Oleh: Ach. Sayyid, S.Pd.I
Dalam
budaya pesantren, seorang Kiai memiliki berbagai peran, termasuk sebagai
pemimpin, pengasuh pondok, guru dan pembimbing bagi para santri serta suami dan
ayah dalam keluarganya sendiri yang juga menetap di pondok. Peran yang begitu
kompleks tersebut menuntut kiai untuk bis memposisikan dirinya dalam berbagai
situasi yang dijalaninya. Sehingga dibutuhkan sosok kiai yang mempunyai
kemampuan, dedikasi dan kometmen yang tinggi untuk bis menjalanklan peran-peran
tersebut.
Dari beberapa
peran di atas, peran yang paling vital adalah dalam hal kepemimpinan. Hal ini
tak lepas dari pentingnya kepemimpinan kiai itu sendiri yang mencakup
perencanaan, pelaksanaan, pengorganisasian, pemotivasian dan pengawasan
terhadap sumberdaya pesantren. Karena di dalam pesantren kiai menjadi tokoh
kunci maka kiai sangat menentukan kelangsungan hidup pesantren.
Menurut Mastuhu
dalam bukunya yang berjudul Memberdayakan system pendidikan Islam,
Kepemimpinan kiai dalam pesantren didefinisikan sebagai “seni” memamfa’atkan
seluruh daya (dana, sarana, dan tenaga) pesantren untuk mencapai tujuan
pesantren. Memanifestasi yang paling menyolok dalam pemamfatan daya tersebut
adalah cara menggerakkan dan mengarahkan unsure pelaku pesantren (SDM
pesantren) untuk berbuat sesuai dengan kehendak pemimpin pesantren dalam rangka
mencapai tujuan yang diinginkannya.
Kiai sebagai
pemimpin pesantren sangat menentukan terhadap berhasil tidaknya pendidikan yang
ada di pesantrennya. Selain itu ia juga merupakan uswah hasanah, representasi
serta idola masyrakat sekitarnya. Hal ini senaga dengan yang ditegaskan Imron
Arifin dalam bukunya yang berjudul Kepemimpinan Kiai; kasus Pondok Pesantren
Tebuireng, bahwa; “Kepemimpinan kiai dipandang secara ideal oleh komunitas
pesantren tersebut sebagai sentral figure yang mewakili keberadaan mereka.
Peran kiai dalam pandangan ideal tersebut sangat vital baik sebagai mediator,
dinamisator, katalisator, motivator, maupun sebagai penggerak bagi bagi
komunitas yang dipimpinnya. Karena peranan yang sedemikian rupa sentralnya,
maka sosok kiai sebagai pemimpin harus memenuhi criteria ideal sebagai berikut;
1) kiai harus dipercaya, 2) kiai harus dita’ati, dan 3) kiai harus diteladani
oleh komunitas yang dipimpinnya”.
Posisi kiai yang
serba menentukan itu akhirnya justru cendrung menyebabkan terbangunnya otoritas
mutlak. Zamkhsari Dhofir dalam bukunya yang berjudul Tradisi Pesantren Studi
tentang Pandangan Hidup Kiai, mensinyalir bahwa kebanyakan Kiai di Jawa
beranggapan bahwa suatu pesantren dapat diibaratkan kerjaan kecil dimana kiai
merupakan sumber mutlak dari kekuasaan dan kewenangan (power and authority) dalam
kehidupan dan lingkungan pesantren. Sehingga seluruh kebijakan pesantren baik
dari tujuan, pelaksanaan, maupun evaluasinya menjadi otoritas kiai. Kiai
mengusai dan mengendalikan seluruh sector kehidupan pesantren. Ustad, apalagi
santri, baru berani melakukan sesuatu tindakan di luar kebiasaan setelah
mendapat restu dari kiai. Ia ibarat raja, segala titahnya menjadi konstitusi
baik tertulis maupun konvensi yang berlaku bagi kehidupan pesantren. Ia
memiliki hak untuk menjatuhkan hukuman terhadap santri-santri yang melanggar
ketentuan-ketentuan titahnya menurut kaidah-kaidah normative yang mentradisi di
kalangan pesantren.
Dengan demikian,
kiai mempunyai kedudukan ganda: sebagai pengasuh pesantren sekaligus pemilik
pesantren. Secara cultural kedudukan ini sama dengan kedudukan bangsawan feudal
yang biasa dikenal dengan nama kanjeng di pulau Jawa. Tradisi feodalisme
bukan saja memasuki pesantren melainkan justru kiai sendiri yang
mempraktekkannya, kemudian diikuti oleh para ustadz dan santrinya sehingga
tradisi ini sulit untuk dihapus.
Kekuasaan kiai
yang begitu besar tumbuh subur di dunia pesantren. Hali ini disebabkan kondisi
sosio cultural dan social psikis penghuni lembaga pendidikan dapat menerima
kelangsungan dan kelenggengan otoritas mutlak berdasarkan cirri-ciri watak
santri yang selalu ta’dzim (mengagungkan) dan tidak berani menyangkal
kehendak maupun titahnya.
Bentuk penghormatan inilah yang sedang mendapat gugatan karena
dinilai sudah kebablasan. Pesantren perlu menata kembali interaksi antara kiai
dan santri dari yang bersifat patrenalistik menjadi bersifat egalitarian dimana
azas dan nilai-nilai keadilan (‘adalah), persamaan (musawa) dan
musyawarah (syura) dapat diwujudkan secara sungguh-sungguh.
Dalam banyak kasus pesantren yang memiliki berbagai lembaga
pendidikan, ternyata kiainya terkadang masih bertindak tidak demokratis
khususnya yang menyangkut kedudukan strategis. Di hadapan pengurus pesantren,
para ustadz, kepala sekolah dan kalangan lainnya terkadang kiai memutuskan
untuk menunjuk sesorang menjadi kepala madrasah misalnya, tampa melalui
persetujuan secara bebas dari mereka yang hadir.
0 komentar:
Posting Komentar