Oleh: Ach. Sayyid, S.Pd.I
A. Pendahuluan
Ijtihad sebagai gerakan intelektual Islam oleh mayoritas ulama
telah dianggap tabu sejak kira–kira abad ke-10 H pada saat posisi mazhab-mazhab
telah semakin mapan. Mayoritas umat Islam tidak lagi berorientasi ke masa depan
dalam posisi sebagai syuhada ‘ala-nas atau khairu ummah, tetapi lebih senang
menengok pada kemegahan masa lampau yang telah hilang. Kelompok ulul albab
hampir-hampir tidak muncul lagi ke permukaan. Salah satu faktor yang
menyebabkan kemacetan ini ialah pertimbangan-pertimbangan politik demi menjaga
stabilitas, integritas, dan kelestarian imperium Islam, yang sesungguhnya sejak
abad ke-9 M telah mulai melemah.
Proses deklinasi sebenarnya telah tampak sejak paruh kedua
imperium Abbasiyah, lebih-lebih ketika mendapat serangan dari Mongol pada tahun
958 M.1 Pemikiran baru yang orisinil tidak berkembang lagi, yang terjadi ialah
pengulangan, dan penghafalan yang sudah ada. Di samping itu, pemikiran kritis
juga “terkekang”, yang timbul adalah kembali menjamurnya mitos–mitos. Jadi,
tidak berlebihan jika masa itu sering ditunjuk sebagai permulaan kemunduran
peradaban Islam.[1]
B.
Pembahasan
1. Pengertian
Ijtihad
Secara etimologis, ijtihad berarti bekerja-keras,
bersungguh-sungguh, atau mencurahkan segala kemampuan sampai pada batas yang
maksimal. Secara teknis, ijtihad meliputi tiga dimensi pengertian. Pengertian
menurut kata kerja, menurut kata benda, dan menurut kata sifat. Pertama, pengertian
menurut kata kerja, ijtihad adalah “mencurahan kemampuan maksimal oleh seorang
ahli hukum (faqih) untuk meng-istinbath-kan ketentuan-ketentuan hukum syara’
yang rinci dari dalil-dalilnya,”[2] yakni menyangkut perbuatan
manusia dengan manusia lain dan alam (muamalat). Kedua, pengertian menurut kata
benda, ijtihad adalah hasil kerja intelektual seorang ahli hukum dalam
menyimpulkan ketentuan-ketentuan hukum. Pengertian menurut kata sifat, ijtihad
adalah kata yang menunjukkan sifat seorang mujtahid, yaitu “kecakapan yang
dengannya seorang ahli hukum mampu menyimpulkan suatu ketentuan hukum syara’
dari dalil-dalilnya.[3]
Para ahli usul fiqh mengkategorikan tingkatan–tingkatan kualitas
mujtahid yakni: 1) Ijtihad mutlak, yaitu suatu tingkat ijtihad tinggi dengan
otoritas penuh dalam penentuan ushul (prinsip–prinsip dan metode ijtihad) dan
furu’ (detail-detal ketentuan hukum). Biasanya tingkat ini dinyatakan hanya
dimiliki oleh pendiri–pendiri mazhab dan beberapa murid langsung mereka yang
tertentu; 2) Ijtihad nisbi, yaitu suatu tingkat ijtihad dengan otoritas
terbatas di mana mujtahid mengikuti guru (imam)-nya dalam prinsip-prinsip dan
metode ijtihadnya, tetapi tidak terikat kepadanya dalam menyimpulkan detail
hukum; 3) Ijtihad dalam mazhab, yaitu tingkat ijtihad dengan otoritas yang
khusus dalam masalah–masalah yang belum dilakukan ijtihad oleh imam, tetapi ia
terikat kepada prinsip dan hasil ijtihad imam dalam detail hukum. Jadi, ijtihad
ini terbatas hanya pada penerapan kaidah imam (guru) terhadap kasus–kasus yang
belum diselesaikan oleh imam itu; 4) Tarjih, yaitu suatu tingkatan ijtihad yang
berupa aktivitas menimbang di antara pendapat-pendapat yang sudah ada untuk
mencari yang lebih kuat dan sesuai untuk keadaan tertentu. Inilah tingkat
ijtihad paling rendah, lebih di bawah tarjih tidak ada lagi ijtihad, melainkan
yang ada hanya ittiba’, yaitu mengikuti ijtihad orang lain dengan memahami
argumentasinya, dan taqlid, yaitu mengikuti ijtihad orang lain secara patuh
dengan tanpa memahami argumentasi dan dasarnya.[4]
2.
