Minggu, 17 Februari 2013

Pembentukan Karakter dalam Perspektif Islam


Oleh: Achmad Sayyid

Aksi dan perilaku negatif mulai dari demo anarkis, perkelahian massal, perusakan, KDRT, tindak korupsi, perilaku a-susila hingga bullying di lembaga pendidikan merupakan wujud-wujud perbuatan tak terpuji atau lahir dari akhlak tercela. Sedang akhlak tercela dipastikan berasal dari orang bermasalah dalam keimanan yang merupakan manifestasi sifat syaitan dan iblis yang tugas utama dan satu-satunya menjerumuskan manusia agar tersesat dari koridor agama. 
Dalam Al Quran diungkap bahwa Iblis adalah makhluk sombong. Tatkala disuruh Allah bersujud terhadap Adam, ia menolak dan malah mengatakan “Aku lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan aku dari api, sedang Engkau menciptakannya dari tanah” (Qs. Al-A’raf: 12). Iblis pantang bersujud. Allah murka dan menghukumnya keluar dari surga. Iblis minta waktu untuk menjerumuskan manusia. Peristiwa ini diabadikan Allah di berbagai surat dalam Al Quran.
Ajaran Islam tidak membiarkan perbuatan tercela. Nabi Muhammad sendiri diutus dalam upaya menyempurnakan akhlak manusia. Mukmin adalah yang mempunyai akhlak paling baik. Dalam kamus bahasa yang mendekati makna akhlak adalah budi pekerti. Senyatanya di Indonesia budi pekerti bangsa masih menjadi persoalan, hingga dimunculkan karakter.  UU Sisdiknas no 20 tahun 2003  telah menaruh perhatian dengan mencantumkan akhlak mulia sebagai suatu tujuan penting dari sistem pendidikan nasional. Tetapi maraknya kekerasan dan perilaku negatif yang dilakukan oleh kaum terdidik membuat kita miris dan prihatin. Perbuatan itu dilakukan orang yang mengaku beragama.
Dalam Islam  disebutkan Nabi Muhammad memiliki akhlak yang agung: wainnaka la ‘ala khuluqin azim (QS Al-Qalam: 4). Akhlak terpuji dicontohkan Nabi diantaranya, menjaga amanah, dapat dipercaya, bersosialisasi dan berkomunikasi efektif dengan umat manusia sesuai harkat dan martabatnya, membantu sesama manusia dalam kebaikan, memuliakan tamu, menghindari pertengkaran, memahami nilai dan norma yang berlaku, menjaga keseimbangan ekosistem, serta bermusyawarah dalam segala urusan untuk kepentingan bersama.  Keberadaan Nabi selaku utusan Allah kepada umat manusia pada intinya dapat disimak dari ucapan beliau: “Sesungguhnya aku (Muhammad) ini diutus ke dunia semata-mata demi menyempurnakan Akhlak umat manusia” (al-Hadist).
Sabda Rasulullah tersebut diatas menunjukkan tiada lain bahwa kehidupan manusia ini semestinya bersandar pada segala perilaku positif dan tindakan terpuji. Itulah semua bagian dari sebuah akhlak yang mulia. Dalam Islam kedudukan akhlak sangat penting, ia merupakan "buah" dari pohon Islam  berakarkan akidah dan berdaun syari’ah.

Pendidikan Karakter yang Beradab
Cendekiawan Muslim Adian Husaini (2011) mengemukakan bahwa dalam soal pendidikan karakter bagi anak didik berbagai agama bisa bertemu. Islam, Kristen dan berbagai agama lain bisa bertemu dalam penghormatan terhadap nilai-nilai keutamaan. Nilai kejujuran, kerja keras, sikap ksatria, tanggung jawab, semangat pengorbanan, dan komitmen pembelaan terhadap kaum lemah dan tertindas, bisa diakui sebagai nilai-nilai universal yang mulia dan diakui oleh setiap agama.
Berbagai program pendidikan dan pengajaran – seperti pelajaran Budi Pekerti, Pendidikan Pancasila dan Kewargaan Negara (PPKN), Pendidikan Moral Pancasila (PMP), Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), – belum mencapai hasil optimal, karena pemaksaan konsep yang sekularistik serta tidak ada model perilaku yang jelas dan terterima. Padahal, program pendidikan karakter, sangat memerlukan contoh dan keteladanan. Kalau hanya slogan dan’omongan’, orang Indonesia dikenal jagonya! Memang kita rasakan, orang Indonesia dikenal piawai dalam menyiasati kebijakan dan peraturan. Ide UN, mungkin bagus tapi, di lapangan, banyak yang bisa menyiasati agar siswanya lulus semua yang merupakan tuntutan pejabat dan orang tua. Guru tidak berdaya. Lebih jauh lagi, kebijakan sertifikasi guru, bagus! Tapi, karena mental materialis dan malas sudah bercokol, kebijakan itu memunculkan tradisi berburu sertifikat, bukan berburu ilmu. Bukan tidak mungkin, gagasan Pendidikan Karakter ini menyuburkan bangku-bangku seminar demi meraih sertifikat pendidikan karakter, untuk meraih posisi dan jabatan tertentu.
Namun, pendidikan karakter yang mengembangkan nilai-nilai universal tersebut diatas tidak cukup untuk konteks Indonesia. Hal ini karena kita memiliki nilai-nilai adat ketimuran dan keagamaan yang demikian kuat dan menjadi ciri khas yang membedakan karakter orang Indonesia dan bangsa lain.  Sebagai contoh, China mendasarkan pada komunisme dan Negara barat berkiblat pada liberalisme. Mereka sukses. Kita sendiri sebenarnya memiliki Pancasila dan konstitusi kita (UUD 45) yang disusun the Founding Fathers sangat cermat mengesankan tingkat religiusitas yang tinggi dari mereka.
Tentu karakter manusia Indonesia itu berbeda dengan karakter masyarakat komunis di Cina dan masyarakat di Barat yang melekat kuat perilaku liberalnya. Disnilah keunikan masing-masing. Indonesia memiliki nilai tersendiri yang kemudian oleh para pendiri republik ini berhasil di”satu”kan dalam nilai-nilai Pancasila. Sila pertama meyakinkan kita bahwa karakter universal yang menjadi tujuan pendidikan karakter seyogyanya dibarengi dengan nilai-nilai keagamaan yang dimiliki masing-masing individu.
Sekolah-sekolah yang melaksanakan kegiatan pembelajaran berbasis keyakinan agamanya diperbolehkan dan dijamin dalam Negara berdasar Pancasila. Salahsatu penjabaran dari sila pertama ini maka seorang Kristen membentuk karakter universalnya melalui dasar keyakinan kristiani, sementara Muslim pun mengembangkan karakter universalnya melalui inspirasi keagamaan yang diyakininya yakni yang bersumber pada Al Qur’an dan Al Hadist..
Jadi pendidikan kita itu haruslah pendidikan karakter yang beradab dengan nilai-nilai filsafat dasar bangsa yang tersemai dalam Pancasila. Bukan karakter yang didasari nilai-nilai Barat, Komunis atau sekularistik. Hal ini penting karena pengaruh dan infiltrasi budaya asing demikian deras mempengaruhi warga bangsa,, padahal nilai-nilai ;uhur bangsa telah teruji menyatukan berbagai komponen bangsa sejak sebelum hingga masa mengisi kemerdekaan sekarang ini. The Founding Fathers RI telah berhasil menciptakan karya luar biasa dalam menyatukan bangsa ini melalui Pancasila.  Presiden Soekarno bahkan dengan percaya diri pernah memperkenalkan keunggulan Pancasila di forum persyarikatan bangsa-bangsa tak lama setelah Indonesia merdeka dari penjajahan.

