Sabtu, 02 Februari 2013

Formulasi Hukum Islam: Intelektualisme Islam Sunni Abad Pertengahan “Menyoal wacana tertutupnya pintu Ijtihad”


Oleh: Ach. Sayyid, S.Pd.I

A.    Pendahuluan
Ijtihad sebagai gerakan intelektual Islam oleh mayoritas ulama telah dianggap tabu sejak kira–kira abad ke-10 H pada saat posisi mazhab-mazhab telah semakin mapan. Mayoritas umat Islam tidak lagi berorientasi ke masa depan dalam posisi sebagai syuhada ‘ala-nas atau khairu ummah, tetapi lebih senang menengok pada kemegahan masa lampau yang telah hilang. Kelompok ulul albab hampir-hampir tidak muncul lagi ke permukaan. Salah satu faktor yang menyebabkan kemacetan ini ialah pertimbangan-pertimbangan politik demi menjaga stabilitas, integritas, dan kelestarian imperium Islam, yang sesungguhnya sejak abad ke-9 M telah mulai melemah.
Proses deklinasi sebenarnya telah tampak sejak paruh kedua imperium Abbasiyah, lebih-lebih ketika mendapat serangan dari Mongol pada tahun 958 M.1 Pemikiran baru yang orisinil tidak berkembang lagi, yang terjadi ialah pengulangan, dan penghafalan yang sudah ada. Di samping itu, pemikiran kritis juga “terkekang”, yang timbul adalah kembali menjamurnya mitos–mitos. Jadi, tidak berlebihan jika masa itu sering ditunjuk sebagai permulaan kemunduran peradaban Islam.[1]
B.     Pembahasan
1.      Pengertian Ijtihad
Secara etimologis, ijtihad berarti bekerja-keras, bersungguh-sungguh, atau mencurahkan segala kemampuan sampai pada batas yang maksimal. Secara teknis, ijtihad meliputi tiga dimensi pengertian. Pengertian menurut kata kerja, menurut kata benda, dan menurut kata sifat. Pertama, pengertian menurut kata kerja, ijtihad adalah “mencurahan kemampuan maksimal oleh seorang ahli hukum (faqih) untuk meng-istinbath-kan ketentuan-ketentuan hukum syara’ yang rinci dari dalil-dalilnya,”[2] yakni menyangkut perbuatan manusia dengan manusia lain dan alam (muamalat). Kedua, pengertian menurut kata benda, ijtihad adalah hasil kerja intelektual seorang ahli hukum dalam menyimpulkan ketentuan-ketentuan hukum. Pengertian menurut kata sifat, ijtihad adalah kata yang menunjukkan sifat seorang mujtahid, yaitu “kecakapan yang dengannya seorang ahli hukum mampu menyimpulkan suatu ketentuan hukum syara’ dari dalil-dalilnya.[3]
Para ahli usul fiqh mengkategorikan tingkatan–tingkatan kualitas mujtahid yakni: 1) Ijtihad mutlak, yaitu suatu tingkat ijtihad tinggi dengan otoritas penuh dalam penentuan ushul (prinsip–prinsip dan metode ijtihad) dan furu’ (detail-detal ketentuan hukum). Biasanya tingkat ini dinyatakan hanya dimiliki oleh pendiri–pendiri mazhab dan beberapa murid langsung mereka yang tertentu; 2) Ijtihad nisbi, yaitu suatu tingkat ijtihad dengan otoritas terbatas di mana mujtahid mengikuti guru (imam)-nya dalam prinsip-prinsip dan metode ijtihadnya, tetapi tidak terikat kepadanya dalam menyimpulkan detail hukum; 3) Ijtihad dalam mazhab, yaitu tingkat ijtihad dengan otoritas yang khusus dalam masalah–masalah yang belum dilakukan ijtihad oleh imam, tetapi ia terikat kepada prinsip dan hasil ijtihad imam dalam detail hukum. Jadi, ijtihad ini terbatas hanya pada penerapan kaidah imam (guru) terhadap kasus–kasus yang belum diselesaikan oleh imam itu; 4) Tarjih, yaitu suatu tingkatan ijtihad yang berupa aktivitas menimbang di antara pendapat-pendapat yang sudah ada untuk mencari yang lebih kuat dan sesuai untuk keadaan tertentu. Inilah tingkat ijtihad paling rendah, lebih di bawah tarjih tidak ada lagi ijtihad, melainkan yang ada hanya ittiba’, yaitu mengikuti ijtihad orang lain dengan memahami argumentasinya, dan taqlid, yaitu mengikuti ijtihad orang lain secara patuh dengan tanpa memahami argumentasi dan dasarnya.[4]