Sketsa Historis tentang Ijtihad
Pada masa Rasulullah tidak ada problem metodologis pemahaman
al-Qur’an karena para sahabat berada langsung di bawah bimbingannya, dan bila
perlu mereka dapat bertanya secara langsung mengenai masalah-masalah yang tidak
jelas bagi mereka karena waktu itu belum muncul kaidah-kaidah yang pada masa
kemudian dibakukan dalam teori yurisprudensi. Satu–satunya yang ideal bagi
mereka adalah perilaku Nabi. Mereka belajar wudlu, shalat dan haji dengan cara
mengamati langsung tindakan Rasulullah. Demikian juga, bila ada kasus-kasus
tertentu, mereka mengajukan dan minta keputusan Nabi.
Tetapi, lain halnya setelah Nabi wafat, wahyu sudah tidak turun
lagi, Rasul tempat bertanya telah tiada, sementara persoalan–persoalan
kemasyarakatan dan agama justru berkembang sebagai akibat luasnya wilayah yang
didiami umat. Banyak masalah baru timbul dan belum pernah ada petunjuk
pemecahannya baik dalam al-Qur’an maupun hadis Nabi. Para sahabat dengan
demikian harus berijtihad dengan menafsirkan ulang dan memperluas
pengertian–pengertian hukum yang telah tersedia dalam al-Qur’an dan Hadis Nabi
SAW.
Pada periode awal, ra’yu (pertimbangan pemikiran yang sehat)
banyak digunakan dan merupakan alat ijtihad yang utama. Istilah ini merupakan
istilah generik yang mendahului pertumbuhan hukum serta prinsip–prinsip qiyas
dan istihsan yang lebih sistematis.
Para sahabat tidak memahami al-Qur’an dan Sunah Rasul secara
harfiah. Mereka menggali semangat dan prinsip yang terkandung di dalamnya untuk
kemudian diterapkan pada keadaan konkrit yang mereka hadapi. Sebagai contoh,
Umar ibn Khattab tidak membagi-bagikan tanah-tanah di Irak (yang disebut tanah
Sawad) kepada para prajurit yang menaklukkannya seperti yang berlaku dalam
tradisi Rasulullah dan Abu Bakar. Alasan Umar tidak membagikan tanah tersebut
ditemukan dalam al-Qur’an (Q.S.,59:6-10) yang pada intinya melarang penumpukan
harta pada orang orang yang telah kaya. Dari sejarah kita ketahui bahwa tentara
pada jaman Rasulullah dan Abu Bakar tidak digaji karena itu mereka mendapat
bagian dari rampasan perang. Tetapi, pada jaman Umar diadakan tentara reguler
dan diberi tunjangan tetap. Karena itu, Umar tidak memberi rampasan perang
kepada mereka. Hasil tanah Sawad tersebut digunakan oleh Umar untuk
kepen-tingan umum seperti tunjangan bagi mereka yang kurang mampu dan biaya
pemeliharaan perbatasan, dan lain-lain.[5]
Pada masa tabi’in dan sesudahnya kegiatan ijtihad kian berkembang
berikut dengan berbagai kecenderungan masing-masing. Perbedaan-perbedaan kian
berkembang dan corak ijtihad sangat dipengaruhi oleh sifat kedaerahan.
Orang–orang Irak dianggap lebih cenderung pada penggunaan rasio, sementara
orang–orang Madinah lebih menyukai tradisi atau Hadis. Namun, kedua
kecenderungan ini tidaklah merupakan kutub-kutub yang bertentangan satu sama
lain secara frontal. Kecenderungan-kecenderungan itu hanya merupakan perbedaan
porsi saja dalam pemakaian rasio atau Hadis. Pada dasarnya keduanya sama-sama
memakai ra’yu dan Hadis, namun orang-orang Madinah lebih banyak menggunakan referensi
Hadis, sedang orang Irak terpaksa berhati-hati menerima Hadis karena mereka
memang agak jauh dari sumber tradisi Rasulullah di Madinah.