Selasa, 05 Februari 2013

MENILIK KEPEMIMPINAN KIAI DI PESANTREN SALAF DAN KHALAF

Oleh: Ach. Sayyid, S.Pd.I



                Dalam budaya pesantren, seorang Kiai memiliki berbagai peran, termasuk sebagai pemimpin, pengasuh pondok, guru dan pembimbing bagi para santri serta suami dan ayah dalam keluarganya sendiri yang juga menetap di pondok. Peran yang begitu kompleks tersebut menuntut kiai untuk bis memposisikan dirinya dalam berbagai situasi yang dijalaninya. Sehingga dibutuhkan sosok kiai yang mempunyai kemampuan, dedikasi dan kometmen yang tinggi untuk bis menjalanklan peran-peran tersebut.
            Dari beberapa peran di atas, peran yang paling vital adalah dalam hal kepemimpinan. Hal ini tak lepas dari pentingnya kepemimpinan kiai itu sendiri yang mencakup perencanaan, pelaksanaan, pengorganisasian, pemotivasian dan pengawasan terhadap sumberdaya pesantren. Karena di dalam pesantren kiai menjadi tokoh kunci maka kiai sangat menentukan kelangsungan hidup pesantren.
            Menurut Mastuhu dalam bukunya yang berjudul Memberdayakan system pendidikan Islam, Kepemimpinan kiai dalam pesantren didefinisikan sebagai “seni” memamfa’atkan seluruh daya (dana, sarana, dan tenaga) pesantren untuk mencapai tujuan pesantren. Memanifestasi yang paling menyolok dalam pemamfatan daya tersebut adalah cara menggerakkan dan mengarahkan unsure pelaku pesantren (SDM pesantren) untuk berbuat sesuai dengan kehendak pemimpin pesantren dalam rangka mencapai tujuan yang diinginkannya.
            Kiai sebagai pemimpin pesantren sangat menentukan terhadap berhasil tidaknya pendidikan yang ada di pesantrennya. Selain itu ia juga merupakan uswah hasanah, representasi serta idola masyrakat sekitarnya. Hal ini senaga dengan yang ditegaskan Imron Arifin dalam bukunya yang berjudul Kepemimpinan Kiai; kasus Pondok Pesantren Tebuireng, bahwa; “Kepemimpinan kiai dipandang secara ideal oleh komunitas pesantren tersebut sebagai sentral figure yang mewakili keberadaan mereka. Peran kiai dalam pandangan ideal tersebut sangat vital baik sebagai mediator, dinamisator, katalisator, motivator, maupun sebagai penggerak bagi bagi komunitas yang dipimpinnya. Karena peranan yang sedemikian rupa sentralnya, maka sosok kiai sebagai pemimpin harus memenuhi criteria ideal sebagai berikut; 1) kiai harus dipercaya, 2) kiai harus dita’ati, dan 3) kiai harus diteladani oleh komunitas yang dipimpinnya”.
            Posisi kiai yang serba menentukan itu akhirnya justru cendrung menyebabkan terbangunnya otoritas mutlak. Zamkhsari Dhofir dalam bukunya yang berjudul Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kiai, mensinyalir bahwa kebanyakan Kiai di Jawa beranggapan bahwa suatu pesantren dapat diibaratkan kerjaan kecil dimana kiai merupakan sumber mutlak dari kekuasaan dan kewenangan (power and authority) dalam kehidupan dan lingkungan pesantren. Sehingga seluruh kebijakan pesantren baik dari tujuan, pelaksanaan, maupun evaluasinya menjadi otoritas kiai. Kiai mengusai dan mengendalikan seluruh sector kehidupan pesantren. Ustad, apalagi santri, baru berani melakukan sesuatu tindakan di luar kebiasaan setelah mendapat restu dari kiai. Ia ibarat raja, segala titahnya menjadi konstitusi baik tertulis maupun konvensi yang berlaku bagi kehidupan pesantren. Ia memiliki hak untuk menjatuhkan hukuman terhadap santri-santri yang melanggar ketentuan-ketentuan titahnya menurut kaidah-kaidah normative yang mentradisi di kalangan pesantren.
            Dengan demikian, kiai mempunyai kedudukan ganda: sebagai pengasuh pesantren sekaligus pemilik pesantren. Secara cultural kedudukan ini sama dengan kedudukan bangsawan feudal yang biasa dikenal dengan nama kanjeng di pulau Jawa. Tradisi feodalisme bukan saja memasuki pesantren melainkan justru kiai sendiri yang mempraktekkannya, kemudian diikuti oleh para ustadz dan santrinya sehingga tradisi ini sulit untuk dihapus.
            Kekuasaan kiai yang begitu besar tumbuh subur di dunia pesantren. Hali ini disebabkan kondisi sosio cultural dan social psikis penghuni lembaga pendidikan dapat menerima kelangsungan dan kelenggengan otoritas mutlak berdasarkan cirri-ciri watak santri yang selalu ta’dzim (mengagungkan) dan tidak berani menyangkal kehendak maupun titahnya.
Bentuk penghormatan inilah yang sedang mendapat gugatan karena dinilai sudah kebablasan. Pesantren perlu menata kembali interaksi antara kiai dan santri dari yang bersifat patrenalistik menjadi bersifat egalitarian dimana azas dan nilai-nilai keadilan (‘adalah), persamaan (musawa) dan musyawarah (syura) dapat diwujudkan secara sungguh-sungguh.
Dalam banyak kasus pesantren yang memiliki berbagai lembaga pendidikan, ternyata kiainya terkadang masih bertindak tidak demokratis khususnya yang menyangkut kedudukan strategis. Di hadapan pengurus pesantren, para ustadz, kepala sekolah dan kalangan lainnya terkadang kiai memutuskan untuk menunjuk sesorang menjadi kepala madrasah misalnya, tampa melalui persetujuan secara bebas dari mereka yang hadir.

Minggu, 03 Februari 2013

Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Malang Pesantren dengan Model Pendidikan Post-Tradisional


Oleh: Ach. Sayyid, S.Pd.I

A.    Latar Belakang Masalah
Pendidikan dipercaya sebagai pondasi peradaban manusia. Mutu dan kualitas pendidikan sangat menentukan peradaban manusia. Pendidikan yang bermutu, ressponsif terhadap perubahan zaman akan mencetak dan melahirkan peradaban manusia yang intelek, terdidik dan beradab, serta responsive, dinamis, dan berfikiran futuristik. Sebaliknya pendidikan yang tidak bermutu, kaku, tidak dinamis dan responsif terhadap perubahan zaman,  akan mengalami kepincangan di berbagai sisi dan otomatis akan ditinggalkan dewasa ini.
Pendidikan, umumnya terklasifikasi menjadi dua, formal dan non-formal. Pendidikan formal adalah pendidikan yang diakui oleh pemerintah. Sebagai implikasinya, pemerintah mempunyai otoritas untuk mengatur berbagai hal yang terkait dengan keberlangsungan pendidikan tersebut, seperti kurikulum, kualifikasi guru, biaya pendidikan serta evaluasinya. Sedangkan pendidikan non-formal adalah pendidikan yang tidak ada campur tangan pemerintah, dalam arti bahwa pemerintah tidak memiliki wewenang untuk mengatur hal-hal yang terkait dengan proses keberlangsungan pendidikan tersebut. Hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan tersebut,sepenuhnya diatur serta direncanakan oleh lembaga masing-masing, sama sekali tidak ada campur tangan pemerintah. Dengan demikian, pendidikan formal -dalam posisi selalu mendapat pengawasan dari pemerintah- akan selalu menadapat perhatian dari pemerintah baik dalam kurikulum, maupun hal lain yang terkait dengannya. Implikasinya adalah bahwa pendidikan formal akan selalu disetting sesuai dengan perubahan zaman. Pemerintah, dalam hal ini adalah Kemendikbud akan selalu melakukan perombakan dalam kurikulum pendidikan nasional sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman. Hal ini sangat kontradiktif sekali ketika kita melihat pendidikan non-formal. Dengan kondisi tanpa adanya campur tangan pemerintah, maka perjalanan pendidikan ini akan sangat tergantung sekali pada pihak-pihak yang memiliki power dalam pendidikan tersebut. Jika pemiliki power berparadigma tradisional konservatif, maka pendidikan dibawah tanggung jawabnya akan menjadi pendidikan yang eksklusif, menolak hal-hal baru dan inovasi-inovasi kea rah yang lebih maju sebagai efek dari perubahan zaman. Sebaliknya, jika pemangku kekuasan dan kebijakan dalam suatu pendidikan non-formal berparadigma progresif, maka pendidikan di bawah kekuasaannya akan dibentuk menjadi pendidikan yang responsive terhadap perubahan dan perkembangan zaman.
Pesantren Mahasiswa Al-Hikam adalah salah satu pendidikan non-formal di kota Malang. Melihat latar belakang berdirinya, Pesantren ini dirintis sebagai usaha untuk memadukan dimensi positif perguruan tinggi dan pesantren. Dimensi positif ini adalah mewujudkan generasi yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi serta berkepribadian yang baik dan bermoral. Pesantren Al-Hikam juga menginginkan bahwa pandangan perpaduan antara ilmu pengetahuan dan agama memperoleh pengakuan dan pembenaran oleh masyarakat luas. Demikian juga, keyakinan agama akan mendapatkan pertimbangan yang sangat penting dalam disiplin keilmuan.[1]
Dari beberapa paparan di atas, penulis tertantang untuk lebih mengetahui model pendidikan di Pesantren Mahasiswa Al-Hikam.
                         
