Oleh: Ach. Sayyid, S.Pd.I
A.
Pendahuluan
Secara etimologis, istilah kurikulum
(curriculum) berasal dari bahasa yunani, yaitu curir yang artinya pelari
dan curere yang berarti tempat berpacu. Istilah kurikulum berasal dari
dunia olahraga, terutama dalam bidang atletik pada zaman romawi kuno yang
Yunani. Dalam bahasa prancis, istilah kurikulum berasal dari kata courier yang berarti berlari (to run). Kurikulum
berari suatu jarak yang yang harus ditempuh oleh seorang pelari dari garis start
sampai garid finish untuk memperoleh medali atau penghargaan. Jarak
yang harus ditempuh tersebut kemudian diubah menjadi program sekolah dan semua
orang yang terlibat di dalamnya. Adapun secara terminologis istilah kurikulum
dalam pendidikan adalah sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau
diselesaikan peserta didik di sekolah untuk memperoleh ijazah.[1]
Adapun pengertian kurikulum secara
oprasional menurut perspektif yuridis-formal, yaitu menurut UU.No. 20 Tahun
2003 tentang sistem pendidikan Nasional bahwa Kurikulum adalah seperangkat
rencana dan pengaturan mengenai
tujuan,isi, dan bahan pelajaran, serta cara yang digunakan sebagai pedoman
dalam penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu.[2] Melihat
pengertian oprasional dari sisdiknnas tersebut, dapat dipahami bahwa kurikulum
adalah hal yang sangat urgen dalam pendidikan. Suatu pendidikan yang memiliki
rencana yang matang, dalam arti mengembangkan kurikulum dengan matang, akan
lebih dekat dengan keberhasilan untuk mencapai pada tujuan yang diinginkan jika
dibandingkan dengan suatu lembaga pendidikan yang sama sekali tidak memiliki
recana, dan terkesan hanya mengikuti arus air dari hulu ke hilir.
Dalam kurikulum 2006, yaitu Kurikulum Tingkat
Satuan pendidikan, fungsi dan kegiatan guru adalah sebagai pengembang kurikulum
di sekolah, baik dalam dimensi rencana, dimensi kegiaatan, maupun dimensi hasil.
Hal ini karena KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan
oleh masing-masing satuan pendidikan. Penyusunan KTSP dilakukan oleh setiap
satuan pendidikan dengan memperhatikan dan berdasarkan standar kompetensi dan
kompetensi dasar yang dikembangkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan
(BSNP).[3]
Lebih lanjut pada pasal selanjutnya adalah bahwa pengembangan kurikulum mengacu
pada pada Standar Nasional Pendidikan untuk mewujudkan Tujuan Pendidikan
Nasional. Selain itu, kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan
dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan,
potensi daerah, dan peserta didik.[4]
secara umum, KTSP adalah kurikulum yang memberikan kewenangan dan
otoritas seluas-luasnya kepada setiap satuan pendidikan untuk mengembangkan
kurikulumnya dengan memperhatikan dan berdasarkan SK dan KD yang dirumuskan
oleh BSNP dan sekaligus memperhatikan kondisi karakteristik dan potensi daerah
dan peserta didik. KTSP, menurut kaca mata penulis sangatlah baik sekali jika
benar-benar dikembangkan dengan prosedur yang
benar. Hal ini karena KTSP memberikan otoritas yang luas kepada setiap
satuan pendidikan untuk mengembangkan kurikulum sesuai kebutuhan.
Sekolah-sekolah dikota, misalkan dapat mengembangkan kurikulumnya dengan
kebutuhan yang ada, seperti penguatan penuasaan teknologi kepada peserta didik,
sedangkan sekolah yang berada di daerah yang memiliki potensi alam yang
melimpah dapat mengembangkan kurikulumnya dengan memberikan mata pelajaran yang
dapat menunjang kea rah pengolahan SDA yang dimiliki.