Pada periode imam-imam mujtahidin yang berlangsung di abad II H
sampai pertengahan abad IV H, terjadi perkembangan ijtihad yang pesat,
mazhab–mazhab hukum mengalami kristalisasi, dan metode-metode pemahaman
al-Qur’an dan Hadis dibakukan. Peranan yang sangat menonjol dalam bidang ini
dimainkan oleh Asy-Syafi’i (W. 204 H.) yang menyusun kitab al-Risalah yang menjadi
buku pertama dalam metodologi pemahaman hukum dan dalam metodologi Hadis.
Bahkan, dalam disiplin ilmu-ilmu syari’ah metodologi beliau masih tetap relevan
dan dipertahankan sampai sekarang.
3.
Ijtihad Sesudah Periode Imam-Imam Mujtahidin
Periode sesudah imam mujtahidin secara relatif dinyatakan sebagai
masa mulainya kemunduran kehidupan intelektual kaum muslim sampai jatuhnya Kota
Baghdad tahun 656 H./1258 M oleh tentara Mongol. Khusus dalam bidang fiqh, para
fuqaha cenderung taqlid kepada mazhab tertentu yang telah baku pada periode
sebelumnya. Pada periode ini pula dikatakan pintu ijtihad mulai tertutup.
Pekerjaan para fuqaha pada periode ini lebih terbatas memberikan alasan
terhadap pendapat para imam, dan dengan demikian hanya berkisar pada pendapat
yang sudah ada dan tidak keluar dari padanya. Ini pada akhirnya membawa kepada
kecenderungan membela mazhab, betapapun pemikiran yang ada di dalamnya lebih
lemah dari pendapat lain.
Selanjutnya, setelah jatuhnya Baghdad keadaan intelektual kaum
muslimin tidak mengalami banyak perubahan. Pekerjaan para ulama hanya berkisar
pada membuat syarah (penjabaran) dan hasyiah (penjabaran atas syarah). Pada
masa inilah tingkat kreativitas dan orisinalitas intelektual disebut sebagai
tingkat yang lebih rendah. Ciri umum masyarakat muslim saat itu ialah suasana
traumatis terhadap perpecahan dan perselisihan sehingga yang muncul sebagai
dambaan atau obsesi utama masyarakat ialah ketenangan dan ketentraman. Agaknya
dambaan mereka tercapai, tetapi dengan ongkos mahal, yaitu stagnasi atau
kemandegan sebab ketenangan dan ketentraman itu mereka “beli” dengan menutup
dan mengekang kreativitas intelektual dan penjelasan atas nama doktrin taqlid
dan tertutupnya ijtihad.[6]
Namun demikian, selama periode kemunduran ini masih tetap ada saja
tokoh-tokoh cemerlang yang menyerukan perlunya ijtihad semisal Ibn Taimiyah
(1263-1328 M). “Program” Ibn Taimiyah ialah menghimbau kaum muslimin untuk
mencari kembali ajaran Islam yang sejati, dan untuk melakukan ijtihad dalam
menafsirkan doktrin–doktrin agama. Bagi Ibn Taimiyah pintu ijtihad tidak pernah
tertutup, bahkan beliau menyatakan dirinya sebagai seorang mujtahid mutlak.[7]
Sebenarnya penutupan pintu ijtihad itu tidak pernah dinyatakan
secara resmi, dan memang tidak ada suatu otoritas pun dalam Islam yang berhak
menutup pintu ijtihad. Akan tetapi, penilaian terhadap kehidupan intelektual
kaum muslimin pada masa sesudah periode imam mujtahidin itu memperlihatkan
keadaan yang lambat laun aktivitas berpikir kreatif telah begitu mundur. Di
samping itu, landasan-landasan yang mendorong proses kreatif itu hancur
sehingga pada akhirnya mengakibatkan terhentinya kegiatan intelektual yang
mampu membuat sintesis besar dalam kebudayaan Islam. Terhentinya aktivitas
inilah sebenarnya yang diartikan sebagai “tertutupnya pintu” ijtihad.