B.     Landasan teori
Dalam landasan teori ini, Penulis akan membahas terminology tradisional terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan dengan pembahasan post-tradisional. Ini dilakukan sebagai perbandingan perubahan kondisi dari tradisional menuju post-tradisional. Lalu kemudian akan mengerucut pada model pendidikan tradisional dan post-tradisional.
1.    Tradisional
Menurut Khazanah bahasa Indonesia, tradisi berarti segala sesuatu seperti adat, kebiasaan, ajaran dan sebagainya, yang turun-temurun dari nenek moyang.[2] Ada pula yang menginformasikan bahwa tradisi berasal dari kata traditum, yaitu segala sesuatu yang bisa ditransmisikan, diwariskan oleh masa lalu ke masa sekarang.[3] Berdasarkan dua sumber tersebut jelaslah bahwa tradidi intinya adalah warisan masa lalu yang dilestarikan terus-menerus hingga sekarang. Warisan masa lalu itu dapat berupa nilai, norma sosial, pola kelakuan, dan adat kebiasaan lain yang merupakan wujud dari berbagai aspek kehidupan.
Dari kata tradisi, akhirnya menjadi tradisional, tradisionalist, dan tradisionalisme. Tradisional artinya menurut adat turun-temurun.[4] Sebagaimana diketahui biasanya kata tradisional digunakan untuk mensifati sesuatu, misalnya pakaian atau tari tradisional, yaitu pakaian atau tari menurut adat atau yang diwarisi turun temurun. Dan akhir-akhir ini, kata tradisional tampaknya muncul di mana-mana untuk mengimbangi segala sesuatau yang berbau modern. Dalam berbagai aspek kehidupan, kita mengenal istilah-istilah seperti upacara tradisional, arsitektur tradisional, pengobatan tradisional, dan lain-lain.
Istilah Tradisionalist biasanya dipergunakan untuk menunjuk orang atau kelompok masyarakat yang dengan gigih memegang dan memprtahankan berbagai tradisi masa lalu dalam kehidupan sehari-hari. Sekedar contoh, di kalangan Indonesia, yang biasanya di kenal sebagai kelompok tradisionalist, misalnya adalah Jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU), sementara Jam’iyyah Muhammadiyah dikategorikan sebagai kelompok modernist.[5]
Selanjutnya tradisionalisme, dengan adanya tambahan isme, bukan lagi merupakan kata sifat atau yang menunjukkan subjek perbuatan tertentu, melainkan sikap atau kecendrungan untuk melakukan sesuai dengan tradisi masa lalu.[6]
Melihat beberapa terminology di atas, maka ketika kita kontekstualisasikan dan kerucutkan pada salah satu masalah dalam kehidupan kita, yaitu masalah pendidikan, maka model pendidikan kaumberparadigma tradisional adalah model pendidikan yang tetap menjada, memelihara, dan melestarikan budaya dan tradisi yang diwarisi oleh pendahulunya. Satu contoh adalah dalam hal metode pengajaran. Pesantren model tradisional menganut metode bandongan, yaitu suatu model belajar mengajar yang melibatkan antara sosok kiai dengan sejumlah besar santri. Proses belajar mengajar tersebut dilaksanakan di tempat yang cukup besar dengan peserta didik yang cukup banyak. Adapaun metode yang digunakan adalah metode ceramah dengan materi tentang islam yang umumnya tidak terstruktur dengan perangkat pembelajaran seperti Kurikulum, Prota/Promes, RPP, dan lain-lain, semua berjalan sesuai dengan urutan pada bab-bab yang ada dalam kitab.
Karakteriktik model pendidikan tradisional tidak hanya terdapat pada metode yang digunakan, akan tetapi dalam kurikulumpun juga mengalami perbedaan dengan model pendidikan yang bersifat modern. Kuikulum pesantren lebih ditekankan pada materi/kitab apa yang akan dikaji oleh santri, oleh karena itu, hal ini mendapat pengawalan yang sangat ketat dari sosok leader dalam pesantren, yaitu, kiai. Kiai lah yang memiliki otoritas dalam menentukan kitab yang akan dikaji. Biasanya kiai tradisionalis sangat inklusif dan sangat anti terhadap hal-hal yang berbau modern. Mereka percaya bahwa yang tradisional lah yang sangat memberikan manfaat bagi mereka. Sejauh pengamatan Penulis, saat ini, model pendidikan semacam ini hampir bisa dikatan jarang sekali, kalaupun ada jumlah sangat sedikit sekali, dan mayoritas tidak bisa eksis karena tuntutan zaman.

2.    Post-tradisional
Seiring bergulirnya waktu, segala sesuatu berubah drastis, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang begitu pesat, maka semua hal dituntut untuk mengikuti perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini menjadikan sebagian kaum tradisionalist berfikir untuk mengikuti perkembangan IPTEK yang berkembang begitu pesat. Sebagai respon terhadap perkembangan IPTEK tersebut, dimunculkanlah wacana post-tradisional.
Post-tradisionalisme, menurut Marzuki wahid, salah satu intelektual NU yang berada pada garda aliran pemikiran ini, dapat dipahami sebagai suatu “lompatan tradisi”, karena ia berangkat dari suatu tradisi yang secara terus menerus berusaha memperbaharui tersebut dengan cara mendialogkan dengan modernitas.[7] Pada intinya kalangan ini berpaham al-muhafadhoh ‘ala al-Qodhim al-Shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah, yaitu menjaga dan melestarikan tradisi-tradisi yang baik, serta “welcome” terhadap hal-hal yang baru (modernitas) yang bersifat lebih baik. Penulis tidak akan membahas panjang lebar aliran post-tradisionlisme ini dari segi pemikiran islam, akan tetapi pembahasan akan lebih terfokus pada pendidikan model post-tradisionalist.
Adapun terkait dengan masalah pendidikan, kalangan post-tradisionalist -setelah melihat kelemahan-kelemahan tradisi yang mereka anut, serta berusaha merespon kemajuan IPTEK- berusaha menciptakan suatu sistem pendidikan yang memiliki keterpaduan antara tiga unsur sekaligus, yaitu; keislaman, keindonesiaan, dan keilmuan dan teknologi. Hal inilah yang dilakukan oleh Nurcholish Majid, beliau menggagas sistem pendidikan tersebut dengan tujuan untuk membentuk masyarakat madani.[8] Pendidikan keislaman yang telah mengakar dalam tradisi pendidikan islam di Indonesia berusaha diarahkan pada sistem pendidikan yang responsive terhdap perubahan zaman dalam berbagai segi, segi kurikulum, metode pembelajaran, sarana prasarana, materi, serta Sumber daya Manusia (SDM) dari pendidikan itu sendiri.  Meskipun hal ini harus dilakukan dengan melakukan perubahan yang cukup banyak dalam pendidikan islam, akan tetapi budaya-budaya positif tetap dipertahankan. Sikap takdhim murid terhadap guru-salah satunya- tetap kental mewarnai pendidikan model ini, berbeda dengan pendidikan modern yang seakan kehilangan budaya ‘respect” dari murid terhadap gurunya, meskipun ada beberapa murid yang masih menanamkan budaya itu. Pada intinya, dalam hal pendidikan, kaum post-tradisionalist menerapkan suatu statemen yang hampir dikenal oleh seluruh penganutnya, yaitu al-muhafadhoh ‘ala al-Qodhim al-Shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah, yaitu menjaga dan melestarikan tradisi-tradisi yang baik, serta “welcome” terhadap hal-hal yang baru (modernitas) yang bersifat lebih baik untuk kemajuan ke arah yang lebih baik lagi.

