pandangan yang bersumber
langsung dari teks al-Quran mengenainya. Mereka berpandangan bahwa penjelasan
al-Quran tentang esensi ketuhanan tidak dimaksudkan untuk menegaskan
eksistensiNya, akan tetapi untuk menjelaskan sifat-sifat alam wujud ini dengan
sifat-sifat esensialnya, dan mengenalkan sifat-sifat itu kepada manusia dengan
maksud untuk bertauhid.[6]
Adapun
yang erat kaitannya dengan pendidikan adalah pemikiran Hasan Al-Banna yang
merupakan tokoh Ikhwanul Muslimin.
Beliau mengatakan bahwa iman kepada ketuhanan memiliki pengaruh edukatif pada
diri orang-orang yang beriman, yaitu:[7]
a.
Ia
meluruskan akal manusia dengan menyelamatkannya dari kesesatan filsafat dan
mengoreksi metode berfikirnya. Atinya, bagaimana manusia berfikir secara benar,
sehingga ia mempertimbangkan akalnya untuk memikirkan hal-hal yang ada dalam
jangkauannya, agar akal mengikuti petunjuk wahyu yang bersifat pasti dan tidak
berpegang kepada dugaan-dugaan dalam urusan yang benar.
b.
Ia
menumbuhkan ketenangan jiwa, kejelasan orientasi, dan mengarahkan seluruh
potensi kepada satu tujuan tertentu.
c.
Ia
memberikan nilai-nilai moral yang secara umum di dalam Islam terfokus pada apa
yang dicintai dan diridhoi Allah untuk dilaksanakan.
d.
Kakrena
itu, mereka mengakui bahwa orang-orang yang beriman kepada Allah, sifat-sifat,
dan perbuatan-perbuatanNya, hendaklah melaksanakan apa yang menjadi konsekuensi
dari unsure-unsur keyakinan ini.
Melihat beberapa pandangan Ikhwan terhadap Tuhan, maka penulis
berfikir bahwa aspek ketuhanan ini yang akan mendapat porsi yang dominan dalam
pendidikan Islam ala Ikhwanul Muslimin dengan tujuan untuk meluruskan cara berfikir
dan memposisikan iman sebagai setir terhadap akal.
Kemudian, yang kedua adalah masalah esensi manusia. Tujuan
keberadaan dan karakternya. Adapun esensi manusia menurut Ikhwan adalah bahwa
manusia berposisi sebagai makhluk yang mempunyai eksistensi yang istimewa,
dengan berpadunya unsure-unsur yang membentuk dirinya, yaitu tanah dan ruh. Ia
adalah kholifah di muka bumi yang dibekali dengan karakter-karakter yang
selaras dengan fungsi kekhalifahannya. Potensi tersebut adalah pengetahuan yang
bisa berkembang dan siap menerima pengaruh-pengaruh alam, bereaksi terhadapnya,
dan respek kepadanya. Dari beberapa reaksi dan responnya itu, lahirlah
aktifitas untuk memakmurkan dan bumi dan melaksanakan tugas kekhalifahan ini.[8]
Selain itu, Ikhwan juga berpandangan bahwa manusia adalah makhluk
yang dimuliakan dengan potensi pengetahuan yang berkembang, dan potensi memikul
amanah.[9]
Lebih lanjut sayid Qutub mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang dibekali
-oleh Allah- dengan ruh, akal pikiran, dan indera, agar mampu melakukan
interaksi dengan dengan alam yang lain, dengan Allah, dengan alam dan segala
yang ada di dalamnya, para malaikat dan jin, jiwa dan berbagai potensi yang ada
di dalamnya, serta seluruh makhluk hidup.[10]
Pandangan Ikhwan terhadap esensi manusia, menurut hemat penulis
dapat diambil beberapa kata kunci, yaitu manusia adalah makhluk yang dikaruniai
potensi kepemimpinan, pengetahuan, akal pikiran, indera, dan ruh. Beberapa
potensi tersebut yang akan menjadi sasaran untuk dilakukan pengembangan-pengembangan
agar potensi tersebut dapat berkembang secara maksimal.
B.
Paradigma Pendidikan Ikhwanul Muslimin
Pendidikan Islam (al-Tarbiyatul Islamiyyah) menurut
pengertian Ikhwanul Muslimin dan penerepannya mempunyai cirri-ciri khas yang
menonjol, yang terpenting adalah sebagai berikut;[11]
a.