2.      Sketsa Historis tentang Ijtihad
Pada masa Rasulullah tidak ada problem metodologis pemahaman al-Qur’an karena para sahabat berada langsung di bawah bimbingannya, dan bila perlu mereka dapat bertanya secara langsung mengenai masalah-masalah yang tidak jelas bagi mereka karena waktu itu belum muncul kaidah-kaidah yang pada masa kemudian dibakukan dalam teori yurisprudensi. Satu–satunya yang ideal bagi mereka adalah perilaku Nabi. Mereka belajar wudlu, shalat dan haji dengan cara mengamati langsung tindakan Rasulullah. Demikian juga, bila ada kasus-kasus tertentu, mereka mengajukan dan minta keputusan Nabi.
Tetapi, lain halnya setelah Nabi wafat, wahyu sudah tidak turun lagi, Rasul tempat bertanya telah tiada, sementara persoalan–persoalan kemasyarakatan dan agama justru berkembang sebagai akibat luasnya wilayah yang didiami umat. Banyak masalah baru timbul dan belum pernah ada petunjuk pemecahannya baik dalam al-Qur’an maupun hadis Nabi. Para sahabat dengan demikian harus berijtihad dengan menafsirkan ulang dan memperluas pengertian–pengertian hukum yang telah tersedia dalam al-Qur’an dan Hadis Nabi SAW.
Pada periode awal, ra’yu (pertimbangan pemikiran yang sehat) banyak digunakan dan merupakan alat ijtihad yang utama. Istilah ini merupakan istilah generik yang mendahului pertumbuhan hukum serta prinsip–prinsip qiyas dan istihsan yang lebih sistematis.
Para sahabat tidak memahami al-Qur’an dan Sunah Rasul secara harfiah. Mereka menggali semangat dan prinsip yang terkandung di dalamnya untuk kemudian diterapkan pada keadaan konkrit yang mereka hadapi. Sebagai contoh, Umar ibn Khattab tidak membagi-bagikan tanah-tanah di Irak (yang disebut tanah Sawad) kepada para prajurit yang menaklukkannya seperti yang berlaku dalam tradisi Rasulullah dan Abu Bakar. Alasan Umar tidak membagikan tanah tersebut ditemukan dalam al-Qur’an (Q.S.,59:6-10) yang pada intinya melarang penumpukan harta pada orang orang yang telah kaya. Dari sejarah kita ketahui bahwa tentara pada jaman Rasulullah dan Abu Bakar tidak digaji karena itu mereka mendapat bagian dari rampasan perang. Tetapi, pada jaman Umar diadakan tentara reguler dan diberi tunjangan tetap. Karena itu, Umar tidak memberi rampasan perang kepada mereka. Hasil tanah Sawad tersebut digunakan oleh Umar untuk kepen-tingan umum seperti tunjangan bagi mereka yang kurang mampu dan biaya pemeliharaan perbatasan, dan lain-lain.[5]
Pada masa tabi’in dan sesudahnya kegiatan ijtihad kian berkembang berikut dengan berbagai kecenderungan masing-masing. Perbedaan-perbedaan kian berkembang dan corak ijtihad sangat dipengaruhi oleh sifat kedaerahan. Orang–orang Irak dianggap lebih cenderung pada penggunaan rasio, sementara orang–orang Madinah lebih menyukai tradisi atau Hadis. Namun, kedua kecenderungan ini tidaklah merupakan kutub-kutub yang bertentangan satu sama lain secara frontal. Kecenderungan-kecenderungan itu hanya merupakan perbedaan porsi saja dalam pemakaian rasio atau Hadis. Pada dasarnya keduanya sama-sama memakai ra’yu dan Hadis, namun orang-orang Madinah lebih banyak menggunakan referensi Hadis, sedang orang Irak terpaksa berhati-hati menerima Hadis karena mereka memang agak jauh dari sumber tradisi Rasulullah di Madinah.