C.    Paparan Data
1.      Profil Pesantren Mahasiswa Al-Hikam
Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Malang berdiri pada tanggal 17 Ramadhan 1413 H/21 Maret 1992 M dibawah naungan yayasan Al-Hikam yang memiliki akte notaries No. 47/1989. Pesantren Al-Hikam didirikan dan diasuh oleh K.H. A. Hasyim Muzadi, beliau juga menjadi ketua yayasan, semenjak berdiri hingga tahun 2010. Setelah itu ketua yayasan diamanahkan kepada putra beliau, Abdul Hakim, S.E.
Pesantren Al-Hikam adalah lembaga pendidikan Islam yang dirintis sebagai usaha untuk memadukan dimensi positif perguruan tinggi dan pesantren. Dimensi positif ini adalah mewujudkan generasi yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi serta berkepribadian yang baik dan bermoral. Pesantren Al-Hikam juga menginginkan bahwa pandangan perpaduan antara ilmu pengetahuan dan agama memperoleh pengakuan dan pembenaran oleh masyarakat luas. Demikian juga, keyakinan agama akan mendapatkan pertimbangan yang sangat penting dalam disiplin keilmuan.
Sementara perguruan tinggi melakukan pengembangan potensi intelektual mahasiswa. Pada saat yang sama, Pesantren Mahasiswa Al-Hikam melakukan pembentukan kepribadian religious bagi mahasiswa umum(non agama). Oleh karena itu, generasi yang dihasilkan adalah generasi  yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi sekaligus memiliki fondasi kokoh yang berakar pada nilai-nilai moralitas dan spritualitas Agama.[9]
Ruhul Ma’had (Jiwa Pesantren Mahasiswa Al-Hikam) adalah:
a.       Ikhlas dalam beramal
b.      Jujur dalam bersikap
c.       Sederhana dalam hidup
d.      Santun dalam bergaul
e.       Mandiri dalam berusaha
f.       Berjuang bersama-sama
Sedangkan Motto Pesantren Mahasiswa Al-Hikam adalah:
a.       Amaliah Agama
b.      Prestasi Ilmiyah
c.       Kesiapan Hidup
Adapun Visi Pesantren Mahasiswa Al-Hikam adalah mewujudkan Pesantren Mahasiswa Al-Hikam sebagai komunitas belajar untuk mengembangkan potensi fitrah insaniyah yang mengintegrasikan Agama, etika ilmiah dan etika sosial.
Sedangkan Misinya adalah 1) pusat penempaan moral Agama, 2) pusat penumbuhan budaya ilmiah, dan 3) pusat pembekalan kecakapan hidup dan tanggung jawab sosial.
Sedangkan tujuannya adalah 1) mengantarkan santri Mahasiswa menjadi sarjana yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi di bidangnya dan memiliki bekal ilmu agama serta berkepribadian luhur, 2) mengantarkan Santri mahasiswa menjadi sarjana yang mampu merelevansikan antara ilmu pengetahuan dan teknologi dengan nilai-nilai Agama, dan 3) mempersiapkan Muslim yang memiliki integritas keilmuan Agama dan pengetahuan ilmiah serta memiliki jiwa pengabdian, kepeloporan dan kepemimpinan.[10]

2.      Pendidikan di Pesantren Mahasiswa Al-Hikam

a.      STAI Ma’had Aly al-Hikam
1)      Latabelakang berdirinya STAIMA
Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi telah banyak memberikan manfaat bagi bangsa Indonesia. Terbukti, dalam banyak segi kehidupan, kemajuan-kemajuan itu telah membawa perubahan besar dan cepat dalam kehidupan kita. Tanpa kita sadari, seringkali perubahan besar dan cepat itu melampaui kesiapan kita, baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat, untuk mengantisipasinya.
Transformasi menuju era informasi, misalnya, selain menjanjikan kehidupan yang lebih produktif dan nyaman, juga menuntut prasyarat tertentu dan juga membawa konsekuensi-konsekuensi yang luas dan mendalam. Hal ini tidak terlepas dari tatanan baru yang diusungnya.
Dalam kehidupan keseharian kita menemukan banyak sekali fenomena tersebut. Moralitas baru yang berlaku di dalam masyarakat industri atau masyarakat modern, yakni rasionalisme ekonomi, misalnya, mengharuskan individu atau masyarakat untuk menghargai maksimalisasi pendapatan, etos kerja dan profesionalisme. Bermula dari semata-mata rasionalisasi di bidang ekonomi ini, moralitas baru tersebut kemudian merembes ke bidang-bidang yang lain, termasuk di dalamnya adalah bidang pendidikan, kehidupan intelektual, hubungan sosial, sikap, kultur, ukuran-ukuran emosional, nilai-nilai, moral, dan bahkan juga spiritual.
Tampak di sini bahwa dinamika masyarakat mendatang (modern) menghadirkan sederet tantangan sekaligus peluang dan kesempatan yang memerlukan perangkat tertentu dan kesadaran baru pada tataran individu maupun masyarakat. Memang, dalam batas-batas tertentu, upaya untuk mempersiapkan perangkat dan kesadaran baru itu telah banyak ditawarkan. Berbagai rekomendasi yang merupakan hasil seminar dan kajian juga tak pernah melupakan masalah ini.
Salah satu rekomendasi yang paling sering kita dapatkan adalah perlunya segera dilakukan pengintegrasian ilmu dan moral. Hal ini dimaksudkan untuk memberi arah bagi perkembangan teknologi sehingga mampu menjamin masa depan kehidupan umat manusia; bukan malah sebaliknya menjadi potensi ancaman bagi kelangsungan hidup manusia itu sendiri.
Dalam konteks inilah agama dan lembaga-lembaganya dituntut untuk memberikan jawaban konkritnya. Jika tidak, agama bukan saja dipertaruhkan eksistensinya sebagai pedoman hidup bagi manusia, bahkan masa depan agama akan terancam.
Sebagai lembaga pendidikan agama, dengan sendirinya pesantren menjadi ikut tergugat untuk bersama-sama menjawab tantangan konkrit tersebut. Modal untuk berpartisipasi ke arah tersebut memang dimiliki oleh pesantren. Kita bisa temukan bahwa sebagai lembaga pendidikan agama yang sudah cukup berumur, pesantren memiliki khazanah keilmuan dan tradisi yang khas. Ini semua diperoleh dari hasil dialog yang kreatif dan penghayatan yang intensif terhadap nilai dan norma ajaran agama Islam dengan problema riil di masyarakat. Lebih jauh lagi, dalam perspektif futuristik, kita juga melihat bahwa khazanah keilmuan pesantren yang kaya itu dapat dimanfaatkan untuk memberikan keseimbangan, baik pada tataran konsep maupun dalam tataran praksis
Dalam tataran konsep, khazanah keilmuan pesantren sudah lebih dari cukup untuk mengintegrasikan ilmu dan nilai moral. Sedangkan dalam tataran praksis, khazanah keilmuan pesantren dapat memberikan rambu-rambu normatif bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menjamin kehidupan dan kehormatan umat manusia.
Dengan kata lain, kita sangat sepakat dengan rekomendasi pengintegrasian ilmu dan moral ini. Jika kita dapat merancang dan melaksanakan pengintegrasian ilmu dan moral, minimal ada dua keuntungan yang dapat dipetik. Pertama, tradisi intelektual pesantren yang merupakan hasil penghayatan terhadap norma ajaran Islam akan mendapat justifikasi dalam disiplin ilmu pengetahuan. Kedua, obyektifitas ilmu pengetahuan modern akan mendapatkan kembali justifikasi spiritual dan metafisisnya. Persoalan yang kemudian muncul adalah bagaimana cara menjembatani khazanah keilmuan dan tradisi yang baik di dunia pesantren dengan ilmu pengetahuan modern tersebut? Jawaban atas fenomena ini, salah satunya, adalah dengan memberikan bekal ilmu alat atau metode (thariqah) kepada santri-santri di pesantren. Dengan bekal ilmu tersebut maka isi (maddah) yang berupa khazanah ilmu keagamaan yang sangat kaya yang dimiliki pesantren akan dapat terkomunikasikan kepada masyarakat modern.
Berdasarkan pemikiran di atas maka PESANTREN MAHASISWA AL-HIKAM mengikhtiarkan berdirinya MA'HAD ALY AL HIKAM.
2)      Visi Misi
Misi yang diemban oleh Ma'had Aly Al-Hikam adalah sebagai berikut:
a)         Mengembangkan pesantren secara keilmuan maupun secara kelembagaan dan melakukan pencerahan kepada masyarakat melalui kegiatan ta'lim, tarbiyah, ta'dib, dan irsyad dengan menumbuhkembangkan sikap dan perilaku inovatif, kreatif, dan reinterpretatif, serta kecakapan untuk mengelola perubahan.
b)        Meningkatkan kompetensi lulusan pesantren melalui pembekalan dan penguatan di bidang ilmu alat, yakni bahasa dan perangkat metodologi berpikir ilmiah, serta pengembangan wawasan.