4.
Analisis & Respon Sarjana Hukum Islam Modern terhadap
Tertutupnya Pintu Ijtihad
Literatur yuristik Islam selalu menggambarkan sebab-sebab
tertutupnya pintu ijtihad dan berkembangnya taqlid. Ada beberapa sebab
tertutupnya pintu ijtihad, sebagai berikut.
Pertama, bahwa masalah-masalah Islam dalam kaidah metodologis
telah disusun secara baku. Di samping itu, fiqh telah dikupas secara detail
oleh para mujtahidin pada periode yang kreatif dari sejarah Islam. Kenyataan
ini membawa para ulama yang datang kemudian tidak terlalu lagi berkreasi untuk
berpikir lebih serius karena segala sesuatu yang berhubungan dengan ushul dan
furu’ telah tersedia dalam karya peninggalan para imam mujtahidin. Mereka hanya
tinggal mengambil dan bila perlu memberi sedikit komentar atau ulasan saja.
Kedua, melemahnya kepercayaan diri ulama-ulama yang datang
kemudian. Mereka merasa kemampuan mereka begitu tidak berarti, dan karena itu
takut untuk ber-istinbat (melakukan penyimpulan) langsung dari sumber asli yaitu
al-Qur’an dan Hadis. Mereka sudah merasa cukup hanya dengan menerima apa yang
mereka warisi dari imamnya tanpa melakukan kritik lebih jauh.
Menurut Ibn Khaldun terdapat hubungan antara laju kreativitas
keilmuan dengan kompleksitas institusi kemasyarakatan dan level kemakmuran
suatu masyarakat. Ilmu pengetahuan merupakan barang mewah yang baru menjadi
tuntutan apabila telah terlebih dahulu kebutuhan ekonomi terpenuhi, dan
industri ilmu pengetahuan dapat dicapai oleh masyarakat yang memiliki tingkat keragaman
dan diferensiasi yang tinggi dalam pranata sosialnya. Hancurnya kemajuan ilmu
dan karena itu pudarnya ijtihad di kota–kota Islam seperti Baghdad, Cordova,
Qairawan, dan lain–lain dikarenakan mundurnya kemakmuran di kota-kota tersebut.[8] Ini merupakan dampak dari
disintegritas politik yang dialami dunia Islam sesudah jaman kejayaannya. Kekayaan
publik tersebut untuk kepentingan perang yang menghancurkan, dan rakyat harus
memikul beban berat.
Ketiga, dalam literatur ushul fiqh, dapat dijumpai pembahasan
tentang kemampuan akal. Kebanyakan penulis ushul dari kalangan ortodoks
cenderung menerima pendapat bahwa akal tidak berguna dalam mengetahui yang baik
dan buruk, serta tidak ada hukum kecuali yang ditetapkan Tuhan. Pendapat yang
terlalu melemahkan kedudukan akal ini barangkali juga besar pengaruhnya dalam
menutup pintu ijtihad.
Di samping pendapat di atas, ada beberapa sebab yang sering
disebut orang berkenaan dengan tertutupnya pintu ijtihad antara lain sebagai
berikut.
a.
Terbagi–baginya
negara Islam pada abad keempat hijriyah ke dalam beberapa kerajaan kecil, serta
terjadi percekcokan para raja dalam merebut kekuasaan. Hal ini telah memaksa
mereka mengabaikan dukungannya kepada gerakan penetapan hukum, dan sejalan
dengan hal itu, para ulama pun sibuk dengan masalah politik.
b.
Adanya
fanatisme mazhab, hilangnya sikap percaya diri, serta berbuat “semaunya” atau
secara berlebih–lebihan dalam men-takwil-kan berbagai nash untuk menguatkan
mazhab yang dianutnya.
c.
Meluasnya
berbagai penyakit etis di kalangan ulama, rasa dengki-mendengki, serta
egoistis.
d.