Pada periode imam-imam mujtahidin yang berlangsung di abad II H sampai pertengahan abad IV H, terjadi perkembangan ijtihad yang pesat, mazhab–mazhab hukum mengalami kristalisasi, dan metode-metode pemahaman al-Qur’an dan Hadis dibakukan. Peranan yang sangat menonjol dalam bidang ini dimainkan oleh Asy-Syafi’i (W. 204 H.) yang menyusun kitab al-Risalah yang menjadi buku pertama dalam metodologi pemahaman hukum dan dalam metodologi Hadis. Bahkan, dalam disiplin ilmu-ilmu syari’ah metodologi beliau masih tetap relevan dan dipertahankan sampai sekarang.
3.      Ijtihad Sesudah Periode Imam-Imam Mujtahidin
Periode sesudah imam mujtahidin secara relatif dinyatakan sebagai masa mulainya kemunduran kehidupan intelektual kaum muslim sampai jatuhnya Kota Baghdad tahun 656 H./1258 M oleh tentara Mongol. Khusus dalam bidang fiqh, para fuqaha cenderung taqlid kepada mazhab tertentu yang telah baku pada periode sebelumnya. Pada periode ini pula dikatakan pintu ijtihad mulai tertutup. Pekerjaan para fuqaha pada periode ini lebih terbatas memberikan alasan terhadap pendapat para imam, dan dengan demikian hanya berkisar pada pendapat yang sudah ada dan tidak keluar dari padanya. Ini pada akhirnya membawa kepada kecenderungan membela mazhab, betapapun pemikiran yang ada di dalamnya lebih lemah dari pendapat lain.
Selanjutnya, setelah jatuhnya Baghdad keadaan intelektual kaum muslimin tidak mengalami banyak perubahan. Pekerjaan para ulama hanya berkisar pada membuat syarah (penjabaran) dan hasyiah (penjabaran atas syarah). Pada masa inilah tingkat kreativitas dan orisinalitas intelektual disebut sebagai tingkat yang lebih rendah. Ciri umum masyarakat muslim saat itu ialah suasana traumatis terhadap perpecahan dan perselisihan sehingga yang muncul sebagai dambaan atau obsesi utama masyarakat ialah ketenangan dan ketentraman. Agaknya dambaan mereka tercapai, tetapi dengan ongkos mahal, yaitu stagnasi atau kemandegan sebab ketenangan dan ketentraman itu mereka “beli” dengan menutup dan mengekang kreativitas intelektual dan penjelasan atas nama doktrin taqlid dan tertutupnya ijtihad.[6]
Namun demikian, selama periode kemunduran ini masih tetap ada saja tokoh-tokoh cemerlang yang menyerukan perlunya ijtihad semisal Ibn Taimiyah (1263-1328 M). “Program” Ibn Taimiyah ialah menghimbau kaum muslimin untuk mencari kembali ajaran Islam yang sejati, dan untuk melakukan ijtihad dalam menafsirkan doktrin–doktrin agama. Bagi Ibn Taimiyah pintu ijtihad tidak pernah tertutup, bahkan beliau menyatakan dirinya sebagai seorang mujtahid mutlak.[7]
Sebenarnya penutupan pintu ijtihad itu tidak pernah dinyatakan secara resmi, dan memang tidak ada suatu otoritas pun dalam Islam yang berhak menutup pintu ijtihad. Akan tetapi, penilaian terhadap kehidupan intelektual kaum muslimin pada masa sesudah periode imam mujtahidin itu memperlihatkan keadaan yang lambat laun aktivitas berpikir kreatif telah begitu mundur. Di samping itu, landasan-landasan yang mendorong proses kreatif itu hancur sehingga pada akhirnya mengakibatkan terhentinya kegiatan intelektual yang mampu membuat sintesis besar dalam kebudayaan Islam. Terhentinya aktivitas inilah sebenarnya yang diartikan sebagai “tertutupnya pintu” ijtihad.