3)      Tujuan

a)         Menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran untuk menyiapkan tenaga kependidikan pesantren dan pelaku pencerahan di masyarakat yang berkepribadian luhur, mampu mengelola perubahan dan melakukan interpretasi dan inovasi di bidang pendidikan pesantren dan dakwah multi kultural.
b)        Membekali dan mengembangkan keahlian para santri di bidang bahasa, yakni Bahasa Arab, Bahasa Inggris, dan Bahasa Indonesia.
c)         Mengembangkan perangkat metodologi berpikir ilmiah para santri guna mempertajam analisis dan retorika dalam mengembangkan dan mengkomunikasikan ilmu-ilmu yang telah dimilikinya.[11]

4)      Kurikulum
Kegiatan belajar mengajar di Pesantren Luhur (Ma'had Aly) Al Hikam Malang dirancang untuk ditempuh selama empat tahun yang terbagi dalam delapan semester. Secara umum dapat dijelaskan bahwa dalam kurun waktu delapan semester tersebut santri Ma'had Aly akan dibekali ilmu dalam tiga kelompok keilmuan, yakni kelompok bahasa yang meliputi Bahasa Arab, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris dengan bobot kredit sebanyak 66 SKS (45,8%), kelompok metodologi berpikir sebanyak 26 SKS (18%), kelompok strategi dakwah dan pendidikan pesantren sebanyak 18 SKS (12,5%), kelompok wawasan ilmu keislaman tradisional dan kontemporer sebanyak 30 SKS (20,8%), dan tugas akhir sebanyak 4 SKS (2,7%). Dengan demikian, total kredit yang akan ditempuh adalah sebanyak 144 SKS.[12]
Secara garis besar, kurikulum Ma'had Aly Al Hikam dibagi menjadi dua bagian yang merupakan satu kesatuan integral, yakni: Intra-curricular dan Extra-curricular.
a)         Intra-curricular
Intra-curricular adalah kegiatan-kegiatan yang dirancang sehubungan dengan target-target capaian tujuan instruksional. Kegiatan ini dihitung berdasarkan bobot dirasah yang bersangkutan, yakni 2 sks mata dirasah sama dengan 120 menit tatap muka, 120 menit tugas terstruktur, 120 menit tugas mandiri. Kegiatan intra-curricular ini menjadi tanggung jawab dari masing-masing pengajar mata dirasah dibantu asistennya (kalau ada). Meskipun demikian, mengingat terbatasnya waktu yang tersedia, kegiatan pengerjaan tugas terstruktur dan tugas mandiri santri Ma'had Aly akan dilakukan secara integratif.
Kegiatan intra-curricular ini akan dilaksanakan secara demokratis, aktual, kontekstual, dan lebih mengutamakan penggunaan authentic materials. Artinya, kegiatan belajar mengajar akan sangat mengedepankan partisipasi aktif atas pemabahasan masalah-masalah sosial-aktual sesuai konteks permasalahan yang ada. Meskipun demikian, design belajar-mengajar ini tetap dalam batas-batas kesopanan dan kepantasan kebebasan mimbar akademik.[13]
a)         Ekstra Kurikuler
Extra-curricular adalah kegiatan-kegiatan yang sengaja dirancang di luar kegiatan-kegiatan yang dialokasikan untuk kegiatan-kegiatan intra-curricular. Kegiatan ini antara lain berupa: kegiatan olah raga, muhadharah, English Conversation, penyelesaian tugas-tugas, pengayaan wawasan melalui kajian-kajian literatur di perpustakaan, kegiatan-kegiatan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, dan juga kegiatan rutin berupa kuliah tamu yang diselenggarakan setiap dua minggu. Dalam kegiatan extra-curricular ini para santri akan didampingi musa'id dan peer-tutors yang dalam kesehariannya akan senantiasa mendampingi para santri dan tinggal bersama mereka di kamar-kamar para santri. Mengingat para musa'id dan peer-tutors ini nantinya berfungsi sebagai pendamping sekaligus teman diskusi para santri (counter-part) terutama dalam melatih kebiasaan muhadatsah dan speaking-nya, serta metodologi berfikir. Untuk memberikan kesempatan yang luas kepada santri untuk berlatih maka komposisi ideal antara musa'id/peer tutors dengan santri adalah 1:10.[14]
Segenap rancangan pola pembelajaran di atas tidak boleh terlepas dari kurikulum yang dirancang. Profil kurikulum yang dirancang tersebut terlampir dalam lampiran.