Selain hal positif dalam KTSP,
terdapat juga poin negatifnya, yaitu sekolah-sekolah yang tidak bisa memahami
dan mengembangkan kurikulum, hanya akan copy-paste kepada kurikulum yang
diwarkan pemerintah. Hal ini jauh sekali dari cita-cita KTSP. Akan tetapi,
terlepas dari poin positif dan negative KTSP, kurikulum ini haruslah selalu
dievaluasi untuk meminimalisir problem-problem yang tercover dalam implementasi
KTSP selama sekitas 6 tahun ini.
Evaluasi KTSP ternyata bukanlah opsi
yang dipilih oleh Menteri Kemendikbud, Muhammad Nuh dalam upaya melakukan
perbaikan kualitas pendidikan di Indonesia. Muhammad Nuh, selaku menteri
Pendidikan di negri ini memutuskan untuk merumuskan kurikulum baru yang
rencananya akan mulai diterapkan pada semua jenjang pendidikan dari SD s/d SMA
pada tahun ajan 2013/2014, tepatnya pada sekitar bulan Juli mendatang.
Respon terhadap kurikulum 2013 ini
sangatlah variatif, mulai dari yang mendukung, tidak memberikan komentar sama
sekali, sampai pada kalangan yang menolak dengan keras terhadap kurikulum ini.
Berbagai macam alasan dijadikan argumentasi ide masing-masing kalangan baik
yang mendukung ataupun menolak. Di sisi lain, pihak Kemendikbut juga melakukan
uji public dan berbagai macam persiapan yang dilakukan untuk mensukseskan
rencana kurikulum tersebut. Implikasinya adalah anggaran yang sangat besar
harus dipersiapkan. Sumber dari Metro tv menyebutkan bahwa anggran yang
dibutuhkan adalah sekitar Rp. 680 Miliyar. Dana yang sangat besar sekali. Dana
yang besar tersebut semakin menyulut api-api prasangka buruk kalangan yang
tidak setuju dengan adanya kurikulum 2013 ini. Namun, terlepas dari berbagai
macam kontrofersi terhadap kurikulum ini, Penulis berusaha untuk menganalisa
Kurikulum tersebut dari sisi filsafat pendidikannya. Semoga Allah memberikan
hidayah dan inayahnya, sehingga tulisan ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca.
B.
Paparan Data dan Analisis
1.
Landasan Pengembangan Kurikulum,
a.
Filosofis
1)
Filosofi
pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai luhur, nilai akademik, kebutuhan
peserta didik dan masyarakat
2)
Kurikulum
berorientasi pada pengembangan kompetensi
Dari aspek filosofis, Nampak terlihat jelas bahwa rancangan
kurikulum ini berlandaskan pada filsafat pragmatis, yang kemudian dalam
pendidikan dikenal aliran progresif. Aliran ini menentang dan menolak
otoritarisme dan absolutism dalam pendidikan,[5]
sebagai implikasi dari fahamnya adalah bahwa pendidikan haruslah dirancang
sesuai kebutuhan subjek didik[6]
dan kebutuhan masyarakat dan lingkungan.
b.
Yuridis
1)
RPJM
20120-2014 Sektor Pendidikan
·
Perubahan
metodologi pembelajaran
·
Penataan
kurikulum
Menurut hemat Penulis, produk pemikiran tentang landasan filosofis
tadi adalah hasil pemikiran dari orang-orang yang memiliki wewenang dalam
menentukan kebijakan dalam pendidikan di Indonesia. Lalu kemudian, lahirlah
RPJM yang di dalamnya memuat aturan untuk mereformulasi metodologi pembelajaran
dalam sekolah. Sesuai dengan landasan filosofis, maka meode pembelajaran yang
akan digunakan adalah model student sentries, yaitu model pembelajaran yang
terfokus pada siswa. Hal ini akan kita temukan pada poin rasionalitas
penambahan jam pelajaran, di mana di dalamnya terdapat suatu ide tentang
perubahan proses pembelajaran (dari siswa diberi tahu menjadi siswa mencari
tahu). Model pembelajaran semacam ini kita kenal dengan metode pembelajaran
inkuiri. Strategi pembelajaran inkuiri ini berangkat dari asumsi bahwa sejak
manusia lahir ke dunia, menusia memiliki dorongan untuk menemukan sendiri
pengetahuannya. Rasa ingin tahu tentang keadaan alam di sekelilingnya merupakan
kodrat manusia sejak ia lahir ke dunia.[7]
2)
INPRES
nomor 1 tahun 2012
·
Percepatan
Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional: penyempurnaan Kurikulum dan Metode
Pembelajaran aktif berdasarkan nilai-nilai budaya bangsa untuk membentuk daya
saing karakter bangsa
c.