Tersebarnya
sikap mencari hidup dari fatwa dan jabatan qadhi, serta tidak hanya
kaidah-kaidah yang mereka pegangi.
e.
Kekhawatiran
para ulama akan lemahnya penyokong agama, yang bisa jadi membawa kepada
runtuhnya bangunan fiqh yang telah dibina oleh imam yang terdahulu, karena itu
mereka berfatwa agar pintu ijtihad ditutup untuk mencegah ikut-sertanya
orang–orang yang tidak ahli dalam berijtihad atau dalam menggali hukum dari
sumbernya.[9]
Pendapat Taqy al-Hakim tersebut dikomentari oleh Ibrahim Abbas
al-Dzarwy dalam Nadhariyah al-Ijtihad fi Asas al-Islamiyah. Menurutnya,
kontroversi sekitar sebab–sebab tertutupnya pintu ijtihad sebagaimana disebut
oleh Taqy al-Hakim tidak mendasar. Bagi Dzarwy, ijtihad tetap terbuka bagi
orang yang mampu menggali hukum dari sumber–sumbernya. Di samping itu,
instrumen untuk melakukan ijtihad masa kini jauh lebih mudah dibandingkan
dengan masa sebelumnya. Hal ini karena hadis, tafsir, ayat-ayat ahkam, telah
terkompilasikan secara lengkap. Hanya saja tekad untuk melakukan ijtihad masih
lemah.[10]
Lain halnya dengan Joseph Schacht yang berpendapat bahwa sejak
awal abad ke-4 H/ke-10 Masehi, Hukum Islam telah dielaborasikan sedemikian
detail sehingga para sarjana Muslim sampai pada kesimpulan bahwa seluruh
pertanyaan esensial telah dibahas dan dijawab. Dengan kata lain, inilah alasan
bagi munculnya pertanyaan tentang siapa orang cukup qualified untuk melakukan
ijtihad, dan di atas semua itu, ini juga alasan bagi tertutupnya pintu ijtihad.[11]
Sementara N.J. Coulson dan kebanyakan sarjana modern lainnya
berpendapat bahwa ahli hukum Islam abad ke-4 H / ke-10 M telah mengangkat
masalah pintu ijtihad dan menutupnya karena mereka merasa semua permasalahan
hukum telah dibahas dan bahwa suatu sistem hukum yang komprehensif telah
berhasil ditegakkan.[12]
Akan tetapi, Wael B. Hallaq menolak pendapat Schacht dan
Nicholson. Menurutnya, banyak bukti menunjukkan bahwa pendapat ini sama sekali
tidak mendapat dukungan fakta apa pun dalam literatur-literatur, dan pada kenyataannya
bertentangan dengan apa pun yang dikatakan dan dilakukan kaum muslim.
Konsep mengenai tertutupnya pintu ijtihad sama sekali tidak muncul
di benak kaum muslim yang hidup dalam periode awal tersebut karena ijtihad
melekat dalam diri mereka yang secara langsung dipraktikkan.[13]
Fazlur Rahman berpendapat, walaupun secara formal pintu ijtihad
tidak pernah ditutup, namun taqlid atau menerima otoritas secara mentah-mentah
berkembang sedemikian suburnya sehingga secara praktis ijtihad menjadi tidak
ada. Mula-mula taqlid ini disarankan kepada orang-orang awam. Walaupun akhirnya
diakui bahwa orang-orang awam pun cukup memiliki kesanggupan untuk menilai dan
memilih di antara pandangan-pandangan yang berbeda. Tetapi, di kemudian hari
taqlid ini melanda semua umat Islam. Suara-suara yang menentang taqlid timbul
terutama disponsori Ibnu Taimiyah. Sejak itu, generasi-generasi muslim
terdahulu dipersalahkan telah menutup pintu ijtihad dan mengambil sikap taqlid.
Ijtihad adalah penting dalam melakukan gerakan reformasi Islam pada abad ke-18.
Modernis Muslim lebih menyerukan ijtihad yang urgensinya lebih besar sejak
terjadi perbenturan antara masyarakat muslim dengan kekuatan-kekuatan baru.[14]
Ahmad Hasan pemikir Islam Pakistan, melihat sejumlah persoalan
penting. Berdasarkan bukti–bukti, dia terpaksa berbeda pendapat dengan Joseph
Schacht sebagaimana dikemukakan dalam The Origins of Muhammad Yurisprudence.