4.      Analisis & Respon Sarjana Hukum Islam Modern terhadap Tertutupnya Pintu Ijtihad
Literatur yuristik Islam selalu menggambarkan sebab-sebab tertutupnya pintu ijtihad dan berkembangnya taqlid. Ada beberapa sebab tertutupnya pintu ijtihad, sebagai berikut.
Pertama, bahwa masalah-masalah Islam dalam kaidah metodologis telah disusun secara baku. Di samping itu, fiqh telah dikupas secara detail oleh para mujtahidin pada periode yang kreatif dari sejarah Islam. Kenyataan ini membawa para ulama yang datang kemudian tidak terlalu lagi berkreasi untuk berpikir lebih serius karena segala sesuatu yang berhubungan dengan ushul dan furu’ telah tersedia dalam karya peninggalan para imam mujtahidin. Mereka hanya tinggal mengambil dan bila perlu memberi sedikit komentar atau ulasan saja.
Kedua, melemahnya kepercayaan diri ulama-ulama yang datang kemudian. Mereka merasa kemampuan mereka begitu tidak berarti, dan karena itu takut untuk ber-istinbat (melakukan penyimpulan) langsung dari sumber asli yaitu al-Qur’an dan Hadis. Mereka sudah merasa cukup hanya dengan menerima apa yang mereka warisi dari imamnya tanpa melakukan kritik lebih jauh.
Menurut Ibn Khaldun terdapat hubungan antara laju kreativitas keilmuan dengan kompleksitas institusi kemasyarakatan dan level kemakmuran suatu masyarakat. Ilmu pengetahuan merupakan barang mewah yang baru menjadi tuntutan apabila telah terlebih dahulu kebutuhan ekonomi terpenuhi, dan industri ilmu pengetahuan dapat dicapai oleh masyarakat yang memiliki tingkat keragaman dan diferensiasi yang tinggi dalam pranata sosialnya. Hancurnya kemajuan ilmu dan karena itu pudarnya ijtihad di kota–kota Islam seperti Baghdad, Cordova, Qairawan, dan lain–lain dikarenakan mundurnya kemakmuran di kota-kota tersebut.[8] Ini merupakan dampak dari disintegritas politik yang dialami dunia Islam sesudah jaman kejayaannya. Kekayaan publik tersebut untuk kepentingan perang yang menghancurkan, dan rakyat harus memikul beban berat.
Ketiga, dalam literatur ushul fiqh, dapat dijumpai pembahasan tentang kemampuan akal. Kebanyakan penulis ushul dari kalangan ortodoks cenderung menerima pendapat bahwa akal tidak berguna dalam mengetahui yang baik dan buruk, serta tidak ada hukum kecuali yang ditetapkan Tuhan. Pendapat yang terlalu melemahkan kedudukan akal ini barangkali juga besar pengaruhnya dalam menutup pintu ijtihad.
Di samping pendapat di atas, ada beberapa sebab yang sering disebut orang berkenaan dengan tertutupnya pintu ijtihad antara lain sebagai berikut.
a.    Terbagi–baginya negara Islam pada abad keempat hijriyah ke dalam beberapa kerajaan kecil, serta terjadi percekcokan para raja dalam merebut kekuasaan. Hal ini telah memaksa mereka mengabaikan dukungannya kepada gerakan penetapan hukum, dan sejalan dengan hal itu, para ulama pun sibuk dengan masalah politik.
b.    Adanya fanatisme mazhab, hilangnya sikap percaya diri, serta berbuat “semaunya” atau secara berlebih–lebihan dalam men-takwil-kan berbagai nash untuk menguatkan mazhab yang dianutnya.
c.    Meluasnya berbagai penyakit etis di kalangan ulama, rasa dengki-mendengki, serta egoistis.