Tekanan
pada segi Ketuhanan
b.
Sempurna
dan Lengkap
c.
Keserasian
dan Keseimbangan
d.
Kreatif
dan Membina
e.
Persaudaraan
dan Kesetiakawanan
f.
Beridentitas
dan Berdikari
Beberapa
cirri khas pendidikan Islam menurut Ikhwanul Muslimin tersebut di atas akan
dijabarkan lebih lanjut menurut perspektif Dr. Yusuf Qordhowy dalam bukunya
al-Tarbiyatul Islamiyyah wa Madrasatu Hasan al-Banna. Selanjutnya pada setiap
poin, Penulis akan melakukan analisis komparatif dan kombinatif dengan pendidikan
modern.
a.
Ketuhanan
Aspek ketuhanan atau keimanan dalam pendidikan Islam seperti
difahami dan diterapkan oleh Ikhwanul Muslimin adalah aspek yang yang paling
penting dan paling mendalam pengaruhnya. Hal ini karena tujuan pertama
pendidikan Islam adalah membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa kepada
Allah.
Hal yang tidak bisa dipisahkan dari ketuhanan adalah keimanan. Iman
menurut faham organisasi ini adalah bukan hanya sekedar kata-kata yang
diucapkan atau semboyan yang dipertahankan, tetapi ia adalah suatu hakikat yang
meresap ke dalam akal, menggugah perasaan dan menggerakkan kemauan. Apa yang
diyakini dalam hati dibuktikan kebenarannya dengan amal perbuatan.[12]
Seorang muslim yang memiliki iman yang kokoh akan berperilaku
sesuai dengan apa yang ia yakini. Maka statement rasulullah saw benar adanya
bahwa dalam diri setiap manusia terdapat segumpal darah yang apabila segumpal
darah tersebut bagus, maka seluruh amal perbuatannya akan bagus pula, begitu
sebaliknya. Oleh karena itu, ketika iman hanya sekedar kata-kata dan tidak
tertancap dalam hati yang paling dalam (al-Lubb), maka iman tersebut
tidak lebih dari hanya sebatas pengakuan identitas semata sebagai seorang
muslim. Hal ini sebetulnya telah terjadi beberapa abad silam ketika Islam masi
mengalami masa pertumbahan bersama Rasulullah saw. Pada masa tersebut terdapat
seorang sosok yang bernama Abdullah Ibn Ubay yang beriman dan memeluk Islam
hanya karena mencari aman saja. Hal ini disinggung dalam al-Quran Surah
Al-Baqarah ayat 8-20.[13]
Berbicara tentang
iman, maka terdapat satu bagian dalam diri setiap manusia yang oleh Rasulullah
dalam Hadits diistilah dengan mudhghoh ayng berarti al-Qolb. Hati
adalah poros, core (inti) dalam diri manusia. Hati lah yang mengirimkan
sinyal kepada otak lalu kemudian dikiramkan kepada setiap anggota badan, yang
pada akhirnya akan tercipta suatu pekerjaan/perbuatan. Maka, ketika hati dalam kondisi baik, maka
instruksi yang dikirimkan kepada anggota badan adalah instruksi-intruksi yang
baik pula, sebaliknya ketika hati dalam kondisi yang jelek karna dipengaruhi
oleh hawa nafsu, maka hati tidak dapat mengirimkan sinyal-sinyal positif, yang
terkirim hanyalah sinyal negative yang dipengaruhi oleh hawa nafsu. Inilah yang
dijelaskan oleh Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin. Beliau menganalogikan
hati dengan Raja, dan anggota badan adalah rakyatnya. Beliau menjelaskan bahwa
seyogyanya hati menjadi Amir/ Raja yang dipatuhi oleh rakyatnya, yaitu
anggota badan. Adapaun suatu keadaan dimana seorang Amir/Raja tidak lagi
dipatuhi oleh rakyatnya, maka kata beliau, itu adalah sebuah kejadian yang
terbalik, dimana hati yang seharusnya memimpin, maka dalam kondisi tersebut ia
diperintah dan disetir oleh yang seharusnya disetir yaitu anggota badan dan
hawa nafsu. Maka keadaan tersebut menurut imam al-Ghozali adalah keadaan dimana
kondisi hati benar-benar telah mengidap penyakit kronis dan tidak berfungsi
sebagai mana mestinya.[14]
Oleh karena
itu, dalam pendidikan Islam ala Ikhwanul Muslimin, Hati yang hidup adalah tiang
pendidikan. Hati yang hidup berarti bahwa hati yang berhubungan dengan Allah
SWT, meyakini pertemuan dengan-Nya, hisab-hisab-Nya, mengharap Rahmat-Nya dan
takut akan siksa-siksa-Nya. Menurut Yusuf Qordhowy hakikat manusia bukanlah
terletak pada bentuk fisiknya yang terdiri dari sel-sel dan jaringtan, tulang
dan otot-otot. Akan tetapi, hakikatnya terletak pada jiwa yang bersemi pada
fisik itu yang dapat menggerakkannya, menyuruh dan melarangnya. Hakikat
tersebut adalah segumpal darah, yaitu Hati.[15]
Berangkat dari
itu, tujuan pendidikan Ikhwanul Muslimin adalah untuk menghidupkan hati, agar
ia tidak mati, dan memperbaikinya agar ia tidak rusak, serta memperhalusnya
agar ia tidak kasar dan keras.