Menurut Ahmad Hasan, embrio ijtihad sebenarnya telah ada sejak jaman Nabi,
sahabat dan tabi’in, hanya saja bentuk ijtihad pada masa itu berupa, ra’y,
qiyas dan istihsan. Jadi, ijtihad pada periode awal dari sejarah yurisprudensi
Islam belum terformulasikan seperti pada era Imam Syafi’i dan sesudahnya.[15]
Alal al-Fasi melihat problem umat dalam kacamata sosial kemasyarakatan
terutama kaitannya dalam bidang fiqh (hukum Islam) selalu muncul dan sangat
kompleks, apalagi dalam dunia medis, lebih-lebih dalam bidang biotek, sebut
saja kasus cloning yang menghebohkan akhir-akhir ini. Tidak dapat dipungkiri
adanya perubahan hukum lantaran adanya transformasi sosial. Konsekuensi
logisnya ialah bahwa ledakan ijtihad tidak dapat dibendung lagi dalam rangka
untuk menjawab adaptabilitas hukum tersebut. Dengan demikian pintu ijtihad
harus tetap terbuka bagi orang yang memenuhi klasifikasi.[16]
- Kesimpulan
Pertama, ijtihad adalah intellectual exercise seorang muslim untuk
menetapkan suatu kasus hukum yang secara tegas belum ada ketentuan nash-nya
dalam al-Qur’an dan Hadis.
Kedua, kedudukan ijtihad dalam Islam amat penting, ijtihad merupakan
sebagai ruh dari dinamika hukum Islam, dengan kata lain, ijtihad adalah modal
penting agar hukum Islam senantiasa dapat menjawab persoalan kemanusiaan sesuai
dengan perkembangan jaman.
Ketiga, sejak dicanangkan gerakan pintu ijtihad telah tertutup pada
awal abad 4 H/10 M, setelah wafat Muhammad Ibn Jarir ath-Thabari (w. 310/922),
sampai dengan dimulainya gerakan pembaharuan pemikiran Islam pada penghujung
abad 12/18 umat Islam seakan berhenti berpikir. Ibn Taimiyah (w. 728/1327) pada
awal abad 7/13 pernah menggaungkan terbukanya pintu ijtihad. Namun, gaungan dan
gugatan itu seakan tenggelam dalam gemuruh ber-taqlid. Dalam bidang fiqh para
fuqaha hanya membatasi diri berijtihad dalam masing–masing mazhab yang
dianutnya saja. Tidak ada lagi mujtahid muthlaq yang berijtihad langsung dari
sumber pokok hukum-hukum al-Qur’an dan Hadis. Secara teoritis, kata Iqbal,
kemungkinan berijtihad muthlaq masih tetap diakui oleh Sunni, namun dalam
prakteknya kemungkinan itu sangat sulit diwujudkan sebab syarat-syarat yang
ditetapkan untuk bolehnya seseorang berijtihad terlalu berat dan sukar untuk
dapat dipenuhi.
Keempat, dari uraian di atas tampaknya disintegritas umat dapat
merongrong landasan kultural dan intelektual dalam jangka panjang. Di samping
itu, dogma-dogma teologis yang mengecilkan arti kemampuan manusia dan
kompetensi akalnya, kurang berguna dalam mempertajam wawasan serta mendekati
kebenaran secara progresif.
Daftar
Pustaka
al-Dzarwy,
Ibrahim Abbas. 1993. Teori Ijtihad dalam Hukum Islam. Terj. Agil Husein
al-Munawar. Semarang: Dimas.
Al-Fasi.
1963. Maqasid al-Syari’ah al-Islamiyah wa Makarimuhu. Rabat: Baida’.
al-Hakim,
Taqy. TT. Al-Ushul al-Ammah al-Fiqh al-Muqaran. Disertasi. TTP: TP.
Coulson,
A.J. 1964. A History of Islamic Law. Edinburgh: Edinburgh University Press.