Konseptual
1)
Relevansi
2)
Model
kurikulum berbasis kompetensi
3)
Kurikulum
lebih dari sekedar dokumen
4)
Proses
pembelajaran
5)
Penilaian
Secara umum, kurikulum 2013 berlandaskan pada tiga hal, yaitu aspek
filosofis, yuridis, dan konseptual. Hasil analisa Penulis memberika suatu
kesimpulan umum bahwa kurikulum ini akan melakukan perubahan dalam hal materi,
metode pembelajaran, pengembangan kompetensi, relevansi dengan kodisi
masyarakat tiap satuan pendidikan, proses pembelajaran (input, proses, output),
dan sistem evaluasi dan penilaian.
Selanjutnya akan dibahas masalah strategi pengembangan kurikulum
ini, kira-kira langkah-langkah dan strategi pengembangan pendidikan di
Indonesia.
2.
Strategi Pengembangan Pendidikan
a.
Peningkatan
efektifitas belajar
Melihat pemaparan data di atas, terlihat jelas bahwa pendidikan
Indonesia akan lebih mengandalkan efektifitas baik dalam interaksi
pembelajaran, pemahaman, penyerapan, dan transformasi nilai yang secara
keseluruhan dibungkus oleh sistem nilai yaitu nilai universal, nasional, dan
lokal.
Dalam aspek interaksi,
perbaikan manajemen dan kepemimpinan akan lebih diperhatikan lagi. Interaksi
antar sesama guru, guru dengan kepada sekolah, guru dengan siswa, dan interaksi
antara pihak sekolah dan masyarakat. Kemudian dalam aspek pemahaman, proses
pembelajaran akan dirancang sedemikian rupa untuk mencapai pemahaman siswa yang
efektif, yaitu proses pembelajaran yang mengedepankan pengalaman personal
melalui observasi (menyimak, melihat, membaca, mendengar), asosiasi, bertanya,
menyimpulkan, mengkomunikasikan, menemukan (inkuiri) dan lain-lain. Dengan
demikian, proses pembelajaran akan jauh dari kesan teacer sentries yang selama
ini banyak dipraktekkan dalam pembelajaran secara umum di sekolah-sekolah,
sebaliknya model pembelajaran ini lebih terfokus pada siswa, sementara guru
–dengan berbagai pengalaman yang dimilikinya- hanyalah bertugas sebagai
fasilitator, motivator, pengarah, pembimbing, dan penasehat.
Kemudian, dalam hal penyerapan, proses pembelajaran pada kurikulum
ini, tidak hanya menekankan pada sisi kognitif saja, seperti halnya yang sering
dialami sekarang, akan tetapi lebih dari itu, sisi afektif dan psikomotorik
juga mendapat perhatian. Hal ini dilakukan dengan usaha maksimal dalam proses
penyerapan dan tranfirmasi nilai.
b.