Adapun
upaya-upaya untuk merealisasikan tujuan mulya tersebut adalah dengan hal-hal
sebagaimana berikut;
1)
Ibadah
Ibadah –dalam
pengertian umum- ialah suatu nama yang mencakup segala apa yang disukai dan
diridhoi oleh Allah, berupa perkataan dan perbuatan. Akan tetapi yang dimaksud
oleh Ikhwan adalah ibadah dalam pengertian khusus, yaitu beribadah dan
mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan syira-syiar-Nya, berdzikir
dan bersyukur kepada-Nya.[16]
Ibadah-ibadah
yang dimaksud berupa 1) tetap mengikuti sunnah dan menjauhi bid’ah, 2)
mengutamakan ibadah-ibadah fardhu, 3) gemar shalat jama’ah, 4) gemar amalan
sunnah, 5) gemar Dzikir kepada Allah.[17]
2)
Jadwal
al-Muhasabah (jadwal intropeksi)
Adalah suatu
jadwal yang dicetak, berisi pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan seseorang
kepada dirinya, dan ia harus menjawabnya dengan “iya” atau “tidak”. Hal ini
dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana ia melaksanakan atau mengabaikan
kewajibannya. Yang demikian itu, dilakukan ketika hendak tidur, agar diketahui
hasil pekerjaannya hari itu. Intropeksi tersebut dilakukan sendiri, tidak
memerlukan pengawas selain Allah SWT.[18]
Diantara
pertanyaan-pertanyaan tersebut seperti; apakah engkau telah melaksanakan shalat
pada waktunya? Apakah engkau telah melaksanakannya dengan berjama’ah? Apakah
engkau telah membaca wirid harianmu dari al-Qur’an? Apakah engkau telah membaca
doa’doamu yang ma’tsur? Apakah engkau menjenguk saudaramu karena Allah? Dan
lain sebagainya.[19]
Melihat kedua metode yang dipakai Ikhwan dalam rangka mewujudkan
tjuan mulianya, Penulis berfikir bahwa kedua metode tersebut memiliki sisi
positif dan negatif. Sisi positif kedua metode tersebut adalah anggota Ikhwan
benar-benar akan melalu proses yang amat dan sangat ketat dalam upaya untuk
menghidupkan hatinya. Mereka akan mengikuti program-program ibadah yang diformat
dan dirancang dengan sangat bagus sekali oleh gerakan Ikhwan, tidak hanya itu
hal yang menjadi poin plus adalah adanya evaluasi ibadah mereka dengan muhasabah
(intropeksi diri) yang dilakukan setiap akan tidur malam. Hal ini -menurut
pandangan penulis- adalah suatu ibadah yang terformat dan terencana secara
sistematis, sehingga kalaupun ada keinginan untuk lalai dan meninggalkan
ibadah, seseorang akan merasa malu pada dirinya sendiri pada waktu ia melakukan
muhasabah.
Ibarat dua mata pisau, keduanya memiliki sisi positif dan negatif.