b.      Dirosah
Dirosah adalah terminology yang digunakan sebagai istilah untuk menggambarkan proses belajar mengajar informal santri Pesantren Mahasiswa Al-Hikam. Kegiatan dirosah[15] ini dilaksanakan setiap hari dalam dua periode. Periode pertama adalah setelah sholat Maghrib yaitu pada jam 18.00 sam 20.00 wib, sedangkan periode kedua dilaksananakan setelah sholat Shubuh, sekitar jam 04.30 sampai jam 06.00 wib.
Adapun kurikulum yang berkaitan dengan mata pelajaran yang diajarkan pada dirosah, tidak hanya pendidikan agama islam, akan tetapi juga memberikan pelajaran tentang Sejarah Peradaban Islam, bahasa Arab dan Inggris dan lain-lain yang responsive terhadap perkembangan zaman. Adapun materi yang diajarkan pada pengajian Kepengasuhan adalah, tafsir Jalalain, tasawufnya Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, dan Kifayatul At-qiya’.
Adapun terkait dengan metode pembelajaran yang digunakan, terdapat perbedaan antara dirosah dan pengajian kepengasuhan. Dirosah menggunakan metode pembelajaran klasikal, terjadi komunikasi dua arah dalam proses pembelajaran, yaitu guru ke murid, dan murid ke guru. Hal ini berbeda dengan pengajian kepengasuhan, di mana kegiatan ini menggunakan metode wetonan atau bandongan, yaitu metode membaca kitab dengan cara kata per kata atau kalimat per kalimat beserta arti dan maknanya oleh seseorang yang mahir membaca kitab kuning. Dalam pelaksanaan metode ini di Pesantren Al-Hikam, santri Al-Hika tidak hanya mendengarkan bacaan kitab kuning saja, namun Kyai atau Ustadz dapat memilih santri mahasiswa tertentu yang mahir secara aktif untuk membaca kitab kuning di depan ustadz dan para santri mahasiswa lainnya. Setelah selesai prose situ, Ustadz atau Kyai menjelaskan makna dan intisari topic bahasan pada kitab kuning tersebut.[16]
c.       ALQEC
Al-Hikam Qur’anic Education Center, yang kemudian di singkat menjadi ALQEC adalah salah satu unit pendidikan di Pesantren Mahasiswa Al-Hikam. Lembaga pendidikan di bawah naungan yayasan al-Hikam ini berdiri dilatar-belakangi oleh kondisi usia anak dan remaja yang secara psikologis masih tergolong labil. Pada usia tersebut anak dalam masa puber, masa-masa dimana mereka terdorong untuk mencoba hal-hal baru dan berusaha mencari serta menemukan jati diri mereka. Kondisi keluarga, pergaulan, dan lingkungan akan sangat berpengaruh pada pembentukan sifat dan karakter mereka. Oleh karena itu diperlukan bimbingan, arahan dan pemahaman serta penguasaan ilmu yang cukup, yang dapat dijadikan bekal agar dapat hidup bahagia di dunia dan akhirat.
Permasalahan semakin pelik ketika media pendidikan agama bagi remaja khususnya di daerah perkotaan, belum memadai dan belum mampu mengakomodir kebutuhan spiritual mereka. Selain itu fakta dalam masyarakat juga mengindikasikan bahwa banyak sekali adik-adik muslim usia remaja yang masih belum bisa membaca Al-Qur’an, namun masih sangat kurang lembaga yang dapat mendukung kebutuhan tersebut. Oleh karena itu diperlukan suatu media pembelajaran khusus bagi remaja (usia 12–17 tahun/ SMP-SMU).
Di lain pihak permasalahan mengenai program pendidikan Al-Qur’an pasca TPQ/TKQ dipandang perlu, mengingat fakta dalam masyarakat menunjukkan bahwa hasil pendidikan TPQ/TKQ masih banyak kekurangan dalam penguasaan materi Ilmu Qur’an dasar dan materi-materi keislaman lainnya.
Dengan melihat kondisi seperti itu serta dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, TPQ Al Hikam menyelenggarakan program pendidikan pasca TPQ yang diberi nama Madrasah Diniyah . Seiring dengan hal tersebut maka perlu dibentuk organisasi baru untuk menaungi ketiga program pendidikan di atas. Oleh karena itu didirikanlah Al-Hikam Qur‘anic Education Center (ALQEC) sebagai induk dari pendidikan Ulumul Qur’an untuk anak-anak dan remaja.
ALQEC ini mempunyai tiga unit pendidikan yaitu: 
1)      Madrasah Diniyah (MD), yaitu lembaga pendidikan Al Qur’an yang diselenggarakan   oleh ALQEC yang merupakan kelanjutan dari TPQ (pasca TPQ), selain itu juga   merupakan media pendidikan Al Qur’an bagi anak usia remaja (12-17 tahun). 
2)      Taman Pendidikan Al Qur’an (TPQ), yaitu lembaga pendidikan Al Quran anak usia   7-12 tahun yang diselenggarakan oleh ALQEC.
3)       Taman Kanak-kanak Al Qur’an (TKQ), yaitu lembaga pendidikan Al Quran anak   usia 4-7 tahun yang diselenggarakan oleh ALQEC.[17]
d.      KBIH
Kelompok Bimbingan Ibadah Haji yang kemudian disingkat menjadi KBIH adalah salah satu unit al-Hikam yang bertujuan untuk membawa dan mengarahkan calon jamaah haji menjadi haji yang mabrur. Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) Al Hikam menyelenggarakan bimbingan Ibadah haji bagi para calon jamah haji.
Adapun materi Umum dalam program Bimbingan ibadah haji adalah, 1) Petunjuk persiapan fisik dari pemberangkatan sampai pemulangan, 2) Petunjuk praktis pemeliharaan kesehatan selama di tanah suci, dan 3) Petunjuk praktis kehidupan sosial di tanah suci dan Bahasa Arab praktis. Sedangkan materi khususnya adalah 1) Pembekalan baca Al Quran, dan 2) Pembekalan ilmu haji dan praktek manasik haji.[18]

e.       Muhadharah
Muhadarah adalah salah satu program rutin minggu santri Pesantren Mahasiswa al-Hikam. Program rutin ini dilaksana tiap minggu pada hari kamis malam setelah sholat Maghrib berjama’ah. Tujuan dari adanya program ini adalah sharing ilmu, sebagaimana cita-cita awal Pengasuh Pesantren Mahasiswa al-Hikam, yaitu ingin mendialogkan antara ilmu agama dan sains. Program Muhadharah ini bertujuan untuk merealisasikan niat mulia Pengasuh. Karena niat awal adalah adalanya integrasi keilmuan di antara para santri, maka kajian-kajian di Muhadarah ini bermuajan materi integratif. santri yang kuliah di fakultas umum berbagi tentang ilmu yang di dapatnya kepada santri yang kuliah di fakultas Agama.[19] Oleh karena itu, santri Ma’had Aly yang notabene adalah mahasiswa yang bergelut dalam ilmu Agama mendapat pngetahuan berharga tentang ilmu umum, tekhnologi, dan sains, sedangkan Santri Pesma yang bergelut dengan ilmu sains dapat mendalami pengetahuan agama lebih jauh daripada yang diperoleh baik di Dirosah maupun Pengajian Kepengasuhan, karena kegitan tersebut dibingkai dengan nuansa sharing ilmu pengetahuan, jauh dari kesan suasana sungkan dan malu untuk mengungkapkan ide dan gagasannya, berbeda dengan Dirosah yang meskipun dibuat klasikal, tetapi santri masih terlihat kurang bisa mengungkakan ide dan gagasannya, apalagi pada pengajian kepengasuhan yang disetting dengan model bandongan, dimana model pembelajaran ini hanya mengandalkan komunikasi satu arah, hampir tidak ada sesi untuk bertanya, mengungkapkan ide, atau bahkan klarifikasi. Oleh karena itu, dalam kegiatan muhadharah, terjadi suatu kegiatan ilmiyah yang bersifat integrative komunikatif. Permasalahan Agama berusaha didekati dari berbagai macam ilmu pengetahuan, pun sebaliknya, persoalan-persoalan yang membutuhkan status hukum dari agama, dibahas sedemikian rupa dengan metode santai dan menyenangkan.