Daud,
Abu. 1973. Sunnah Abu Daud, Juz IV. TTP: Jama’atul Huquq Mahfudhah.
Hallaq,
W.B. “Was the Gate of Ijtihad Closed?”, dalam International Journal of Middle
Eastern Studies, Volume 16, Number I, 1984.
Hasabullah,
Ali. 1964. Ushul Tasyri’ al-Islamy. Mesir: Dar-Ma’arif.
Hasan,
Ahmad. 1984. Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup. Terj. Agah Gornad. Bandung:
Pustaka.
Ibn
Khaldun. TT. Al-Muqaddimah. TTP: Dar al-Fikr.
Iqbal,
Muhammad. 1978. Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam. Terj. Osman Raliby.
Jakarta: Bulan Bintang..
Ma’arif, Syafi’i.
1995. Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah. Jakarta: TP.
Madjid, Nurcholish.
1995. “Tradisi Syarah Hasyiyah dalam Fiqh dan Masalah Stagnasi Pemikiran Hukum
Islam”, dalam Budhy Munawar Rachman (Ed), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam
Sejarah. Jakarta: Paramadina.
Rahman,
Fazlur. 1995. Membuka Pintu Ijtihad. Terj. Anas Masyuddin. Bandung: Pustaka.
Schacht,
J. 1964. An Introduction to Islamic Law. Oxford: The Clarendon Press.
Tiwana.
1982. Ijtihad wa Mada Hajatina, Ilaihi fi Haza al-‘Asr. Kairo: Dar al-Kutub
al-Hadisah.
Zahroh, Abu. TT. Ushul Fiqh. Kairo: Dar al-Fikr al-Araby.
[1]
Nurcholish
Madjid, “Syarah Hasyiyah dalam Fiqh dan
Masalah Stagnasi Pemikiran Hukum Islam”, dalam Budhy Munawar Rachman (Ed.),
Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam
Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1995), hal. 313.
[2]
Tawana, Ijtihad wa Mada Hajatina, Ilaihi fi Haza
al-‘Asr (Kairo: Dar al-Kutub al-Hadisah, 1872), hal. 98.
[3]
Ibid, hal. 120
[4]
Abu Daud, Sunnah Abu Daud, Juz IV (TTP: Jama’atul
Huquq Mahfudhah, Cet. I, 1973), hal. 19.
[5]
Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Terj.
Agah Gornad (Bandung: Pustaka, 1984), hal. 108.
[6]
Nurcholish Madjid, “Syarah”, hal. 313.
[8]
Ibn Khaldun, al-Muqaddimah (TTP: Dar al-Fikr, TT),
hal. 434.
[9]
Taqy al-Hakim, al-Ushul al-Ammah al-Fiqh al-Muqaran
(Disertasi tidak diterbitkan) (TTP: TP, TT), hal. 599.
[10] Ibrahim Abbas al-Dzarwy, Teori Ijtihad dalam Hukum Islam,Terj.
Agil Husein al-Munawar (Semarang: Dimas, 1993), hal. 42.
[11]
J. Schacht, An Introduction to Islamic Law (Oxford:
The Clarendon Press, 1964), hal. 69-71.
[12] N.J. Coulson, A History of Islamic Law (Edinburgh:
Edinburgh University Press, 1964), hal. 81. Ia mengemukakan argumentasi bahwa
penutupan pintu ijtihad kemungkinan merupakan akibat tekanan-tekanan eksternal
dan bukannya sebab-sebab internal. Targetnya tercapai ketika sumber-sumber
material tentang kehendak Ilahi yang isinya sekarang telah dijelaskan.
[13] W.B. Hallaq, “Was the Gate of Ijtihad Closed?”,
International Journal of Middle Eastern Studies, Volume 16, Number I, hal.
1984.
[14] Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, Terj. Anas
Masyuddin (Bandung: Pustaka, 1995), hal. 262.
[15] Ahmad Hasan, Pintu, hal. 103-104.
[16] Al-Fasi, Maqasid al-Syari’ah al-Islamiyah wa Makarimuhu (Rabat: Baida’,
1963), hal. 138.
0 komentar:
Posting Komentar