Maka menurut hemat Penulis, metode muhasabah memiliki celah pada sisi
kesadaran dari anggota Ikhwan. Metode tersebut hanya berimplikasi positif pada
anggota yang telah memiliki kesadaran penuh untuk melakukan tazkiyatu al-nafsi,
sedangkan bagi yang tidak, meraka akan lalai bukan hanya pada iabdahnya, tapi
pada sisi evaluasinya.
b.
Sempurna
dan lengkap
Melihat pandangan Ikhwan terhadap
esensi manusia, maka jelaslah bahwa pendidikan yang akan digagasnya tidak hanya
cukup pada pengetahuan keagamaan. Seperti halnya apa yang dikatakan oleh Yusuf
Qordhowy bahwa pendidikan Islam tidaklah terbatas pada memperhatikan satu segi
saja dari segi-segi manusia seperti yang diutamakan oleh ahlinya masing masing.
Pendidikan Islam tidak menghususkan perhatiannya pada aspek rohani atau akhlak
saja seperti yang dipentingkan oleh ahli sufi dan ahli akhak, dan tidak pula
membatasi usahanya pada pemahaman akal dan fikiran seperti yang dipentingkan
oleh ahli filsafat dan orang-orang yang mengutamakan akal. Begitu pula tidak
menjadikan cita-citanya yang utama pada latihan ketentaraan seperti yang
dikinginkan oleh ahli-ahli di bidang kemiliteran, dan kegiatannya tidak pula
terbatas pada pendidikan kemasyarakatan seperti yang dilakukan oleh penganjur perbaikan
social. Akan tetapi pendidikan Islam haruslah keseluruh aspek-aspek ini dan
ingin mewujudkannya secara utuh.[20]
Berangkat dari hal tersebut, maka
pendidikan yang diterapkan oleh Ikhwanul Muslim tidak hanya pada aspek bathiniyah
berupa usaha untuk menghidupkan hati, akan tetapi hal tersebut juga dilengkapi
dengan aspek-aspek yang lain seperti; aspek akal, jasmani, jihad, politik dan
sosial.[21]
Sifat syumuliyah Ikhwanul
Muslimin selaras dengan karakteristik perkembangannya di masa awal, dimana
Ikhwan tidak hanya memiliki pandangan universalitas dalam masalah pendidikan,
akan tetapi lebih jauh dari itu mereka berpandangan bahwa dengan karakteristik
Islam yang universal,[22]
maka gerakan Ikhwanul muslimin juga haruslah sejalan dengan karekteristik
tersebut. Ikhwan harus bergerak dalam segala aspek kehidupan seperti; dakwah,
pendidikan, sosial,politik, dan ekonomi.[23]
c.
Positif
dan membangun
Pendidikan Islam menurut Ikhwanul Muslimin selain berteraskan
penekanan dari segi keimanan atau Ketuhanan dan saling melengkapi dan menyeluruh
dalam segi pendidikan, juga ditekankan pula dengan ciri penting yaitu bersifat positif dan membangun.
Hasan Al-Banna, pengasas
gerakan itu, adalah benar-benar seorang pembangun bukan seorang penghancur, seorang yang suka bekerja bukan
tukang bicara dan seorang yang realistik bukan seorang yang berangan-angan.
Kerana itu ia mengerahkan tenaganya dan tenaga kawan-kawan sekitarnya kepada
hal-hal yang positif dan membangun, bukan tenggelam dalam omongan sia-sia,
ucapan indah yang enak didengar
bersifat kekanak-kanakan dan mencari kesalahan orang lain. Berbahagialah orang yang sedar
memikirkan kesalahannya dan tidak membicarakan kesalahan orang lain.[24]
d.
Keserasian
dan Keseimbangan
Di antara ciri
khas pendidikan Islam,
seperti yang dikatakan
oleh Hasan Al Banna
dan diajarkannya kepada
pengikut-pengikut-nya
adalah: serasi, atau katakanlah: seimbang atau pertengahan.