f.       Perpustakaan
Keberadaan perpustakaan dan pusat informasi berawal adanya taman bacaan, dimana koleksinya masih berupa kumpulan koleksi milik Bapak pengasuh yakni K.H.A. Hasyim Muzadi yang dimanfaatkan oleh para santri untuk kebutuhan pengkayaan ilmu pengetahuan dan penumbuhan daya pikir santri. Pada saat itu koleksi perpustakaan masih belum dikelola secara professional.
Sesuai dengan perkembangan waktu, keberadaan taman bacaan semakin dirasakan sebagai kebutuhan untuk mendukung kegiatan lembaga induknya, yaitu Pesma Al Hikam dan STAI Ma’had Aly (STAIMA),maka sejak tahun 2003 bersamaan dengan berdirinya STAI Ma’had Aly (STAIMA), unit tersebut menjadi unit perpustakaan dan pusat informasi yang dikelola secara professional oleh para pustakawan ahli yang terdiri dari 2 orang sarjana perpustakaan, 1 orang tenaga teknisi perpustakaan, 2 orang tenaga bantu yang memiliki kualifikasi kemapuan bahasa Inggris dan bahasa Arab.
Kini koleksi yang dimiliki oleh perpustakaan sampai tahun 2011 mencapai 5850 judul,, 15.992 eksemplar yang dilengkapi dengan barkode dan terekam dalam pangkalan data ( database ) dan dilengkapi dengan opac ( online public acces catalogue ) dan jaringan internet. Disamping itu memiliki koleksi virtual library yang berjumlah 68 judul dengan subyek alqur’an, tafsir, hadits, bahasa Arab, bahasa Inggris, kajian keislaman. Koleksi tersebut terpasang dalam OPAC (Online Public Acces Catalouge).
Adapun profile koleksi perpustakaan akan disajikan dalam lampiran didasarkan pengelompokan klasifikasi persepuluhan dewey.
Sejak tahun 2006, unit perpustakaan dan pusat informasi menempat gedung baru terdiri dari dua lantai dengan ukuran 10 X 20 meter2 dengan membawahi unit, laboratorium komputer, laboratorium bahasa, rental computer, warnet dan foto copy.[20]
Beberapa unit pendidikan Peantren Mahasiswa Al-Hikam tersebut di atas, ditopang oleh unit-unit yang lain sebagai pendukung proses terselenggaranya pendidikan di Pesantren Mahasiswa Al-Hikam. Adapun unit-unit tersebut adalah 1) Unit-Unit Usaha, meliputi Koppontren Al-Hikam, Apotek Al-Hikam, dan Fotocopy Al-Hikam, 2) Organisasi Santri Pesantren Mahasiswa Al-Hikam, kemudian disingkan menjadi OSPAM, 3) Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) STAI Ma’had Aly Al-Hikam, 4) POSKESTREN, 5) AISAL (Al-Hikam Integrated Self Access Learning), 6) Laboatorium Bahasa,  7) Pengembangan Bahasa, dan 8) fasilitas Olahraga dan Seni.[21]
D.    Analisa
Lembaga-lemabaga pendidikan di bawah yayasan Pesantren Mahasiswa Al-Hikam adalah, 1) STAI Ma’had Aly Al-Hika, 2) Dirosah, 3) KBIH, 4) ALQEC, 5) Muhadharah, dan 6) perpustakaan. Setelah melakukan paparan data di atas, penulis ingin menganalisis beberapa lembaga pendidikan di atas yang kemudian berusaha ditemukan model pendidikan dari setiap lembaga pendidikan di bawah Pesantran Mahasiswa Al-Hikam. Oleh karena itu, pada akhirnya akan dapat ditarik benang merah tentang model pendidikan Pesantren Mahasiswa Al-Hikam.
Yang pertama adalah STAI Ma’had Aly Al-Hikam yang selanjutnya disebut STAIMA, jika kita melihat latar belakang berdirinya, visi dan misi, serta kurikulum STAIMA, maka pendidikan yang diselenggarakan di STAIMA adalah model pendidikan post-tradisional. Hal ini karena dua sebab, yang pertama adalah materi pendidikan yang diajarkan di STAIMA sebagian besar masih fokus pada kitab-kitab peninggalan ulama zaman dahulu yang dikenal dengan turiots, akan tetamateri tersebut dibungkus dengan pendekatan-pendekatan modern dan diintegrasikan dengan ilmu-ilmu umum dan sains. Kedua, penguatan metodologi serta bahasa (Arab dan Inggris) menjadi hal yang urgen yang harus didalami oleh Mahasiswa STAIMA. Selain itu, seiring perkembangan teknologi, Mahasiswa STAIMA juga diberikan mata kuliah ilmu computer dan teknologi untuk menunjang aktifitas ilmiyah mereka di STAIMA.

Kedua, adalah Dirosah. Kegiatan dirosah pada paparan data terklasifikasi menjadi dua yaitu dirosah dan pengajian kepengasuhan. Jika kita melihat metode dan materi yang diajarkan baik pada dirosah, maupun pada pengajia kepengasuhan, Nampak jelas bahwa model pendidikannya juga beraliran post-tradisional. Pada dirosah, misalnya, proses pembelajarannya dilaksanakan dalam kelas, atau berbentuk klasikal. Pada model ini, metode pembelajaran yang digunakan umunya komunikasi dua arah, yaitu guru ke murid dan murid ke guru. Komunikasi, sharing, diskusi, atau bahkan klarisikasi ilmiyah sangat mungkin terjadi dalam model pembelajaran seperti ini. Pun demikian dengan materi yang diajarkan yang tidak hanya materi tentang keagamaan, akan tetapi logika, retorika, filsafat, bahasa, dan metodologi juga diajarkan dalam dirosah ini. Hal sebailknya terjadi pada pengajian kepengasuhan, metode yang digunakan adalah bandongan. Bandongan adalah terminology bagi suatu proses pembelajaran yang dilaksanakan ditempat yang luas, di sana terdapat murid dalam jumlah besar serta seorang kiai/ustadz. Metode ini biasanya adalah ceramah dengan membacakan kitab dan menjelaskan isinya, tanpa ada sesi pertanyaan, justifikasi, dan bahkan klarifikasi ilmiyah. Adapaun materi yang diajarkan adalah masalah tasawuf dengan kitab Ihya’ Ulumuddin, karya Imam Al-Ghozali, kifayatul aqiya’ dan tafsir Jalalain. Oleh karena itu, menurut hemat penulis, dirosah lebih terkesan modern, sedangkan pengajian kepengasuhan cenderung tradisional. Dengan demikian, kesimpulan dari penulis, kegiatan dirosah ini adalah model pendidikan post-tradisional.

Ketiga adalah Muhadharah. Muhadarah adalah salah satu program rutin minggu santri Pesantren Mahasiswa al-Hikam. Program rutin ini dilaksana tiap minggu pada hari kamis malam setelah sholat Maghrib berjama’ah. Tujuan dari adanya program ini adalah sharing ilmu, sebagaimana cita-cita awal Pengasuh Pesantren Mahasiswa al-Hikam, yaitu ingin mendialogkan antara ilmu agama dan sains. Program Muhadharah ini bertujuan untuk merealisasikan niat mulia Pengasuh. Karena niat awal adalah adalanya integrasi keilmuan di antara para santri, maka kajian-kajian di Muhadarah ini bermuajan materi integratif. santri yang kuliah di fakultas umum berbagi tentang ilmu yang di dapatnya kepada santri yang kuliah di fakultas Agama. Oleh karena itu, santri Ma’had Aly yang notabene adalah mahasiswa yang bergelut dalam ilmu Agama mendapat pngetahuan berharga tentang ilmu umum, tekhnologi, dan sains, sedangkan Santri Pesma yang bergelut dengan ilmu sains dapat mendalami pengetahuan agama lebih jauh daripada yang diperoleh baik di Dirosah maupun Pengajian Kepengasuhan, karena kegitan tersebut dibingkai dengan nuansa sharing ilmu pengetahuan, jauh dari kesan suasana sungkan dan malu untuk mengungkapkan ide dan gagasannya, berbeda dengan Dirosah yang meskipun dibuat klasikal, tetapi santri masih terlihat kurang bisa mengungkakan ide dan gagasannya, apalagi pada pengajian kepengasuhan yang disetting dengan model bandongan, dimana model pembelajaran ini hanya mengandalkan komunikasi satu arah, hampir tidak ada sesi untuk bertanya, mengungkapkan ide, atau bahkan klarifikasi. Oleh karena itu, dalam kegiatan muhadharah, terjadi suatu kegiatan ilmiyah yang bersifat integrative komunikatif. Permasalahan Agama berusaha didekati dari berbagai macam ilmu pengetahuan, pun sebaliknya, persoalan-persoalan yang membutuhkan status hukum dari agama, dibahas sedemikian rupa dengan metode santai dan menyenangkan.