d.   Tersebarnya sikap mencari hidup dari fatwa dan jabatan qadhi, serta tidak hanya kaidah-kaidah yang mereka pegangi.
e.    Kekhawatiran para ulama akan lemahnya penyokong agama, yang bisa jadi membawa kepada runtuhnya bangunan fiqh yang telah dibina oleh imam yang terdahulu, karena itu mereka berfatwa agar pintu ijtihad ditutup untuk mencegah ikut-sertanya orang–orang yang tidak ahli dalam berijtihad atau dalam menggali hukum dari sumbernya.[9]
Pendapat Taqy al-Hakim tersebut dikomentari oleh Ibrahim Abbas al-Dzarwy dalam Nadhariyah al-Ijtihad fi Asas al-Islamiyah. Menurutnya, kontroversi sekitar sebab–sebab tertutupnya pintu ijtihad sebagaimana disebut oleh Taqy al-Hakim tidak mendasar. Bagi Dzarwy, ijtihad tetap terbuka bagi orang yang mampu menggali hukum dari sumber–sumbernya. Di samping itu, instrumen untuk melakukan ijtihad masa kini jauh lebih mudah dibandingkan dengan masa sebelumnya. Hal ini karena hadis, tafsir, ayat-ayat ahkam, telah terkompilasikan secara lengkap. Hanya saja tekad untuk melakukan ijtihad masih lemah.[10]
Lain halnya dengan Joseph Schacht yang berpendapat bahwa sejak awal abad ke-4 H/ke-10 Masehi, Hukum Islam telah dielaborasikan sedemikian detail sehingga para sarjana Muslim sampai pada kesimpulan bahwa seluruh pertanyaan esensial telah dibahas dan dijawab. Dengan kata lain, inilah alasan bagi munculnya pertanyaan tentang siapa orang cukup qualified untuk melakukan ijtihad, dan di atas semua itu, ini juga alasan bagi tertutupnya pintu ijtihad.[11]
Sementara N.J. Coulson dan kebanyakan sarjana modern lainnya berpendapat bahwa ahli hukum Islam abad ke-4 H / ke-10 M telah mengangkat masalah pintu ijtihad dan menutupnya karena mereka merasa semua permasalahan hukum telah dibahas dan bahwa suatu sistem hukum yang komprehensif telah berhasil ditegakkan.[12]
Akan tetapi, Wael B. Hallaq menolak pendapat Schacht dan Nicholson. Menurutnya, banyak bukti menunjukkan bahwa pendapat ini sama sekali tidak mendapat dukungan fakta apa pun dalam literatur-literatur, dan pada kenyataannya bertentangan dengan apa pun yang dikatakan dan dilakukan kaum muslim.
Konsep mengenai tertutupnya pintu ijtihad sama sekali tidak muncul di benak kaum muslim yang hidup dalam periode awal tersebut karena ijtihad melekat dalam diri mereka yang secara langsung dipraktikkan.[13]
Fazlur Rahman berpendapat, walaupun secara formal pintu ijtihad tidak pernah ditutup, namun taqlid atau menerima otoritas secara mentah-mentah berkembang sedemikian suburnya sehingga secara praktis ijtihad menjadi tidak ada. Mula-mula taqlid ini disarankan kepada orang-orang awam. Walaupun akhirnya diakui bahwa orang-orang awam pun cukup memiliki kesanggupan untuk menilai dan memilih di antara pandangan-pandangan yang berbeda. Tetapi, di kemudian hari taqlid ini melanda semua umat Islam. Suara-suara yang menentang taqlid timbul terutama disponsori Ibnu Taimiyah. Sejak itu, generasi-generasi muslim terdahulu dipersalahkan telah menutup pintu ijtihad dan mengambil sikap taqlid. Ijtihad adalah penting dalam melakukan gerakan reformasi Islam pada abad ke-18. Modernis Muslim lebih menyerukan ijtihad yang urgensinya lebih besar sejak terjadi perbenturan antara masyarakat muslim dengan kekuatan-kekuatan baru.[14]
