Selasa, 05 Februari 2013

MENILIK KEPEMIMPINAN KIAI DI PESANTREN SALAF DAN KHALAF

Oleh: Ach. Sayyid, S.Pd.I



                Dalam budaya pesantren, seorang Kiai memiliki berbagai peran, termasuk sebagai pemimpin, pengasuh pondok, guru dan pembimbing bagi para santri serta suami dan ayah dalam keluarganya sendiri yang juga menetap di pondok. Peran yang begitu kompleks tersebut menuntut kiai untuk bis memposisikan dirinya dalam berbagai situasi yang dijalaninya. Sehingga dibutuhkan sosok kiai yang mempunyai kemampuan, dedikasi dan kometmen yang tinggi untuk bis menjalanklan peran-peran tersebut.
            Dari beberapa peran di atas, peran yang paling vital adalah dalam hal kepemimpinan. Hal ini tak lepas dari pentingnya kepemimpinan kiai itu sendiri yang mencakup perencanaan, pelaksanaan, pengorganisasian, pemotivasian dan pengawasan terhadap sumberdaya pesantren. Karena di dalam pesantren kiai menjadi tokoh kunci maka kiai sangat menentukan kelangsungan hidup pesantren.
            Menurut Mastuhu dalam bukunya yang berjudul Memberdayakan system pendidikan Islam, Kepemimpinan kiai dalam pesantren didefinisikan sebagai “seni” memamfa’atkan seluruh daya (dana, sarana, dan tenaga) pesantren untuk mencapai tujuan pesantren. Memanifestasi yang paling menyolok dalam pemamfatan daya tersebut adalah cara menggerakkan dan mengarahkan unsure pelaku pesantren (SDM pesantren) untuk berbuat sesuai dengan kehendak pemimpin pesantren dalam rangka mencapai tujuan yang diinginkannya.
            Kiai sebagai pemimpin pesantren sangat menentukan terhadap berhasil tidaknya pendidikan yang ada di pesantrennya. Selain itu ia juga merupakan uswah hasanah, representasi serta idola masyrakat sekitarnya. Hal ini senaga dengan yang ditegaskan Imron Arifin dalam bukunya yang berjudul Kepemimpinan Kiai; kasus Pondok Pesantren Tebuireng, bahwa; “Kepemimpinan kiai dipandang secara ideal oleh komunitas pesantren tersebut sebagai sentral figure yang mewakili keberadaan mereka. Peran kiai dalam pandangan ideal tersebut sangat vital baik sebagai mediator, dinamisator, katalisator, motivator, maupun sebagai penggerak bagi bagi komunitas yang dipimpinnya. Karena peranan yang sedemikian rupa sentralnya, maka sosok kiai sebagai pemimpin harus memenuhi criteria ideal sebagai berikut; 1) kiai harus dipercaya, 2) kiai harus dita’ati, dan 3) kiai harus diteladani oleh komunitas yang dipimpinnya”.
            Posisi kiai yang serba menentukan itu akhirnya justru cendrung menyebabkan terbangunnya otoritas mutlak. Zamkhsari Dhofir dalam bukunya yang berjudul Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kiai, mensinyalir bahwa kebanyakan Kiai di Jawa beranggapan bahwa suatu pesantren dapat diibaratkan kerjaan kecil dimana kiai merupakan sumber mutlak dari kekuasaan dan kewenangan (power and authority) dalam kehidupan dan lingkungan pesantren. Sehingga seluruh kebijakan pesantren baik dari tujuan, pelaksanaan, maupun evaluasinya menjadi otoritas kiai. Kiai mengusai dan mengendalikan seluruh sector kehidupan pesantren. Ustad, apalagi santri, baru berani melakukan sesuatu tindakan di luar kebiasaan setelah mendapat restu dari kiai. Ia ibarat raja, segala titahnya menjadi konstitusi baik tertulis maupun konvensi yang berlaku bagi kehidupan pesantren. Ia memiliki hak untuk menjatuhkan hukuman terhadap santri-santri yang melanggar ketentuan-ketentuan titahnya menurut kaidah-kaidah normative yang mentradisi di kalangan pesantren.
            Dengan demikian, kiai mempunyai kedudukan ganda: sebagai pengasuh pesantren sekaligus pemilik pesantren. Secara cultural kedudukan ini sama dengan kedudukan bangsawan feudal yang biasa dikenal dengan nama kanjeng di pulau Jawa. Tradisi feodalisme bukan saja memasuki pesantren melainkan justru kiai sendiri yang mempraktekkannya, kemudian diikuti oleh para ustadz dan santrinya sehingga tradisi ini sulit untuk dihapus.
            Kekuasaan kiai yang begitu besar tumbuh subur di dunia pesantren. Hali ini disebabkan kondisi sosio cultural dan social psikis penghuni lembaga pendidikan dapat menerima kelangsungan dan kelenggengan otoritas mutlak berdasarkan cirri-ciri watak santri yang selalu ta’dzim (mengagungkan) dan tidak berani menyangkal kehendak maupun titahnya.
Bentuk penghormatan inilah yang sedang mendapat gugatan karena dinilai sudah kebablasan. Pesantren perlu menata kembali interaksi antara kiai dan santri dari yang bersifat patrenalistik menjadi bersifat egalitarian dimana azas dan nilai-nilai keadilan (‘adalah), persamaan (musawa) dan musyawarah (syura) dapat diwujudkan secara sungguh-sungguh.
Dalam banyak kasus pesantren yang memiliki berbagai lembaga pendidikan, ternyata kiainya terkadang masih bertindak tidak demokratis khususnya yang menyangkut kedudukan strategis. Di hadapan pengurus pesantren, para ustadz, kepala sekolah dan kalangan lainnya terkadang kiai memutuskan untuk menunjuk sesorang menjadi kepala madrasah misalnya, tampa melalui persetujuan secara bebas dari mereka yang hadir.

0 komentar:

Posting Komentar