Manakala kaum muslimin
merupakan umat pertengahan di
antara umat- umat dan
Islam agama pertengahan di
antara agama-agama, Ahlus
Sunnah merupakan golongan pertengahan di antara firqah-firqah
(mazhab-mazhab), maka Ikhwanul Muslimin merupakan golongan pertengahan di antara
golongan- golongan. Mereka menjaga keseimbangan antara
akal dan perasaan, antara benda
dan ruh, antara
teori dan praktek,
antara individu dan
masyarakat, antara musyawarat dan ta'at, antara hak dan
kewajiban dan antara yang lama dan yang baru.[25]
Gerakan itu memanfaatkan seluruh warisan (peninggalan) Islam. Dari ulama syari'at mereka mengambil sikap
mengutamakan nas dan hukum, dari ulama
Ilmu Kalam sikap mementingkan dalil akal dan menolak yang syubhat dan dari
ulama tasawuf perhatian terhadap pendidikan hati dan penyucian jiwa, serta
berusaha keras menyingkirkan campuran
dan tambahan yang
melekat pada peninggalan
ini dan kembali
kepada sumber yang
bersih, yaitu Kitabullah dan
Sunnah Rasul-Nya. Terhadap
warisan di bidang
fikih dengan mazhab-mazhabnya, Hasan Al-Banna tidaklah
bersikap menolak secara mutlak dan tidak pula
menerima secara mutlak, seperti
yang dilakukan oleh
orang lain. Beliau tidak mewajibkan taklid
kepada mazhab-mazhab itu dan juga tidak mengharamkannya bagi
semua orang. Tetapi
mem- bolehkannya bagi
sebahagian orang dengan batasan-batasan dan
syarat-syarat, iaitu sebagai
tujuan dalam sikap pertengahan.[26]
e.
Persaudaraan
dan Jama’ah
Di antara pengertian dasar yang ditanamkan oleh Ikhwanul Muslimin adalah persaudaraan dan rasa kasih sayang
karena Allah. Tidak diragukan lagi,
namanya sendiri yaitu "Al-Ikhwan" telah mengandung pengertian
ini. Imam Al-Banna menjadikan "Al-Ukhuwwah" (Persaudaraan) sebagai
salah satu rukun bai'at yang sepuluh
dan ditafsirkannya dengan kata-katanya: "Bahwa hati dan jiwa terjalin dengan jalinan akidah, dan akidah adalah penjalin
yang lebih kuat dan lebih tinggi
nilainya. Persaudaraan adalah sama dengan iman, sedang perpecahan adalah sama dengan kufur.
Serendah-rendah kekuatan adalah
kekuatan persatuan, dan persatuan tidaklah akan terjelma tanpa kasih sayang. Serendah- rendah kasih sayang adalah
bersihnya hati dan setinggi-tinggi kasih sayang ialah mengutamakan orang lain.[27]
Berangkat dari pemahaman ukhuwah tersebut, pendidikan
Ikhwanul Muslimin berusaha untuk memenghilangkan dan menghapus segala perbedaan
yang memisahkan antar manusia baik suku, ras, bangsa, tanah air, bahasa, warna
kulit, dan status sosial.
C.
Kesimpulan
Landasan filosofis terhadap tuhan
dan manusia mempengaruhi terhadap paradigma pendidikan Ikhwanul Muslimin.
Pandangan Ikhwan terhadap ketuhanan memengaruhi
paradigma pendidikannya, yaitu
menjadikan dimensi ketuhanan mendapat porsi yang lebih dominan dalam
pendidikan Islam ala Ikhwanul Muslimin dengan tujuan untuk meluruskan cara
berfikir dan memposisikan iman sebagai setir terhadap akal. Pandangan Ikhwan
terhadap esensi Manusia, manusia adalah
makhluk yang dikaruniai potensi kepemimpinan, pengetahuan, akal pikiran,
indera, dan ruh. Beberapa potensi tersebut yang akan menjadi sasaran untuk dilakukan
pengembangan-pengembangan agar potensi tersebut dapat berkembang secara
maksimal.
Daftar Pustaka
Al-Ghozali, 2004, Mukhtashor
Ihya’ Ulumuddin, Kairo, Dar al-Kutb al-Islamy
Ali Abdul Halim, 2005, Perangkat-perangkat
Tarbiyah Ikhwanul Muslimin, Solo, Era Intermedia,
Hasan al-Banna, 1977, Allah fi Al-Aqidah Al-Islamiyyah,
kairo, Dar Asy-Syihab
-------------------,1978, Risalah Al-Aqaid, Kairo, Dar
Al-Syihab.