Rasionalitas
penambahan jam pelajaran
Penambahan
jam adalah konsekuensi logis sebuah usaha untuk lebih memperhatikan kognitif,
afektif, dan psikomotik. Selain alasan itu, ada beberapa argumentasi dan
rasionalitas penambahan jam pelajaran sebagaimana berikut;
1)
Perubahan proses pembelajaran [dari siswa
diberi tahu menjadi siswa mencari tahu] dan proses penilaian [dari berbasis
output menjadi berbasis proses dan output] memerlukan penambahan jam pelajaran (Progresif)
2)
Kecenderungan akhir-akhir ini banyak negara
menambah jam pelajaran [KIPP di AS, Korea Selatan]
3)
Perbandingan dengan negara-negara lain
menunjukkan jam pelajaran di Indonesia relatif lebih singkat
4)
Walaupun pembelajaran di Finlandia relatif
singkat, tetapi didukung dengan pembelajaran tutorial
3.
Rasional pengembangan kurikulum
a.
Permasalahan
kurikulum 2006
1)
Konten kurikulum masih terlalu padat yang
ditunjukkan dengan banyaknya matapelajaran dan banyak materi yang keluasan dan
tingkat kesukarannya melampaui tingkat perkembangan usia anak.
2)
Kurikulum belum sepenuhnya berbasis kompetensi
sesuai dengan tuntutan fungsi dan tujuan pendidikan nasional.
3)
Kompetensi belum menggambarkan secara holistik
domain sikap, keterampilan, dan pengetahuan.
4)
Beberapa kompetensi yang dibutuhkan sesuai
dengan perkembangan kebutuhan (misalnya pendidikan karakter, metodologi
pembelajaran aktif, keseimbangan soft skills dan hard skills, kewirausahaan)
belum terakomodasi di dalam kurikulum.
5)
Kurikulum belum peka dan tanggap terhadap
perubahan sosial yang terjadi pada tingkat lokal, nasional, maupun global.
6)
Standar proses pembelajaran belum
menggambarkan urutan pembelajaran yang rinci sehingga membuka peluang
penafsiran yang beraneka ragam dan berujung pada pembelajaran yang berpusat
pada guru.
7)
Standar penilaian belum mengarahkan pada
penilaian berbasis kompetensi (proses dan hasil) dan belum secara tegas
menuntut adanya remediasi secara berkala.
8)
Dengan KTSP memerlukan dokumen kurikulum yang
lebih rinci agar tidak menimbulkan multi tafsir.
b.
Alasan
pengembangan kurikulum
Data-data tentang alasan pengembangan kurikulum, ketika penulis
coba korelasikan dengan filsafat pendidikan, akan semakin jelas dan memberikan
justifikasi terhadap landasan filosofis kurikulum ini. Filsafat progresif
senantiasa responsive pada perkembangan zaman, berorientasi pada need subjek
didik dan kondisi lingkungan masyarakat. Akan tetapi, terlepas dari landasan
filosofis tersebut, poin plus dari kurikulum ini adalah pembentukan
karakter yang terencana.[8]
Hal ini berbeda dengan kurikulum KTSP, yang mana hal tersebut tidak berjalan
dengan lancer, pembelajaran terkesan hanya terfokus pada sisi kognitif saja,
belum menyentuh ranah afektif dan psikomotorik.
c.
Identifikasi
kesenjangan kurikulum
4.
Kerangka Kerja Pengembangan kurikulum
5.
Elemen Perubahan
Hal penting yang selama ini menjadi sorotan banyak kalangan,
terutama kalangan yang menolak adanya kurikulum baru ini terletak pada poin
pendekatan tematik integrative dalam mata pelajaran. Sorotan dan penolakan dari
beberapa pakar pendidikan terletak pada integrasi mata pelajaran bahasa
Indonesia dalam IPA pada jenjang Sekolah Dasar. Salah satu tokoh pendidikan
bernama Yohanes mengatakan bahwa tidak mungkin akan terealisasi adanya rencana
integrasi Bahasa Indonesia ke dalam IPA, karena terdapat perbedaan indikator
dalam kedua mata pelajaran tersebut. Jika hal ini terpaksa direalisasikan, maka
yang akan terjadi adalah banyak materi yang akan hilang. Akan tetapi, beliau
memberikan solusi dari problem ini, menurut beliau, integrasi Bahasa Indonesia
ke dalam IPA dapat dilakukan di SD kelas 1 sampai 3, adapun kelas 4 sampai
6,harus terpisah antara mata pelajaran Bahasa Indonesia dan IPA.[9]
Selanjutnya, sebagai implikasi dari landasan filosofis tersebut di
atas, akan terlihat perubahan-perubahan signifikan pada Standar Kompetensi
Lulusan (SKL), dan Struktur Kurikulum.[10]
C.