Ahmad Hasan pemikir Islam Pakistan, melihat sejumlah persoalan penting. Berdasarkan bukti–bukti, dia terpaksa berbeda pendapat dengan Joseph Schacht sebagaimana dikemukakan dalam The Origins of Muhammad Yurisprudence. Menurut Ahmad Hasan, embrio ijtihad sebenarnya telah ada sejak jaman Nabi, sahabat dan tabi’in, hanya saja bentuk ijtihad pada masa itu berupa, ra’y, qiyas dan istihsan. Jadi, ijtihad pada periode awal dari sejarah yurisprudensi Islam belum terformulasikan seperti pada era Imam Syafi’i dan sesudahnya.[15]
Alal al-Fasi melihat problem umat dalam kacamata sosial kemasyarakatan terutama kaitannya dalam bidang fiqh (hukum Islam) selalu muncul dan sangat kompleks, apalagi dalam dunia medis, lebih-lebih dalam bidang biotek, sebut saja kasus cloning yang menghebohkan akhir-akhir ini. Tidak dapat dipungkiri adanya perubahan hukum lantaran adanya transformasi sosial. Konsekuensi logisnya ialah bahwa ledakan ijtihad tidak dapat dibendung lagi dalam rangka untuk menjawab adaptabilitas hukum tersebut. Dengan demikian pintu ijtihad harus tetap terbuka bagi orang yang memenuhi klasifikasi.[16]
  1. Kesimpulan
Pertama, ijtihad adalah intellectual exercise seorang muslim untuk menetapkan suatu kasus hukum yang secara tegas belum ada ketentuan nash-nya dalam al-Qur’an dan Hadis.
Kedua, kedudukan ijtihad dalam Islam amat penting, ijtihad merupakan sebagai ruh dari dinamika hukum Islam, dengan kata lain, ijtihad adalah modal penting agar hukum Islam senantiasa dapat menjawab persoalan kemanusiaan sesuai dengan perkembangan jaman.
Ketiga, sejak dicanangkan gerakan pintu ijtihad telah tertutup pada awal abad 4 H/10 M, setelah wafat Muhammad Ibn Jarir ath-Thabari (w. 310/922), sampai dengan dimulainya gerakan pembaharuan pemikiran Islam pada penghujung abad 12/18 umat Islam seakan berhenti berpikir. Ibn Taimiyah (w. 728/1327) pada awal abad 7/13 pernah menggaungkan terbukanya pintu ijtihad. Namun, gaungan dan gugatan itu seakan tenggelam dalam gemuruh ber-taqlid. Dalam bidang fiqh para fuqaha hanya membatasi diri berijtihad dalam masing–masing mazhab yang dianutnya saja. Tidak ada lagi mujtahid muthlaq yang berijtihad langsung dari sumber pokok hukum-hukum al-Qur’an dan Hadis. Secara teoritis, kata Iqbal, kemungkinan berijtihad muthlaq masih tetap diakui oleh Sunni, namun dalam prakteknya kemungkinan itu sangat sulit diwujudkan sebab syarat-syarat yang ditetapkan untuk bolehnya seseorang berijtihad terlalu berat dan sukar untuk dapat dipenuhi.
Keempat, dari uraian di atas tampaknya disintegritas umat dapat merongrong landasan kultural dan intelektual dalam jangka panjang. Di samping itu, dogma-dogma teologis yang mengecilkan arti kemampuan manusia dan kompetensi akalnya, kurang berguna dalam mempertajam wawasan serta mendekati kebenaran secara progresif.


















Daftar Pustaka

al-Dzarwy, Ibrahim Abbas. 1993. Teori Ijtihad dalam Hukum Islam. Terj. Agil Husein al-Munawar. Semarang: Dimas.
Al-Fasi. 1963. Maqasid al-Syari’ah al-Islamiyah wa Makarimuhu. Rabat: Baida’.
al-Hakim, Taqy. TT. Al-Ushul al-Ammah al-Fiqh al-Muqaran. Disertasi. TTP: TP.
Coulson, A.J. 1964. A History of Islamic Law. Edinburgh: Edinburgh University Press.