--------------------, Hadits Ats-Tsulasa’(ceramah-seramah hari
selasa), Kairo Maktabah Al-Qur’an
Longman
Group UK, 1998, Longman Dictionary of Contemporary, UK
OxfordDictionariesonline.http://oxforddictionaries.com/definition/english/paradigm?q=paradigm. Diakses tgl 29 September 2012
Sayid Qutub, 1986, Muqawwimat At-Tashawwur Al-Islamy, Beirut,
Kairo, Dar al-Syuruq
-----------------, 1981, Fi Zhilal Al-Qur’an, Jilid 1 juz 1,
Beirut, Kairo, Dar al-Syuruq
Utsman Abdul Mu’iz Ruslan, 2000, Tarbiyah
Siyasiyah, Terj. Jasima DKK, Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin, Solo,
Era Intermedia
Yusuf Qordowi, At-Tarbiyatul Islamiyah wa Madrasatu Hasan al-Banna
[1] Yusuf Qordowi,
At-Tarbiyatul Islamiyah wa Madrasatu Hasan al-Banna, hal. 7
[2] Longman Group
UK, 1998, Longman Dictionary of Contemporary, UK
[3] Oxford
Dictionaries online.http://oxforddictionaries.com/definition/english/paradigm?q=paradigm. Diakses tgl
29 September 2012
[5] Hasan
al-Banna, 1977, Allah fi Al-Aqidah Al-Islamiyyah, kairo, Dar Asy-Syihab,
hal. 9
[6] Sayid Qutub, Muqawwimat
At-Tashawwur Al-Islamy, hal. 267-272
[7] Hasan
Al-Banna, Risalah Al-Aqaid, hal. 76-77
[8] Hasan
Al-Banna, Hadits Ats-Tsulasa’ (ceramah-seramah hari selasa), Kairo
Maktabah Al-Qur’an. Hal. 10
[9] Sayid Qutub, Fi
Zhilal Al-Qur’an, Jilid 1 juz 1 hal.60
[10] Sayyid Qutub, Muqawwimat
At-Tashawwur Al-Islamy, hal. 326
[11] Yusuf Qordowi,
At-Tarbiyatul Islamiyah wa Madrasatu Hasan al-Banna, hal. 9
[12] Ibid.
[13] Ayat ini
menurut beberapa ahli tafsir turun kepada beberapa muslim “KTP” pada zaman
Nabi, seperti Abdullah Ibn Ubayy dan lain-lain.
[14] Al-Ghozali,
2004, Mukhtashor Ihya’ Ulumuddin, Kairo, Dar al-Kutb al-Islamy, hal. 115
[15] Yusuf Qordowi,
At-Tarbiyatul Islamiyah wa Madrasatu Hasan al-Banna, hal. 10
[16] Yusuf Qordowi,
At-Tarbiyatul Islamiyah wa Madrasatu Hasan al-Banna, hal. 17
[17] Ibid, hal.
17-21
[18] Ibid, hal.
22
[20] Yusuf Qordowi,
At-Tarbiyatul Islamiyah wa Madrasatu Hasan al-Banna,
[21] Ibid
[22] Pemimpin
Ikhwanul Muslimin, Hasan Al-Banna meyakini bahwa hokum dan ajaran Islam itu
komprehensif, mengatur seluruh urusan manusia di dunia dan akhirat. Beliau
berpandangan bahwa Islam adalah aqidah dan ibadah, tanah air dan kebangsaan,
agama dan Negara, spritualisme dan gerakan serta mushaf dan perang. (lihat: Ali
Abdul Halim, 2005, Perangkat-perangkat Tarbiyah Ikhwanul Muslimin, Solo,
Era Intermedia, hal. 109-110)
[23] Utsman Abdul
Mu’iz Ruslan, 2000, Tarbiyah Siyasiyah, Terj. Jasima DKK, Pendidikan
Politik Ikhwanul Muslimin, Solo, Era Intermedia, hal. 187-188
[24] Ibid,
At-Tarbiyatul Islamiyah wa Madrasatu Hasan al-Banna, hal.71
[25] Ibid,
At-Tarbiyatul Islamiyah wa Madrasatu Hasan al-Banna, hal. 81
[26] Ibid.
[27] Ibid,
At-Tarbiyatul Islamiyah wa Madrasatu Hasan al-Banna, hal. 95
0 komentar:
Posting Komentar