Tanggapan terhadap Kebijakan Perubahan Kurikulum
Sebelum penulis memberikan
kesimpulan secara umum terkait kurikulum 2013 ini, penulis akan memaparkan
respon dan tanggapan penulis terkait kebijakan Kemendikbut tentang kurikulum
baru.
Melihat content berkas Uji Publik
Kurikulum 2013 ini, pertanyaan yang muncul di benak penulis adalah apa
kira-kira yang berbeda di kurikulum ini? Kenapa kurikulum KTSP harus “dirombak”
atau bahkan “dirubah”? poin-poin di dalam KTSP yang dirasa masih banyak poin negative
yang selanjutnya harus dilakukan perubahan, bukan evaluasi? Dan
pertanyaan-pertanyaan esensial lainnya. Namun, setelah membaca dengan seksama,
akhirnya penulis menemukan jawaban-jawaban dari pertanyaan tersebut, sekaligus
respon-respon penulis.
Adapun respon penulis antara lain
adalah, pertama terkait masalah anggran yang begitu besar, yaitu
mencapai kurang lebih Rp.680 Miliyar. Dana yang cukup banyak itu disiapkan
untuk merealisasikan perubahan kurikulum baru. Jika disorot dari segi
efektifitas dan ekonomis, penulis berfikir, kenapa kemendikbud tidak memilih
untuk melakukan evaluasi dari Kurikulum 2006, yaitu KTSP, wong
problemnya sudah teridentifikasi, kan tinggal cari solusi dari problem
tersebut, daripada merumuskan kurikulum baru dengan anggaran yang banyak sekali
dan dengan persiapan-persiapan panjang yang harus dilalui, seperti buku pedoman
dan mempersiapkan penggunak kurikulum, yaitu guru. Menurut hemat penulis,
dengan alasan efektifitas dan efisiensi waktu, serta alasan anggaran,
seharusnya Kemendikbud memilih untuk melakukan evaluasi terhadap KTSP,
melakukan identifikasi terhadap problem-problem yang ada,lalu kemudian
memberikan solving problem terhadap KTSP.
Kedua, terlepas dari respon Penulis pada poin pertama, kurikulum baru ini,
tidak hanya melalui proses uji public ansih, akan tetapi harus ada uji
coba terlebih dahulu pada satu lembaga pendidikan, hingga dapat teridentifikasi
poin positif dan negatifnya. Hasil identifikasi tersebut, kemudian menjadi
bahan untuk evalusi sebelum kurikulum baru ini diterapkan secara nasional pada
setiap satuan pendidikan. Adapun setelah adanya evaluasi, maka kurikulum baru
ini dapat diterapkan secara nasional pada setiap satuan pendidikan di setiap
daerah di seluruh penjuru negri ini.
Ketiga, terkait masalah implementasi kurikulum, hal penting yang dapat
menjadi suksesi implementasi kurikulum adalam pengguna kurikulum, dalam hal ini
adalah guru. Sebelum mengimplementasian kurikulum ini, guru haruslah
benar-benar memahami dan mampu menerapkan kurikulum ini. Hal ini haruslah
melalui proses yang cukup panjang,mengingat guru harus dibeikan
pelatihan-pelatihan untuk mengimplementasikan kurikulum ini. Oleh karena
itu,perlu ada rencana konkrit dari Kemendikbut tentang proses menyiapkan guru
dalam rangka mensukseskan implementasi kurikulum baru ini.