Keempat adalah Perpustakaan. Jika dianalogikan dengan fungsi hutan sebagai jantung bagi bumi, maka perpustakaan adalah jantung bagi pendidikan. Tanpa adanya perpustakaan, pendidikan seakan kehilangan separuh nyawanya. Karena keberadaannya menentukan lancar-tidaknya proses pendidikan, dan banyak atau tidak persoalan keilmuan yang diselesaikan lewat perpustakaan oleh para pelajar, serta juga menentukan paradigma berfikir para pelajar. Karena keberadaan dan perannya yang sangat urgen sekali terhadap pendidikan, maka biasanya perpustakaan menjadi hal wajib yang harus ada untuk mendampingi lembaga pendidikan. Koleksi buku-buku yang ada di perpustakaan biasanya disesuaikan dengan model pendidikan yang diselenggarakan.
Adapun terkait dengan cara untuk mengetahu model pendidikan yang diterapkan oleh suatu lembaga pendidikan, koleksi buku dalam perpustakaan akan menentuka model suatu pendidikan. Seperti diungkapkan dalam paparan data bahwa koleksi buku-buku di perpustakaan tidak hanya buku-buku agama, akan tetapi ada juga Filsafat dan psikologi, Karya Umum, Ilmu sosial, bahasa, sains, teknologi, seni, rekreasi & olahraga, sejarah, ilmu bumi dan biografi. Koleksi buku-buku yang sangat integrative tersebut memberikan kesan bahwa Pesantren Mahasiswa Al-Hikam adalah lembaga pendidikan dengan model pendidikan post-tradisional.

E.     Kesimpulan
Model pendidikan yang diselenggarakan oleh Pesantren Mahasiswa Al-Hikam adalah model pendidikan post-tradisional. Pesantren ini menganut faham Al-Muhafadhotu ‘ala al-qodim al-Sholih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah, yaitu mempertahankan tradisi-tradisi lama yang dianggap baik, dan mengadopsi hal-hal baru yang bersifat perubahan dan kemajuan. Pesantren ini, dalam beberapa hal mempertahankan tradisi lama dan dalam hal yang lain, mengadopsi hal-hal baru yang dianggap lebih baik untuk kemajuan dan perubahan kearah yang lebih baik.
Tradisi-tradisi ta’dhim kepada Ustadz dan kyai, menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda tetap dipertahankan karena bernafaskan islam dan norma sosial. Kemudian dalam pendidikan, metode bandongan tetap dipertahankan, dalam rangka untuk memberikan tausiyah baik oleh kyai atau ustadz kepada seluruh santri. Adapaun hal-hal yang dianggap futuristic untuk kemajuan dan perubahan ke arah yang lebih baik, diadopsi untuk merespon perkembangan zaman. Penguasan bahasa, logika, ilmu pengetahuan modern, teknologi, integrasi ilmu dan sains, dan hal lainnya menjadi bahan yang diadopsi oleh Pesantren Mahasiswa Al-Hikam dalam rangka mencetak generasi yang menguasi ilmu pengetahuan dan teknologi sekaligus memiliki fondasi kokoh yang berakar pada nilai-nilai moralitas dan spritualitas Agama.

Daftar Pustaka
Tim Penyusun Buku “Visi, Misi dan Tradisi Pesantren Mahasiswa Al-Hikam”,  Malang,  Cengger Ayam
WJB Poerwadarmita, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Penerbit Balai Pustaka, cet. VI, 1982,
D.S. Peransi, Retradisionalisasi dalam Kebudayaan, Majalah Prisma, No. 6, 1986,
S. Wojowaskito, & WJS Poerwadarminta, Kamus Lengkap: Inggris Indonesia, Indonesia Inggris, Jakarta, Penerbit Husada, 1972,
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta, Penerbit LP3ES, cet III,
Elizabeth K, Nottingham, Religion and Society; Agama dan Masyarakat, terjemahan Abdul Muis Naharong, Jakarta, Penerbit Rajawali, 1985
Syarif Hidayatullah, Islam “Isme Isme”, Aliran dan Paham Islam di Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010,
Yasmadi, Modernisasi Pesantren, Jakarta, Ciputat Press, 2002
http://al-hikam.or.id/category/s5-unit2/c23-alqec/, diakses pada hari Minggu 13 Januari 2013 jam 07.57
http://al-hikam.or.id/category/s5-unit2/c23-kbih/, diakses pada hari Minggu 13 Januari 2013 jam 07.43
http://al-hikam.or.id/category/s5-unit2/c19-perpustakaan/ diakses pada Hari minggu 13 Januari 2013, jam 07.59




[1] Tim Penyusun Buku “Visi, Misi dan Tradisi Pesantren Mahasiswa Al-Hikam”,  Malang,  Cengger Ayam, hlm 1
[2] WJB Poerwadarmita, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Penerbit Balai Pustaka, cet. VI, 1982, hl. 1088
[3] D.S. Peransi, Retradisionalisasi dalam Kebudayaan, Majalah Prisma, No.6, 1986, hal. 9
[4] S. Wojowaskito, & WJS Poerwadarminta, Kamus Lengkap: Inggris Indonesia, Indonesia Inggris, Jakarta, Penerbit Husada, 1972, hal. 215
[5] Lihat, Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta, Penerbit LP3ES, cet III, hal. 241
[6] Elizabeth K, Nottingham, Religion and Society; Agama dan Masyarakat, terjemahan Abdul Muis Naharong, Jakarta, Penerbit Rajawali, 1985, hal.37
[7] Syarif Hidayatullah, Islam “Isme Isme”, Aliran dan Paham Islam di Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010,  hal. 71
[8] Yasmadi, Modernisasi Pesantren, Jakarta, Ciputat Press, 2002, hal. 121
[9] Tim Penyusun Buku “Visi, Misi dan Tradisi Pesantren Mahasiswa Al-Hikam”,  Malang,  Cengger Ayam, hlm 1-2
[10] Tim Penyusun Buku “Visi, Misi dan Tradisi Pesantren Mahasiswa Al-Hikam”,  Malang,  Cengger Ayam, hlm 5
[15] Kegiatan belajar mengajar yang dilaksanakan setelah sholat maghrib biasa disebut dengan Dirosah, sedangkan kegiatan belajar mengajar yang dilaksanakan setelah sholat Shubuh biasa disebut Pengajian Kepengasuhan.
[16] Tim Penyusun Buku “Visi, Misi dan Tradisi Pesantren Mahasiswa Al-Hikam”,  Malang,  Cengger Ayam, hlm 16
[17]  http://al-hikam.or.id/category/s5-unit2/c23-alqec/, diakses pada hari Minggu 13 Januari 2013 jam 07.57
[18] http://al-hikam.or.id/category/s5-unit2/c23-kbih/, diakses pada hari Minggu 13 Januari 2013 jam 07.43
[19] Santri Pesantren Mahasiswa al-Hikam terklasifikasi menjadi dau, yaitu pertama adalah santri yang kuliah STAI Ma’had Aly Al-Hikam pada Prodi PAI dan tinggal di Pesantren Mahasiswa Al-Hikam, yang kemudian biasa disebut sebagai santri Ma’had Aly. Kedua adalah santri yang kuliah di Perguruan tinggi di  luar al-Hikam, seperti di UB, UM, UIN, UMM, Unisma, dll, dan tinggal di pesantren al-Hikam, yang kemudian biasa disebut sebagai santri Pesma.
[20] http://al-hikam.or.id/category/s5-unit2/c19-perpustakaan/ diakses pada Hari minggu 13 Januari 2013, jam 07.59
[21] Tim Penyusun Buku “Visi, Misi dan Tradisi Pesantren Mahasiswa Al-Hikam”,  Malang,  Cengger Ayam, hlm