Daud, Abu. 1973. Sunnah Abu Daud, Juz IV. TTP: Jama’atul Huquq Mahfudhah.
Hallaq, W.B. “Was the Gate of Ijtihad Closed?”, dalam International Journal of Middle Eastern Studies, Volume 16, Number I, 1984.
Hasabullah, Ali. 1964. Ushul Tasyri’ al-Islamy. Mesir: Dar-Ma’arif.
Hasan, Ahmad. 1984. Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup. Terj. Agah Gornad. Bandung: Pustaka.
Ibn Khaldun. TT. Al-Muqaddimah. TTP: Dar al-Fikr.
Iqbal, Muhammad. 1978. Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam. Terj. Osman Raliby. Jakarta: Bulan Bintang..
Ma’arif, Syafi’i. 1995. Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah. Jakarta: TP.
Madjid, Nurcholish. 1995. “Tradisi Syarah Hasyiyah dalam Fiqh dan Masalah Stagnasi Pemikiran Hukum Islam”, dalam Budhy Munawar Rachman (Ed), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina.
Rahman, Fazlur. 1995. Membuka Pintu Ijtihad. Terj. Anas Masyuddin. Bandung: Pustaka.
Schacht, J. 1964. An Introduction to Islamic Law. Oxford: The Clarendon Press.
Tiwana. 1982. Ijtihad wa Mada Hajatina, Ilaihi fi Haza al-‘Asr. Kairo: Dar al-Kutub al-Hadisah.
Zahroh, Abu. TT. Ushul Fiqh. Kairo: Dar al-Fikr al-Araby.


[1] Nurcholish Madjid, “Syarah Hasyiyah dalam Fiqh dan Masalah Stagnasi Pemikiran Hukum Islam”, dalam Budhy Munawar Rachman (Ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1995), hal. 313.
[2] Tawana, Ijtihad wa Mada Hajatina, Ilaihi fi Haza al-‘Asr (Kairo: Dar al-Kutub al-Hadisah, 1872), hal. 98.
[3] Ibid, hal. 120
[4] Abu Daud, Sunnah Abu Daud, Juz IV (TTP: Jama’atul Huquq Mahfudhah, Cet. I, 1973), hal. 19.
[5] Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Terj. Agah Gornad (Bandung: Pustaka, 1984), hal. 108.
[6] Nurcholish Madjid, “Syarah”, hal. 313.
[7] Syafi’i Ma’arif, Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah (Jakarta: TP, 1995), hal. xi.
[8] Ibn Khaldun, al-Muqaddimah (TTP: Dar al-Fikr, TT), hal. 434.
[9] Taqy al-Hakim, al-Ushul al-Ammah al-Fiqh al-Muqaran (Disertasi tidak diterbitkan) (TTP: TP, TT), hal. 599.
[10] Ibrahim Abbas al-Dzarwy, Teori Ijtihad dalam Hukum Islam,Terj. Agil Husein al-Munawar (Semarang: Dimas, 1993), hal. 42.
[11] J. Schacht, An Introduction to Islamic Law (Oxford: The Clarendon Press, 1964), hal. 69-71.
[12] N.J. Coulson, A History of Islamic Law (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1964), hal. 81. Ia mengemukakan argumentasi bahwa penutupan pintu ijtihad kemungkinan merupakan akibat tekanan-tekanan eksternal dan bukannya sebab-sebab internal. Targetnya tercapai ketika sumber-sumber material tentang kehendak Ilahi yang isinya sekarang telah dijelaskan.
[13] W.B. Hallaq, “Was the Gate of Ijtihad Closed?”, International Journal of Middle Eastern Studies, Volume 16, Number I, hal. 1984.
[14] Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, Terj. Anas Masyuddin (Bandung: Pustaka, 1995), hal. 262.
[15] Ahmad Hasan, Pintu, hal. 103-104.
[16] Al-Fasi, Maqasid al-Syari’ah al-Islamiyah wa Makarimuhu (Rabat: Baida’, 1963), hal. 138.

0 komentar:

Posting Komentar