D.
Kesimpulan
Muhammad Nuh, menteri Pendidikan dan
kebudayaan menyatakan bahwa “Kurikulum 2013 menekankan pada Kreatifitas Inovasi
dan Karakter.” Kukikulum ini bertujuan untuk menyeimbangkan antara aspek
akademis dan karakter anak-anak Indonesia. Sistem pembelajaran dalam setiap
satuan pendidikan berbasis pada penguatan penalaran, bukan sekedar hafalan. Hal
ini derealisasikan dengan pengembangan metode pembelajaran yang berpusat pada
siswa (Student centris). Selain itu, aspek kreatifitas siswa lebih
diperhatikan, tidak hanya soft skill, tetapi juga hard skill, demi
merespon perkembangan zaman. Hal yang tak kalah pentingnya, dan menjadi poin
plus dalam kurikulum ini adalah pembentukan karakter. Hal ini direalisasikan
dengan perencanaan-perencanaan yang matang yang tentu berbeda dengan kurikulum
sebelumnya. Semua ini memberikan justifikasi bahwa filsafat progressif menjadi
landasan pengembangan kurikulum 2013 ini.
Daftar Pustakan
Arifin, Zainal, 2012, Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum, Bandung,
PT Remaja Rosdakarya
E. Mulyasa, 2006, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Bandung,
PT Remaja Rosadakarya,
George R. Knight, 2007, Filsafat Pendidikan, terj Mahmud
Arif, Yogyakarta, Gama Media,
Sanjaya, Wina, 2011, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar
Proses Pendidikan, Jakarta, Kencana Prenada Media
Zuhairini DKK, 1991, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta,
Bumi Aksara
Wawancara ekslufif antara Najwa dan Yohanes dalam program
“Terkungkung Kurikulum” di Metro TV, Rabu, 09 Januari 2013 jam 21.30
[1] Pengertian ini
tergolong tradisional, akan tetapi paling tidak, secara realita, orang-orang
melihat bahwa esensi kurikulum adalah hal tersebut yang sampai sekarang masih
digunakan di Indonesia. Lebih lanjut lihat; Zainal Arifin, 2012, Konsep dan
Model Pengembangan Kurikulum, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, hlm. 2-3
[2] UU. No. 20
tentang SISDIKNAS tahun 2003 bab 1 pasal 1 ayat 19
[3] UU. No 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 36 ayat 1, lebih lanjut
lihat E. Mulyasa, 2006, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Bandung, PT
Remaja Rosadakarya, hlm. 19
[4] UU. No 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 36 ayat 2
[5] Zuhairini DKK,
1991, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta, Bumi Aksara, Hlm. 21, lihat
juga George R. Knight, 2007, Filsafat Pendidikan, terj Mahmud Arif,
Yogyakarta, Gama Media, hlm.145-156
[6] Subyek didik
adalah istilah dalam aliran progressif. Istilah ini lebih memberikan kesan
bahwa pendidikan pembelajran tidak teacher sentries (berpusat pada guru),
tetapi student sentries (berpusat pada murid), murid lah yang berperan aktif
dalam proses pembelajaran, sementara guru hanya lah berperan sebagai pengarah,
pembimbing, penasehat, dll.
[7] Wina Sanjaya,
2011, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, Jakarta,
Kencana Prenada Media, hlm. 196
[8] Hal ini dapat
dilihat pada poin tentang Kurikulum sebagai integrator sistem nilai,
pengetahuan dan keterampilan.
[9] Kesimpilan
dari wawancara ekslufif antara Najwa dan Yohanes dalam program “Terkungkung
Kurikulum” di Metro TV, Rabu, 09 Januari 2013 jam 21.30
[10] Lihat
sub-judul tentang SKL dan Struktur Kurikulum, bandingkan dengan KTSP.
0 komentar:
Posting Komentar